Oleh : Adly Muhammad Harun

Kesyahduan nyanyian janji di panggung kampanye seakan selalu populer seperti lagu yang lagi ngehits. Mareka menyampaikan dengan berbagai nada suara, mulai dalam bentuk syair merdu, lukisan indah serta tulisan penuh makna dan harapan. Hal itu terus membara sehingga ia mendapatkan saduran dari nyanyiannya. Ia tidak pernah mengangap apakah benar atau salah, janji atau akan dikhianati. Nada-nada ini terus bergeming pada telinga rakyat yang akan menjadi tumbal janjinya. Negeri ini kian terbawa buaian indah yang mengantarkan pada tidur nyenyak para pemimpin negeri. Mengirim pesona indah yang tidak di lupakan, kemudian duduk didalam kegiatan yang penuh pembodohan dengan misi melanjutkan cita-cita pembangunan dalam kebhinnekaan. Pesta demokrasi telah usai, masyarakat mulai menanti wujud sari janji, umpan manis para politisi. Janji yang telah dibayar dengan rupiah dengan kata kini “serangan fajar” sudah kelam. 

Pemimpin yang telah menelan imannya kini berkasih dengan cara yang sangat dengki. Mengatur segala aspek pembangunan dengan program yang tidak lepas dari kata”fee”. Mengisi kebutuhan yang tidak pernah berkecukupan. Namun telah lupa akan nasib rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Islam padahal telah mengajarkan sistem politik yang dinamis, yang tidak menginjak kaum lemah yang sehingga membuat bangsa semakin carut marut. Dalam Islam, kata janji tidak bedanya dari kata “hutang”, yang artinya sebuah hal yang harus dilunasi atau dibayar sampai kapan pun. Nabi SAW juga menyebutkan bahwasanya salah satu ciri orang munafik adalah mengingkari janji. Dari itu kita telah banyak melihat banyak dari pemimpin kita yang telah mengobral janji mareka bak pakaian setengah pakai. Mareka tidak lagi memikirkan sanggup atau tidak menunaikannya. 

Inilah yang kemudian menjadikan roda pemerintahan negeri kita di kendalikan oleh nafsu penguasa, tanpa dilandasi keimanan yang kokoh Sehingga menggelapkan mata mareka. Betapa tidak disadari bahwa dipundak mareka adalah bongkahan amanah rakyat. Berbagai pemilihan kian di lewati rakyat, seluruh janji tinggal begitu saja diatas panggung kampanye. Janji mengangkat taraf hidup masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan, memberikan peningkatan pangan, membangun sarana pendidikan, serta memudahkan biaya kesehatan. Tidak sampai disitu, yang dulunya hadir dalam setiap kegiatan kemasyarakatan, setelah ia terpenuhi hajatnya kini hilang entah kemana. Nasib rakyat yang telah penuh harap pada janjinya, kini hanya mengusap dada menanti hidayah dari-Nya. 

Beginilah penomena yang terjadi di nusantara, para pemimpin yang memelihara korupsi, melindungi kolusi serta memberdayakan nepotisme sehingga negara ini berarah maju pada kehancuran bukan pada kemakmuran. Saatnya kita kembali memegang petuah endatu “Dipeuanggoek ta anggoek, Tajoek nyang bek. Dipeukhem takhem, tatem nyang bek”. Mungkin itu yang lebih tepat kita pegang mengingat semua sudah berjalan tidak pada garisnya. Dari itu, pelajaran ini cukuplah. Kini kita lebih mempersiapkan generasi yang akan menjadi pemimpin yang berlandaskan keimanan dalam melanjutkan cita-cita pembangunan. Jangan lah lagi terbuai dengan janji manis, percaya dengan serangan fajar serta takut dengan ancaman manusia. Kini saatnya kita mengembalikan semua pada hati nurani agar lahir kehidupan berbangsa yang sejahtera serta menggapai motto dari negeri Islam “baldatun thayyibatun warabbul ghafur”. 

Report From Majene, 14 April 2014
SHARE :
 
Top