# Menjemput Rezeki Dengan Odong-odong
Dari 23 daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh, Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara merupakan Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara. Aceh Tamiang dari lintas Timur, sedangkan Aceh Tenggara dari lintas Barat.
Beberapa waktu lalu Redaksi Lamuri bersama rombongan pelatihan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh berkunjung ke Aceh Tamiang. Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, redaksi ingin melihat langsung suasana Kota Tamiang dari dekat dan kami rangkum dalam reportase khusus untuk Buletin Lamuri Edisi ini.
Menurut beberapa cerita dari masyarakat, aslinya penduduk Aceh Tamiang adalah suku Melayu. Karena itu, bahasa melayu atau bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam interaksi sehari-hari. Sebagai daerah perbatasan pula, tak heran mayoritas penduduk di Aceh Tamiang sangat majemuk, dan terdiri dari beragam etnis. Dari ragam etnis ini pula menghasilkan ragam varian kuliner di masyarakat. Redaksi sempat mencicipi beberapa makanan yang dijajakan dengan menu yang berbeda-beda pula, namun sangat sulit mencari masakan khas Aceh seperti Pliek U dan Kuah Asam Keueng di daerah ini.
Nah, syedara, uniknya hampir setiap hari setiap jam 5 sore sampai jam 9 malam ada pasar malam, berbagai macam permainan pun ada, untuk anak-anak bahkan orang dewasa. Setiap sore kota Aceh Tamiang dipenuhi oleh odong-odong sebagai sarana hiburan bagi anak atau bahkan semacam kereta keliling kota sederhana bagi para tamu atau pelancong yang hadir. Odong-odong ini pun tak kalah menarik, berbagai macam atribut dan hiasan pun tersemat di body odong-odong yang kreatif dan inovatif ini. Pengemudi odong-odong pun bisa mencari rezeki sambil mengajak para tamu yang datang ke Aceh Tamiang untuk sekedar berkeliling-keliling melihat langsung suasana kota. Menarik tentunya.
Daerah ini juga dikenal dengan Bumi Muda Sedia, sesuai dengan nama Raja Muda Sedia yang memerintah wilayah ini selama 6 tahun dulunya, menurut data arsip 1330 - 1336. Raja ini pula yang konon mendapat Cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh atas wilayah Karang dan Kejuruan Muda pada masa itu.
Harga barang di wilayah ini ramah bagi dompet para pelancong yang hadir, harganya relatif murah, karena berada di jalur timur sumatera yang strategis dan hanya berjarak lebih kurang 250 km dari Kota Medan. 
Di sisi lain Aceh Tamiang juga kaya akan Kelapa Sawit. Hal ini terlihat di sepanjang jalan yang redaksi lewati berjejer pohon sawit yang juga menjadi komoditi ekspor di daerah ini. Mengenai tempat wisata, Aceh Tamiang juga punya tempat tersendiri. Ada Air Terjun Tujuh Tingkat, Bendungan, Gua Walet, dan Pantai Seruway yang redaksi ketahui. 
Begitu pula, seiring dengan pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Aceh, kabupaten Aceh Tamiang juga menerapkan syariat Islam bagi seluruh umat Islam yang ada di daerah tersebut. Hal itu tidak mengganggu bagi umat non muslim, sehingga kerukunan antarumat beragama tetap terjalin dengan baik dan damai. Umat kristen yang berdomisili di daerah Aceh Tamiang tidak merasakan sesuatu yang berat dan mereka pun bisa menghargai apa yang diatur. Hal ini perlu dipertahankan dan diperlihara dalam kehidupan masyarakat. Menurut tetua adat setempat Tengku Baharuddin (52) yang Redaksi temui di sela-sela pelatihan tersebut mengatakan di setiap desa pun di Kabupaten Aceh Tamiang memiliki satu meunasah yang berfungsi sebagai tempat ibadah shalat lima waktu dan balai pengajian sekaligus sebagai tempat kegiatan masyarakat desa. Nah, hal ini pula yang meyakinkan Redaksi bahwa sungguh suasana islam pun masih sangat kental di daerah perbatasan ini ditengah masyarakat yang berbeda-beda keyakinan dan kepercayaan. Suasana kerukunan umat beragama pun terpancar jelas dari teduh dan ramahnya sambutan masyarakat Aceh Tamiang. Semoga pembaca suatu waktu sempat pula datang dan merasakan langsung suasana kota Aceh Tamiang dengan seribu odong-odongnya. (Red/Abr))
SHARE :
 
Top