Oleh: Muhammad Rizki, S.Pd.I., M.Pd. (Ketua LAKPESDAM PCNU Aceh Besar)
lamurionline.com -- Pendidikan selalu menjadi pilar utama dalam membangun
peradaban. Namun, di tengah derasnya arus modernisasi dan tekanan globalisasi,
arah pendidikan kian bergeser: dari membentuk manusia menjadi sekadar mencetak
sumber daya. Nilai akademik menjadi tolok ukur tunggal, sementara karakter dan
moralitas tertinggal di belakang. Padahal, pendidikan sejati tidak berhenti
pada kecakapan kognitif, tetapi harus menembus ke ranah spiritual, etis, dan
sosial.
Fenomena ini bukan sekadar asumsi, melainkan fakta yang
mencolok. Korupsi dilakukan oleh orang-orang bergelar. Manipulasi data oleh
mereka yang paham teknologi. Kejahatan intelektual tak jarang lahir dari ruang
kelas bergengsi. Dunia tak kekurangan orang pintar, tapi ia sekarat karena
krisis orang baik yang cerdas. Maka, pertanyaannya bukan lagi "seberapa
pintar anak-anak kita?", tetapi "seberapa bermoral mereka saat kelak
berkuasa?"
Pendidikan modern kerap terjebak dalam glorifikasi
pencapaian akademik. Gelar sarjana, IPK tinggi, predikat cumlaude, dan beasiswa
ke luar negeri menjadi simbol kesuksesan. Namun sayangnya, keberhasilan itu
sering kali hanya bersifat kosmetik, tampak luar bagus, namun keropos di dalam.
Gagasan ini sama sekali bukan untuk meremehkan pentingnya
pendidikan formal. Sebaliknya, pendidikan sejatinya merupakan sarana utama
dalam membentuk manusia yang mengenal jati dirinya, memahami posisinya sebagai
makhluk sosial, serta mampu berinteraksi dengan orang lain melalui etika yang
santun, akhlak yang luhur, dan kecakapan sosial yang baik. Terlebih bagi
seorang pendidik, baik guru maupun dosen, tugasnya tidak berhenti di ruang
kelas atau perkuliahan semata.
Pendidik sejati adalah mereka yang mampu memberikan teladan
dan perlindungan moral kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Tanggung
jawabnya melampaui batas waktu dan tempat. Ia hadir sebagai panutan yang mampu
membimbing dengan kelembutan, menegur dengan kearifan, dan membentuk karakter
dengan ketulusan. Pendidikan tidak hanya terukur dari seberapa banyak ilmu yang
ditransfer, tetapi juga dari seberapa dalam nilai dan teladan yang tertanam
dalam diri peserta didik melalui sikap pendidiknya. Oleh karena itu, integritas
moral dan kepekaan sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jati diri
seorang pendidik. Kita terlalu sering memuja gelar, hingga lupa bertanya: apa
makna dan nilai yang menopang gelar itu? Ketika seseorang memperoleh doktor di
bidang hukum, tapi mengakali hukum demi kepentingan pribadi, apakah ia
benar-benar "terdidik"? Ketika seorang guru mampu menjelaskan teori
moral, tetapi mempermalukan siswa di depan umum, apakah ia benar-benar
"berkarakter"?
Filsuf Yunani, Socrates, pernah berkata, “Pendidikan adalah
menyalakan api, bukan mengisi bejana.” Sayangnya, pendidikan kita hari ini
justru terlalu sibuk menuangkan informasi ke dalam bejana siswa atau mahasiswa,
tanpa sempat menyalakan api nurani mereka.
Keteladanan: Bahasa Pendidikan yang Abadi
Di sinilah posisi moral pendidik menjadi krusial. Guru dan
dosen bukan hanya penyampai materi, tapi cermin hidup dari nilai-nilai yang
mereka ajarkan. Islam mencontohkan melalui Rasulullah SAW, sang pendidik agung
yang tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga menjalani hidup sebagai
teladan sempurna. Ia mengajarkan cinta, bukan sekadar hukum; memberi contoh,
bukan hanya instruksi.
Ketika seorang guru datang tepat waktu, ia sedang
mengajarkan tanggung jawab. Ketika dosen menyampaikan kritik dengan empati, ia
sedang menanamkan kesantunan. Pendidikan karakter bukanlah mata pelajaran,
melainkan praktik sehari-hari. Anak-anak meniru, bukan hanya menyimak. Maka
mereka tidak hanya butuh modul pembelajaran, tapi model keteladanan.
Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai Pancasila seharusnya
menjadi ruh dalam setiap kegiatan pendidikan. Sayangnya, sila-sila itu lebih
sering dihafal daripada dihayati. Musyawarah tidak hidup dalam rapat. Keadilan
tidak tampak dalam sistem penilaian. Ketuhanan hanya menjadi materi, bukan laku
hidup. Maka tugas kita adalah membumikan Pancasila dalam tindakan konkret.
Krisis Moral di Balik Akademik
Pertanyaannya: mengapa orang pintar bisa kehilangan arah
moral? Salah satu sebab utamanya adalah karena pendidikan kita lebih fokus pada
hasil daripada proses. Kita mendidik agar lulus ujian, bukan agar bijak dalam
kehidupan. Kita menilai dari seberapa banyak anak bisa menjawab soal, bukan
seberapa mereka jujur dalam menjawabnya.
Inilah yang disebut sebagai cognitive bias in education,
kecenderungan menilai kecerdasan otak di atas kecerdasan hati. Sementara
kecerdasan moral justru lebih menentukan masa depan bangsa. Bangsa tidak
dirusak oleh ketidaktahuan, tetapi oleh orang pintar yang menyalahgunakan
ilmunya. Dalam kata lain: we are overeducated and under-moralized.
Jika sistem pendidikan tidak memberikan ruang bagi
pembentukan integritas, maka kita sedang mencetak generasi yang tahu cara, tapi
tidak tahu arah. Mereka mungkin tahu cara membangun gedung, tapi tidak tahu
bagaimana menjaga keadilan di dalamnya.
Revolusi Hati: Kebutuhan Mendesak Pendidikan Kita, Maka
solusinya bukan semata-mata revisi kurikulum, digitalisasi sekolah, perguruan
tinggi, atau akreditasi internasional. Semua itu penting, tetapi bukan inti.
Yang lebih mendesak adalah revolusi hati pada guru, dosen, kepala sekolah,
hingga pembuat kebijakan. Pendidikan harus kembali dimaknai sebagai ibadah,
bukan sekadar profesi. Mengajar bukan hanya tugas, tapi bentuk pengabdian.
Ketika seorang guru mendoakan murid-muridnya dalam sujud,
maka proses belajar berubah menjadi perjumpaan spiritual. Ketika seorang dosen
membimbing skripsi dengan kesabaran, bukan sekadar mengejar target kelulusan,
maka ilmu menjadi berkah. Ketika guru memanusiakan siswa, maka proses belajar
menghidupkan, bukan hanya mengarahkan.
Revolusi hati ini hanya mungkin terjadi bila para pendidik
menyadari bahwa mereka adalah pelita zaman, bukan sekadar pemegang gaji. Bangsa
ini bisa runtuh oleh pendidik yang lalai, tapi juga bisa bangkit oleh pendidik
yang ikhlas. Dan setiap pendidik yang ikhlas adalah penjaga masa depan bangsa.
Pendidikan Karakter: Investasi Jangka Panjang
Banyak yang salah paham dengan pendidikan karakter. Ia
dianggap tambahan, bukan utama. Dianggap beban, bukan kebutuhan. Padahal
pendidikan karakter adalah esensi dari seluruh proses pendidikan. Tanpa
karakter, ilmu hanyalah alat. Dan alat di tangan orang yang salah bisa menjadi
senjata perusak.
Pendidikan karakter tidak bisa diukur dengan angka-angka,
tapi ia bisa dirasakan dalam kepribadian siswa. Mungkin ia tidak masuk dalam
rapor, tapi ia akan muncul dalam cara siswa memperlakukan sesama, menghormati
orang tua, dan bertindak saat diberi amanah.
Karakter bukan diajarkan seperti rumus matematika. Ia
dibentuk melalui kebiasaan, pengulangan, dan terutama keteladanan. Karakter
tidak dibentuk dalam seminar, tetapi dalam keseharian. Maka keluarga, sekolah,
dan masyarakat harus bersatu dalam satu tujuan: membentuk manusia, bukan
sekadar tenaga kerja.
Pada akhirnya, pendidikan harus dilihat bukan sebagai alat
naik kelas sosial semata, tetapi sebagai jalan perubahan sosial. Gelar bisa
mengangkat seseorang ke posisi tinggi, tapi hanya karakter yang bisa membuatnya
bertahan di sana dengan bermartabat. Kita tidak boleh lagi menjadikan gelar
sebagai topeng, atau pendidikan sebagai pabrik status sosial.
Bangsa ini tidak butuh lebih banyak orang pintar tanpa
arah. Bangsa ini butuh manusia berilmu dan bermoral, yang menjadikan pendidikan
bukan hanya sebagai jalur karier, tapi sebagai jalan dakwah, jalan pengabdian,
dan jalan cinta.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Dari kelas kita. Dari
lingkungan kecil tempat kita mendidik. Jadikanlah pendidikan sebagai proses pemanusiaan
manusia. Karena di sanalah terletak masa depan bangsa yang beradab.

0 facebook:
Post a Comment