Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Wakaf di Aceh, Tradisi, Inovasi dan Keberkahan


Martabat merupakan kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada sebagian orang. Ada yang memperoleh martabat karena kekayaan, jabatan, keilmuan, keturunan, maupun karena kedalaman ilmu agama. Hanya saja, tidak semua yang menyandang predikat itu benar-benar pantas dimuliakan. Ada orang kaya yang kikir, pejabat yang serakah, atau ilmuwan yang angkuh. Islam tidak menilai martabat dari penampilan lahiriah semata, tetapi dari kebaikan dan manfaat yang ia berikan.

Martabat yang layak dimuliakan adalah martabat yang disertai akhlak mulia: orang kaya yang dermawan, pejabat yang adil dan peduli, bangsawan yang rendah hati, serta alim ulama yang menjadi cahaya penerang bagi umat. Kepada merekalah kemuliaan itu pantas disematkan.

Islam menganjurkan umatnya menghormati orang-orang yang memiliki martabat mulia. Sikap ini telah dicontohkan Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah ra. Kisah beliau diriwayatkan kembali oleh Abi Hasbi Al-Bayuni dalam pengajian muslimah mingguan di Dayah Thalibul Huda Bayu, Aceh Besar.

Suatu ketika, Sayyidah Aisyah dan rombongan singgah dalam perjalanan. Saat beristirahat, datang seorang miskin meminta makanan. Beliau segera memberinya sepotong roti, lalu orang miskin itu pun pergi dengan ridha. Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki gagah menunggang kuda, jelas seorang bangsawan. Sayyidah Aisyah justru mempersilakannya duduk dan makan bersama rombongan.

Seseorang pun bertanya, “Wahai Ummul Mukminin, mengapa engkau berbeda sikap kepada dua orang itu? Orang miskin hanya engkau beri sepotong roti, sedangkan bangsawan engkau muliakan dengan hidangan lengkap.”

Sayyidah Aisyah menjawab, “Aku telah menempatkan mereka sesuai martabatnya. Orang miskin cukup dengan sepotong roti untuk mengenyangkan perutnya yang lapar. Ia ridha dengan itu. Adapun bangsawan tidak hanya membutuhkan makanan, tetapi juga perlakuan dan penghormatan sesuai martabatnya.”

Kisah ini mengajarkan bahwa Islam membolehkan kita menempatkan orang sesuai kedudukan dan martabatnya. Dalam praktik sehari-hari, hal ini dapat terlihat pada acara walimah atau jamuan resmi, misalnya  ulama dan pemimpin ditempatkan di tempat yang lebih terhormat. Bukan untuk merendahkan orang lain, tetapi sebagai wujud penghormatan.

Memuliakan ulama sejatinya memuliakan Rasulullah saw, karena mereka adalah pewaris para nabi. Dengan memuliakan ulama dan pemimpin umat, insya Allah Allah akan memuliakan kita serta melimpahkan keberkahan dunia dan akhirat.

SHARE :

0 facebook:

 
Top