Oleh Sri Suyanta Harsa

Ilustrasi
Muhasabah 15 Zulhijah 1440
Saudaraku, judul muhasabah ini merupakan pragmen singkat dari suatu perjalanan yang dilalui oleh para penumpang kapal atau kendaraan atau pesawat. Bila bepergian untuk suatu tujuan dengan berkendaraan atau naik kapal atau dengan pesawat terbang, maka sudah lazim bila transit di kota atau pelabuhan atau terminal atau bandara tertentu.

Tentu saja yang namanya transit ya tidak lama alias sebentar saja, cukup sekedar isi bahan bakar, istirahat, makan minum dan atau menaikkan/menurunkan penumpang pelanggannya.

Dalam historisitas haji, Aceh juga dikenal sebagai wilayah utama untuk transit jamaah haji terutama umat Islam di Indonesia. Sebutan sebagai Serambi Makkah atau juga adanya kota (Pe)Labuhan Haji menjadi bukti sejarah untuk ini. Untuk pulang pergi ke tanah suci, karena alat tranportasinya masih mengandalkan kapal (layar), maka daerah-daerah pesisir atau kota-kota pelabuhan menjadi wilayah kondusif yang sangat kosmopolit modern sebagai tempat transit yang sangat strategis. Apalagi Aceh merupakan pulau terdekat dengan tanah suci ketimbang lulau atau daerah lain di Indonesia lainnya. Berbeda dengan sekarang, dimana transportasi antar negara dengan pesawat, maka wilayah yang relatif kosmopolitannya tinggi melebar ke sekitar bandara.

Di samping sebutan Serambi Makkah dan adanya Pe(Labuhan) Haji, juga ada Pulau Rubiah. Bulan Maret lalu kami peserta workshop penulisan artikel scopus di bawah bimbingan Prof Irwan Abdullah dkk di Sabang berkesempatan tadabbur alam ke Pulau Rubiah. Di sana di antaranya didapati satu kawasan yang dulunya sebagai pusat transit jamaah haji Indonesia, baik saat mau berangkat maupun hendak pulang kampung dari tanah suci.

Khusus di Pulau Rubiah, sepertinya spesial dan unik. Pertama, disebut sebagai pusat karantina bagi jamaah haji asal Indonesia, yang dibangun sekitar tahun 1920 masa penjajahan Belanda. Substansi sebutan ini perkirakan memiliki argumen teknis, argumen kesehatan dan politik yang melatarinya.

Argumen teknis, pulau Rubiah menyediakan pelabuhan pesisir yang sangat strategis berhubungan langsung dengan Samudera Hindia sehingga memungkinkan kapal-kapal besar dapat berlabuh dan bersandar menurunkan dan menaikkan penumpang di sana.

Argumen kesehatan, meskipun Islam sangat mementingkan aspek kesehatan, namun tidak ada jaminan bahwa semua calon jamaah haji yang akan berangkat ke tanah suci menenuhi kriteria sehat, maka ketika akan berangkat mesti dikarantina terlebih dahulu agar tidak menimbulkan masalah kesehatan baik bagi dirinya sendiri maupun jamaah lain di tanah suci nanti. Begitu juga ketika jamaah haji pulang ke tanah air juga harus dikarantina terlebih dahulu. Dan secara subtantif strategi ini juga masih diberlakukan oleh pemerintah sampai hari ini.

Adapun argumen politis mengapa jamaah haji sebelum dan sepulang berhaji mesti transit dan dikarantina terlebih dahulu? Di masa kolonial Belanda keluar masuknya orang inlander ke luar dan dalam negeri harus diawasi, bahkan bisa sangat ketat. Barangkali semacam kebijakan ordonansi, dalam dunia pendidikan.

Pemerintah Hindia Belanda sangat berhati-hati dan rapat dalam mencegah ide pan Islamisme yang digagas oleh Jamaluddin Al-Afghani yang di antaranya mengajarkan persatuan umat Islam sedunia guna melawan kolonialisme dan imperialisme di atas bumi ini. Oleh karena itu, tidak sebarang orang bisa keluar masuk negeri orang, apalagi di tanan suci para jamaah akan bertemu dengan para tokoh muslim internasional dari berbagai-bagai negara.

Pemerintah Hindia Belanda seolah tidak mau kecolongan lagi seperti masuknya pengaruh modernisasi Islam  yang ujung-ujungnya memobilisasi jihad mengusir atau memerangi penjajah, seperti kepemimpinan ulama yang pernah terjadi pada Perang Aceh, Perang Paderi di Sumatera Barat, Perang Jawa Diponegoro di Jawa Tengah, Perang Petani Banten di Jawa Barat dan lain sebagainya 
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top