Oleh Sri Suyanta Harsa 

Sumber ilustrasi: sindonews.com
Muhasabah, 29 Ramadhan 1441
Saudaraku, tema muhasabah hari ini adalah mengulang kaji tentang hubungan antara puasa dan fitrah. Fitrah dalam bahasa Arab fithrah berasal dari kata kerja fathara yang lazim dimaknai sebagai asal kejadian penciptaan, tabiat asli, potensi dasar, Islam dan suci.

Setidaknya, kita mengenal lima term yang sering dihubungkaitkan dengan fitrah, yaitu berbuka puasa disebut ifthar, lahir dalam kondisi fitrah, memeluk agama fitrah, zakat fitrah dan hari raya 'idul fitri. Pemaknaan kelima fitrah ini tentu berjalin berkelindan sehingga menjadi satu kesatuan sistemik yang dapat dihubungkaitkan dengan puasa, namun dapat juga dapat dipahami dan dimaknai sesuai dengan konteksnya masing-masing. Adapun secara spesifik.

Pertama, ifthar atau berbuka puasa. Kita diwajibkan berpuasa seraya menahan diri dari makan minum dan hal-hal yang membatalkannya dari fajar sidiq hingga terbenam matahari atau saat magrib. Karena makan minum dan "berkeluarga" merupakan suatu kebutuhan yang melekat atau fitrah manusia maka saat magrib kita disunahkan bersegera melakukan ifthar atau berbuka puasa. Jadi hubungan puasa dan ifthar seperti hubungan yang silih berganti; puasa pagi siang sore sampai petang, lalu ifthar atau berbuka setelahnya. Makan, minum dan berkeluaga merupakan tuntutan fitrah yang memang sudah melekat pada setiap diri manusia, maka pada saatnya harus dipenuhi. Maka di samping melarang umatnya untuk berpuasa terus menerus tanpa jeda atau berpuasa sampai larut malam, Islam juga melarang umatnya membujang selamanya (tabattul). Jadi puasa dan ifthar menjadi setali mata uang.

Kedua, idul fitri. Hari raya berbuka puasa disebut dengan 'idul fitri yang bermakna hari raya kembali berbuka dan malah haram berpuasa. Hal ini terjadi setelah setiap hari selama Ramadhan kita berpuasa, tanggal 1 hingga 29 atau 30 Ramadhan; berpuasa di siang hari dan ifthar saat maghrib tiba sampai benar-benar merasakan kebahagiaannya di Hari Raya Berbuka Lagi, Hari Raya Idul Fitri. Jadi logikanya yang berhari raya idul fitri adalah orang-orang yang selama hari-hari sebulan Ramadhan berpuasa. Selainnya dipandang sebagai penggembira saja.

Ketiga, kondisi fitrah saat dilahirkan. Dalam iman Islam, semua manusia dilahirkan ke dunia ini dalam kondisi fitrah, yakni membawa potensi dasar, memiliki tabiat asli yang baik, asal kejadiannya Islam, naluri bertuhankan Allah, dan suci tidak membawa dosa warisan apapun.

Dalam hal ini, Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, kedua orang tuanya menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak binatang itu ada yang cacat (putus telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)? (Hr. Al-Bukhari)

Keempat, agama fitrah. Idealitasnya,  karena setelah dilahirkan dalam kondisi fitrah, maka saat menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini, harus memeluk agama Islam sebagai agama fitrah, agama yang sesuai dengan kefitrahannya, agama yang mewadahi segala peluang untuk tumbuhkembangnya fitrah dalam hidup dan kehidupan. Di antaranya, Islam menuntun umatnya untuk menunaikan ibadah puasa.

Kelima, zakat fitrah. Ketika mengarungi hidup dan kehidupan di dunia yang fana ini ternyata kita tidak sepi dari perilaku salah dan khilaf, makanya Islam mensyariatkan serangkaian ibadah termasuk puasa dan ibadah Ramadhan sebagai instrumen tazkiyat al-nafs penyucian hati dan pertobatan diri. Untuk mendukung upaya penyucian diri ini di ujung bulan Ramadhan ini disyariatkannya mengeluakan zakat fitrah. Sebagai perolehannya, kita dapat merayakan saat kembalinya semua kita kepada kondisi semula nan fitrah di hari raya idul fitri. 

Dengan demikian inti muhasabah hari ini dapat dikatakan bahwa berbicara tentang ibadah puasa Ramadhan, maka kita lazimnya ingat ifthar (berbuka), ingat lahir kondisi fitrah, ingat agama fitrah, ingat zakat fitrah, dan ingat 'idul fitri. Aamiin
SHARE :
 
Top