Oleh: Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

Ketua Majelis Syura DDII Aceh 


Muhammad Dawud nama pemberian orang tuanya yang kemudian ketika sudah banyak berkiprah untuk agama, bangsa dan negara di masa dewasa mempunyai nama lengkap: Teungku (Tgk) Muhammad Dawud Beureu-eh yang oleh sebahagian besar masyarakat Aceh pada zaman itu memanggilnya “Abu Beureu-eh”. Lahir di gampong Beureu-eh Meunasah Dayah, 10 Jumadil Akhir 1316 H bertepatan dengan 23 September 1896. Awalnya sebagai seorang anak bangsa yang masih kecil Muhammad Dawud hidup dalam kalangan masyarakat kampung yang sarat dengan doktrin Islam, sehingga orang tuanya begitu getol mendidiknya dengan pelajaran agama, yang dimulai dengan penyempurnaan membaca dan menguasai Al-Qur’an.

Pendidikan dasar tersebutlah yang “membesarkannya” dalam nuansa naungan Al-Qur’an, sehingga ketika menjadi seorang ulama sangat terikat dengan sumber hukum pertama dan utama dalam Islam itu. Walaupun dia belajar kitab-kitab kuning untuk menggali ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam, Al-Qur’an tetap dikedepankan dalam berbagai urusan. Tidak pernah disisihkan seperti melepaskannya kepada urusan nyak-nyak di gampong, karena dia sudah menelusuri dan menguasai kitab-kitab kuning.

Hasil “kerjasama” antara Tjoet Ahmad (Keuchik Ahmad) seorang pemuda tampan keturunan Melayu Pattani Thailand Selatan yang dekat dengan para ulama tatkala itu dengan seorang wanita cantik Tjut Manyak, maka lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Muhammad Dawud. Secara genetik keturunan pihak orang tua lelaki dan orang tua wanita yang berawal dari keturunan ulama, kemudian terjadi perpaduan antara darah melayu Aceh dengan darah melayu Pattani yang keduanya berdarah pejuang dan pahlawan, maka selaras dan serasilah kehadiran Tgk Muhammad Dawud Beureu-eh, yang kemudiannya menjadi sosok ulama dan pejuang kebenaran Islam.

Mantan Perdana Menteri DI/TII, Hasan Ali, menyatakan bahwa éndatu (nenek moyang) Tgk Muhammad Dawud Beureu-eh adalah Haji Muhammad Adam yang berasal dari Pattani (Thailand Selatan) yang ketika itu mendarat di pantai Aceh dalam urusan dakwah islamiyah dan perdagangan. Mengikut dokumen yang tersimpan di rumah salah seorang anaknya di Jakarta, Tgk Muhammad Dawud Beureu-eh adalah anak dari Keuchik Cut Ahmad, cucu Tgk Di Ulèè Tutue (Tgk Putik), cicit dari Tgk Haji Muhammad Ali, cicit lagi dari Tgk H Chatib, dan cicit lagi dari Tgk Muhammad Adam di Pattani. 

Hampir semua responden yang pernah saya hubungi (baik yang sezaman dengannya atau tidak) menyatakan, bahwa asal usul orang tua dia adalah dari Pattani (Thailand Selatan). Keadaan serupa ini juga pernah diceritakan sendiri kepada rakan-rakan semasa dia masih hidup. Demikian mantan Menteri Penerangan DI/TII Aceh AR  Hasyim menceritakan kepada saya, 6 Agustus 1997.

Cut Ahmad, yang kawin dengan keturunan Imum Mukim Beureu-eh kemudian terpilih menjadi Keuchik (Kepala Kampung) Beureu-eh meunasah Dayah dan beberapa waktu kemudian terpilih lagi menjadi Kepala (Imum) Mukim dalam kemukiman Beureu-eh. Karena ada kontradiksi yang berkaitan dengan politik di antara Ulee Balang dan Belanda ketika itu, Keuchik Cut Ahmad dibunuh oleh orang-orang yang diperintahkan Teuku Di Lhok Me, karena termakan fitnah dalam kehidupan mereka. Hasil “kerjasama” antara Cut Ahmad dengan Cut Manyak tersebut melahirkan tiga orang putera:  Muhammad Yusuf, Muhammad Dawud, dan Muhammad Idris. Jadi Tgk Muhammad Dawud Beureu-eh merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari keturunan Aceh-Pattani.

Ketika Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh menjelang masa remaja, dia telah mulai menaruh perhatian untuk memperdalam ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu agama. Ketika usianya semakin menanjak dewasa, keinginan untuk hidup berdua mulai tumbuh perlahan-lahan. Dicelah-celah masa luang membina umat tahun 1914 dia meninggalkan masa bujangnya, menikah dengan seorang perempuan janda, anak dari saudara kandung ayahnya sendiri bernama Halimah di Usi Meunasah Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie. Dari sini dia memperoleh tujuh orang “cahaya mata: (1) Tgk Hajjah Siti Maryam, (2) Tgk Haji M Hasballah, (3) Tgk Hajjah Sa’idah, (4) Tgk Hajjah Raihanah, (5) Tgk Haji Musthafa, (6) Tgk Saifullah, (7) Tgk Haji Ma’mun.

Setelah beberapa lama membina rumah tangga dan masyarakat di Usi, nama dia semakin hari semakin mashur di seluruh tanah Aceh. Dayah (Pondok Pesantren) dia pun di Usi semakin hari semakin banyak murid-murid yang berdatangan dari berbagai pelosok untuk menuntut ilmu. Mulai dari sini dia telah mendapat banyak tantangan dari pihak Ulee Balang, kerana langkah perjuangannya tidak sesuai dengan keinginan mereka, sehingga usaha dia untuk berdakwah, membangun pendidikan-pendidikan senantiasa berpindah tempat, baik pindah sendiri ataupun dipindahkan.

Dalam suasana seperti ini, karena didorong oleh rasa keikhlasan dan kehibaan terhadap sejumlah perempuan janda yang selalu dibantunya dalam bentuk material dan untuk menghindari cacian serta fitnah dari orang ramai Abu Beureu-eh menikahi  Hajjah Asma, seorang janda dari kampung Paleue Kecamatan Simpang Tiga, menjadi isteri keduanya tahun 1928. Dari sini dia dianugerahkan Allah Swt  lima orang “cahaya mata”: (1) Tgk M Jamil, (2) Tgk S Sakinah, (3) Tgk Ahmad Muzakkir, (4) Tgk Hajjah Ruhama, (5) Tgk Haji Ashim (Asim).

Setelah perjuangan dia menanjak tinggi melewati berbagai fitnah dan caci maki berbagai pihak yang senantiasa membencinya, baik yang berkenaan dengan perkara-perkara umat, politik, pemikiran, maupun peribadi, dia mencoba mengalihkan perhatiannya kearah seorang janda cantik lagi menarik  yang berwarna kuning langsat, yang ketika masih dara (gadis) lagi telah dialamatkan oleh orang tuanya kepada dia. Akan tetapi, karena belum mampu melawan kekuasaan Ulee Balang di masa itu dia terpaksa diam seribu bahasa dan gadis idamannya dipersunting T Muhammad anak T Umar Ulee Balang Keumangan untuk beberapa masa walaupun Imum Husin paman dari Asiah telah lebih duluan menunangkan dia dengannya. 

Setelah Perang Cumbok berakhir, kondisi Aceh menjadi normal dan tenteram seperti sediakala, negara Republik Indonesia telah diproklamirkan, masyarakat Aceh yang sangat letih dan lelah dari peperangan mempertahankan agresi Belanda mulai beristirahat. Tugas Abu Beureu-eh semakin bertambah dengan banyaknya perempuan janda dan anak yatim, baik akibat perang dengan Belanda maupun perang Cumbok. Dengan alasan yang serupa, untuk menghindari berbagai fitnah dan cercaan orang banyak dia akhirnya menikah pula dengan bekas kekasihnya yang masih ada hubungan keluarga dengannya seperti juga isteri pertamanya. Pernikahan dengan Hajjah Asiah dari gampong Lueng Sagoe Kemukiman Beureu- éh ini mendapat berbagai tuduhan negatif dari pihak-pihak yang tidak tahu persoalannya dan juga dari pihak-pihak yang tidak senang kepadanya, kerana ada sangkut pautnya dengan Perang Cumbok dan pembaharuan di Aceh.

Hasil “kerja sama” Abu Beureu-eh dengan isteri ketiganya Hajjah Asiah, Allah telah berikan seorang putera bernama Tgk Haji Rusydi. Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh telah kembali ke Rahmatullah pada Selasa malam Rabu, 10 Juni 1987, di rumah sakit Dr Zainal Abidin Lamprit Banda Aceh dan dikuburkan di belakang Masjid Bait al-A’la Li al-Mujahidin di kota Beureunuen, satu di antara masjid-masjid yang pernah dibangun di masa hidupnya. Dia pergi tanpa meninggalkan rumah mewah, kebun besar, mobil megah, kecuali hanya mewariskan puluhan cucu dan cicit dari ikatan darah (keluarga) dan ikatan akidah  (Islam) melalui berbagai pendidikan dan dakwah yang pernah dilakukan selama hidupnya.

Anak kampung Meunasah Dayah, Kemukiman Beureu-eh, yang bernama Muhammad Dawud yang kemudian bernama lengkap Tgk Muhammad Dawud Beureu-eh yang oleh mayoritas komunitas Aceh memanggilnya Abu Beureu-eh tersebut  akhirnya menjadi ikon dan mengharumkan nama Aceh, baik di peringkat nasional di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara. Dia pernah menjadi Ketua Umum Persatuan Ulama Seluruh Aceh masa pra kemerdekaan, Komandan Mujahidin di zaman perlawanan terhadap penjajah Belanda, Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo, pernah menjadi gubernur sipil untuk provinsi Aceh, pemimpin Darul Islam/Tentera Islam Indonesia (DI/TII), Wali Negara Republik Islam Aceh (NRIA), dan sejumlah jabatan-jabatan kecil lainnya yang luput dari catatan.

Putera seorang kepala kampung yang kemudian menjadi kepala mukim dari pedalaman Aceh ketika mendapat didikan dan pendidikan yang benar sesuai dengan tuntunan Islam, maka dia menjadi orang besar, berhasil memimpin komunitas besar dan megah, serta dihormati oleh orang-orang besar pula. Akankah hadir dari pedalaman Aceh putra-putra semacam itu lagi di masa akan datang untuk mejadi suluh di kegelapan malam, menjadi obat bagi sejumlah orang yang berpenyakitan, menjadi penyejuk dalam kepanasan? Tentu jawabannya mungkin saja  manakala prosesi bimbingan dan didikannya selaras dengan peninggalan Rasulullah saw. insya Allah. (Editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top