Oleh: Awaluddin Abd Latif, S.Pd.I, M.Pd

Wakil Pimpinan Pesantren Al-Manar Cot Irie, Aceh Besar 


Allah swt menjelaskan dalam Alquran tuntunan hidup bagi seluruh manusia dan menetapkan batasan-batasan yang jelas antara yang haq dan batil, antara yang halal dan yang haram. Pada masa yang sama seorang muslim tidak terlepas dari godaan setan, hawa nafsu,  syahwat,  serta godaan untuk bersenang-senang dalam menikmati “keindahan” dunia ini.

Semua godaan tersebut untuk menguji siapakah diantara manusia yang mampu mengalahkan nafsu syahwatnya dan mengedepankan ketaatan terhadap aturan Allah Swt atau sebaliknya. Di antara ajaran syariat yang  Allah jelaskan  adalah tuntutan pembagian harta waris. 

Banyak umat Islam belum menyadari dengan baik ihwal pembagian harta peninggalan ini. Bahkan, ada ulama yang mengkhawatirkan, jika kondisi ketidaktahuan umat ini dibiarkan, boleh jadi praktik pembagian harta waris akan kembali seperti zaman jahiliah dulu.

Pada masa itu, di jazirah Arab maupun di belahan bumi lain, pembagian harta warisan tidak mencerminkan keadilan. Perempuan tidak memperoleh bagian dari harta peninggalan orang tua atau kerabatnya yang meninggal dunia. Anak-anak juga tidak mendapat harta warisan, karena dinilai belum mampu mengelola keuangan dan anak laki-laki dinilai belum mampu menunggang kuda untuk berperang, jadi tidak perlu diberi harta warisan.

Ketika agama Islam datang, Rasulullah Muhammad saw diutus dengan membawa ajaran yang terus berlaku hingga akhir zaman, salah satu ajarannya tentang pembagian harta warisan yang lebih mencerminkan rasa keadilan.

Allah swt berfirman: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS An-Nisa’: 7)

Diriwayatkan di dalam hadits dari Jabir bin Abdillah r.a, bahwa istri Sa’d bin Ar-Rabi’ menghadap Rasulullah saw dengan membawa dua anak perempuannya yang yatim.  Istri Sa’d berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah dua anak perempuan Sa’d yang gugur ketika ikut bertempur bersama engkau dalam perang Uhud. Paman dua anak ini mengambil semua harta peninggalan Sa’d dan tidak meninggalkan sedikitpun untuk putri-putri Sa’d ini. Sementera mereka perlu uang, antara lain untuk menikah.”

Rasulullah saw menjawab dengan bersabda, “Allah telah memutuskan perkara ini.” Turunlah ayat Alquran yang berbicara tentang pembagian harta waris. Rasulullah saw pun mengutus seseorang untuk menemui paman putri-putri Sa’d itu dengan pesan, “Berikan dua pertiga harta peninggalan Sa’d kepada putri-putrinya, seperdelapan untuk ibunya, dan sisanya boleh kamu ambil.”

Itulah syariat dan cermin keadilan. Perempuan yang dulu dianggap tidak berharga, sehingga tidak perlu mendapat harta warisan, yang oleh Islam diberi penghargaan, didudukkan terhormat antara lain dengan diberikan hak memperoleh harta peninggalan orang tua atau kerabat yang meninggal dunia.

Ayat di atas mengatakan, bagi laki-laki ada hak dan bagi perempuan juga ada hak. Sama-sama memiliki hak memperoleh harta warisan orang tua.

Menunda warisan

Adapun permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat berkaitan dengan harta warisan adalah menunda-nunda pembagian harta warisan. Penundaan ini terjadi dengan berbagai alasan, di antaranya masih adanya salah satu orang tua yang masih hidup dan adanya harapan nilai jual yang lebih tinggi di waktu mendatang. Alasan lain, adanya salah satu ahli waris yang menempati rumah warisan dan belum mampu memiliki rumah sendiri, karena semua ahli waris sudah mapan secara ekonomi dan tidak benar-benar membutuhkan harta warisan tersebut. 

Perlu dipahami sejak awal adalah, bahwa harta warisan merupakan hak bagi setiap orang yang secara sah menjadi ahli waris dari orang yang meninggal dunia. Karena ini menjadi hak, maka pemilik hak dapat memintanya kapan pun ia mau, baik ketika ia membutuhkan ataupun tidak membutuhkan. Karena harta warisan merupakan hak orang lain, maka menunda pembagian warisan tanpa ada kerelaan dari semua ahli waris yang ada adalah merupakan tindakan yang tidak dibenarkan, sebab penundaan ini membuat hak orang lain terganggu.

Berbeda masalahnya apabila penundaan itu merupakan kesepakatan dengan penuh kerelaan semua ahli waris, karena adanya alasan tertentu. Meskipun hal ini juga tidak tertutup kemungkinan memunculkan permasalahan di kemudian hari. 

Sering terjadi di masyarakat, penundaan pembagian harta warisan -- bahkan dengan niat dan alasan yang baik dari seluruh ahli waris -- berujung pada permasalahan yang rumit di antara para ahli warisnya. 

Sebagai contoh kasus, seorang meninggal dunia dengan ahli waris A, B, C, dan D. Harta yang ditinggalkan berupa sebuah rumah yang cukup besar. Semuanya sepakat untuk tidak segera membagi rumah warisan itu dengan alasan yang cukup baik, yakni rumah itu biar dihuni oleh si D sampai ia mampu membeli rumah sendiri. Mereka juga beralasan,  agar pada saat-saat tertentu rumah tersebut bisa menjadi base camp keluarga ketika mereka yang kini tinggal di berbagai kota datang ke kota asal mereka. 

Seiring berjalannya waktu terjadilah beberapa peristiwa. Si A meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa orang anak. Lalu disusul D meninggal dunia yang juga meninggalkan beberapa anak dan posisinya masih menempati rumah warisan orang tuanya. Permasalahan kemudian muncul ketika anak-anak si D ingin membagi rumah yang selama ini mereka tempati. Mereka tak tahu dan bahkan tak mau tahu bahwa rumah yang selama ini ditempati bukan milik orang tuanya secara keseluruhan. Ada hak-hak saudara orang tua mereka di sana. 

Permasalahan semakin berkembang. Anak-anak dari si A juga menuntut rumah itu, karena tahu bahwa ada hak orang tuanya di rumah tersebut. Namun anak-anak si D tak mau tahu. Pada akhirnya yang terjadi bisa ditebak, minimal tali silaturahim keluarga itu menjadi retak dan tak jarang tindakan pidana terjadi di antara mereka demi mendapatkan harta warisan yang dianggap sebagai haknya.   

Kasus seperti itu sangat sering terjadi di masyarakat yang berawal dari satu keputusan; menunda pembagian harta warisan. Karenanya, sangat dianjurkan agar tidak lama setelah selesainya pengurusan jenazah beserta berbagai hal yang berkaitan dengannya pembagian harta warisan segera dilakukan. Namun tidak sedikit kasus dalam pembagian warisan yang harta warisan sulit segera dibagi karena berbagai alasan. 

Apabila berita acara pembagian warisan pada harta warisan yang sulit segera dibagi, maka perlu diketahui terlebih dahulu bagian masing-masing ahli waris. Ini adalah langkah awal yang tepat. Selanjutnya, yang disarankan adalah menuangkan penetapan bagian-bagian itu ke dalam satu bentuk tulisan hitam di atas putih -- semacam berita acara -- yang ditandatangani oleh semua pihak di atas materai lengkap dengan para saksi. Bubuhkan pula catatan-catatan yang diperlukan dalam berita acara tersebut. 

Untuk urusan keluarga dan kebiasaan masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai saling percaya, mungkin hal ini dirasa terlalu formal, tapi yakinlah, legalitas seperti itu sangat bermanfaat untuk mencegah berbagai permasalahan yang sangat mungkin muncul dari pembagian warisan. 

Kasus seperti di atas barangkali tidak akan menjalar permasalahannya dan akan lebih mudah diselesaikan bila dari awal telah dibuat kesepakatan tertulis di antara ahli waris. 

Membagi harta warisan tidak berarti menjual aset warisan. Ketika setiap ahli waris telah mengetahui berapa bagian untuk dirinya, maka membagi aset warisan adalah soal teknis. Tidak setiap aset warisan harus dijual kepada pihak ketiga untuk kemudian dibagi uangnya. Bisa jadi di antara ahli waris ada yang mau membayar kepada ahli waris yang lain sesuai dengan bagiannya dari aset warisan tersebut yang kemudian aset tersebut menjadi miliknya. 

Menyampaikan amanah 

Terdapat banyak dalil yang mengharuskan segera ditetapkannya kepemilikan harta setelah seseorang meninggal dunia. Di antara dalil-dalil yang mengharuskan segera membagi harta waris adalah kewajiban menyampaikan amanah. 

Pada hakikatnya harta yang ditinggalkan oleh mayit adalah amanah yang harus segera ditunaikan atau diserahkan kepada pemiliknya yang berhak. Maka menunda pembagiannya sama saja dengan sikap tidak amanah dan seperti mengambil harta yang bukan miliknya, juga cenderung mempermainkan harta milik orang lain. Padahal kita diperintahkan untuk bersikap amanah. 

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 58: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Dalam surat Al-Anfal ayat 27 Allah SWT juga berfiman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (editor: smh)  

Teks khutbah ini disampaikan di Masjid Darul Hasani, Gampong Miruek Taman, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar,  16 September 2022 bertepatan 19 Safar 1444 H.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top