Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Kontemplasi Sang Guru

Hidup penuh tantangan. Kerena itu, butuh persiapan yang lebih mapan untuk menghadapi kemungkinan yang bakal menimpa. Mental yang kuat dan fisik yang sehat modal dasar mencapai keberhasilan hidup. Hal tersebut, tentu tidak serta merta terwujud tanpa didikan dan persiapan sejak dini. Membina karakter, kepribadian, dan prilaku terpuji membuat seseorang menjadi pemberani, gagah, kuat, serta rela berkorban demi menegakkan keadilan dan kebenaran. 

Inilah didikan yang diterima Zubair bin Awwam dari ibunya Shafiyah binti Abdul Muthalib. Seorang ibu sekaligus guru bagi anaknya untuk menjadikannya seorang kesatria sejati. Shafiyah berasal dari keturunan Abdul Muthalib, kakek Rasulullah saw. 

Shafiyah seorang ibu dan pendidik hebat. Ia memiliki beribu cara membentuk watak anaknya menjadi seorang lelaki kuat dan perkasa. Ia memperkokoh sendi dan akhlak yang agung. Shafiyah sendiri tumbuh kembang dalam rumah tangga Abdul Muthalib, seorang pemimpin Quraisy yang disegani sebagai tampuk kepemimpinan di kota Mekah. Ia manusia berbudi mulia, taat, dan tak pernah menyembah berhala. 

Shafiyah binti Abdul Muthalib, ibu dari Zubair bin Awwam seorang pembela Rasulullah saw. Shafiyah tumbuh menjadi wanita pemberani, fasih, pandai baca tulis, berwawasan luas, ahli menunggang kuda, serta pandai bermain pedang dan tombak. Itulah diantara keutamaan Shafiyah binti Abdul Muthalib. Kehebatan yang tidak dimiliki banyak wanita. Hal tersebut sebagaimana disebutkan Syaikh Mahmud Al-Mishri dalam bukunya Biografi 35 Shahabiyah Nabi saw.

Pendidikan kedisiplinan yang tinggi diperoleh Shafiyah dari keluarganya, lalu dia turunkan kepada anaknya Zubair bin Awwam sebagai bekal hidup. Hingga pernah suatu ketika Zubair sedang ragu dan diam, tiba-tiba Shafiyah “menyakiti” anaknya suatu pukulan keras yang mengejutkan. Maksudnya agar Zubair anaknya tidak lemah, bertindak cepat, dan tangkas. Akibatnya, paman Zubair menegur Shafiyah, karena mendidik anak dengan kekerasan.  Pamannya berkata, "Kau memukulnya dengan pukulan membenci, bukan pukulan seorang ibu. Memukul anak tidaklah sekeras itu." Lalu Shafiyah membantahnya,  karena ia sangat menyayangi anaknya.

Shafiyah mendidik Zubair agar siap menghadapi tantangan hidup yang keras dan serba sulit. Ia mendidik anaknya menunggang kuda dan berperang. Mainan yang diberikan kepadanya berupa anak panah dan membetulkan busur. Sang anak sangat patuh terhadap perintah sang ibu. Sehingga, ia tumbuh kembang seperti watak ibunya, keras, tegas dan disiplin. Zubair seorang kesatria Rasulullah saw. Keberaniannya disamakan dengan Al Faruq, seperti seribu lelaki. Shafiyah mendidiknya seorang diri, setelah suaminya Awwam bin Khuwailid meninggal dunia. 

Syaikh Mahmud menulis, ketika peristiwa hijrah ke Yasrib berlangsung, Shafiyah bersama Zubair anaknya ikut serta. Mareka meninggalkan kampung halaman dan harta benda demi menyelamatkan akidah. Para muhajirin diterima dengan baik dan penuh persahabatan di tempat Anshar. Kaum Anshar lebih memperhatikan kepentingan Muhajirin daripada kepentingan sendiri. Shafiyah dan Zubair mengalami hari-hari indah di sepanjang hidupnya di tengah lingkungan keimanan dan jauh dari kemusrikan. 

Sebagai seorang muslim, jihad merupakan suatu kerinduan. Ketika perang Uhud terjadi, Shafiyah ikut serta berjihad dengan para wanita lain. Mareka membawa air untuk pasukan yang kehausan, mengarut anak panah dan mengobati prajurit yang terluka. Shafiyah bergabung dalam pasukan Rasulullah, keponakannya. Ikut serta saudaranya Hamzah bin Abdul Muthalib sang singa Allah dan anaknya Zubair bin Awwam. Lengkap sudah keberadaan mereka di tengah-tengah satu keluarga. 

Saat kaum muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud, menurut Syaikh Mahmud, banyak kaum muslim meninggalkan Rasulullah saw. Hanya segelintir saja yang tetap setia. Dalam kondisi darurat, Shafiyah yang ketika itu sudah berusia 60 tahun, namun semangatnya luar biasa. Dengan sigap ia meraih tombak dan menyisir barisan musuh. Ia berlarian sambil menyabet-nyabet ujung tombak ke wajah para musuh. Shafiyah berteriak keras di tengah-tengah pasukan kaum muslim dan berkata, "Apa yang kalian lakukan? Patutkah kalian meninggalkan Rasulullah?”

Banyak kaum muslim yang syahid dalam perang Uhud, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib, saudaranya Shafiyah dan paman Rasulullah saw. Ketika Shafiyah turun ke gelanggang pertarungan, Rasulullah khawatir ia akan melihat jenazah saudaranya, Hamzah. Lalu beliau berkata kepada Zubair, "Temuilah dia dan suruh dia pulang, agar tidak melihat jenazah saudaranya."                   

Zubair menghampiri ibunya dan berkata, "Ibu, Rasulullah memerintahkan agar ibu kembali." Mengapa? “Aku sudah tahu, bahwa saudaraku dimutilasi. Dia telah berjuang di jalan Allah. Katakan kepada beliau, aku akan ridha dan bersabar terhadap kematian saudaraku Hamzah.” Zubair menyampaikan  perihal itu kepada Rasulullah. Lalu beliau menjawab, "Biarkan saja dia." Shafiyah menghampiri jenazah saudaranya Hamzah dengan sabar, kemudian mendoakannya. Lalu, Rasulullah saw memerintahkan agar jenazahnya dikuburkan. 

Menurut Syaikh Mahmud, ketika perang Khandaq berkecamuk, pasukan musyrik berkekuatan hebat ingin menghancurkan pasukan Islam dan kaum muslim. Namun, tiba-tiba Allah menurunkan bala bantuannya berupa pasukan angin badai, sehingga memporak-porandakan tungku dan mencopot pancang-pancang tenda. Kaum musyrik berhamburan keluar padang pasir. Mereka lari tunggang langgang dari arena peperangan, sehingga kalah sebelum bertanding.

Saat Rasulullah saw akan ke Khandak untuk berperang, beliau menempatkan para istrinya dalam benteng bernama Fari’. Urwah menuturkan, setiap kali Raaulullah akan berperang, beliau selalu menempatkan istri-istrinya di benteng Hasan sebagai benteng terkokoh di Madinah. Lalu seorang Yahudi datang dengan menempelkan telinganya ke dinding untuk menguping pembicaraan. Shafiyah berkata, "Aku kemudian mengambil balok kayu lalu aku bawa turun. Aku membuka pintu secara perlahan, setelah itu aku menyerang Yahudi itu. Aku memukulnya dengan balok hingga ia tewas. Shafiyahlah orang pertama yang membunuh orang musyrik ketika itu. Sungguh keberanian luar biasa. 

Shafiyah sangat mencintai keponakannya, Muhammad saw, sehingga kematian Rasulullah saw menjadi duka mendalam baginya. Air mata kesedihan menyelimuti dirinya. Namun, ia tetap mengikuti manhaj Rasulnya. Meskipun Rasulullah telah tiada, ia selalu rajin beribadah, shalat malam, berpuasa, dan ibadah-ibadah lain. Karena, tidak lama  setelah Rasulullah wafat, ia pun menyusulnya. Ia pergi untuk bertemu dengan orang yang dicintainya. Ia meninggal dalam usia 70 tahun lebih dan dimakamkan di Baqi.' Semoga Allah meridhainya. (editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top