Oleh: Hj. Supiati, S. Ag., M. Sos

Sekretaris IPARI Kota Banda Aceh

Di tengah dinamika masyarakat yang terus berkembang, peran penyuluh agama semakin strategis dan krusial. Tidak hanya sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang menjalankan tugas-tugas birokratis, penyuluh agama kini dituntut untuk tampil sebagai agen perubahan sosial yang responsif terhadap tantangan zaman. Pertanyaannya: Apakah penyuluh agama hanya sekadar pelaksana formal, ataukah ia seharusnya bertransformasi menjadi motor perubahan sosial di tengah masyarakat?

Landasan Formal: ASN Berbasis Kinerja

Secara struktural, penyuluh agama adalah bagian dari ASN yang bertugas melaksanakan fungsi pembinaan keagamaan, sebagaimana diatur dalam Permenpan RB No. 9 Tahun 2021 tentang Jabatan Fungsional. Dalam aturan ini, jabatan fungsional penyuluh agama ditetapkan dengan standar kompetensi dan kinerja berbasis angka kredit yang jelas. Tugas utama meliputi pelaksanaan penyuluhan, pengembangan materi, dan pembinaan umat berbasis wilayah kerja.

Kebijakan ini menggarisbawahi bahwa penyuluh agama harus menjalankan tugasnya secara profesional, terukur, dan sistematis. Namun, pendekatan ini tidak cukup jika tidak dibarengi dengan sensitivitas terhadap dinamika sosial dan budaya masyarakat.

Perluasan Peran: Penyuluhan di Era Digital

Memasuki era revolusi digital, fungsi penyuluh agama turut mengalami pergeseran. Kementerian Agama melalui Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 1172 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan Agama Islam di Media Sosial, memberikan mandat baru: penyuluh agama harus mampu hadir di ruang-ruang digital sebagai juru dakwah moderat dan edukatif. Dunia maya telah menjadi medan dakwah baru, tempat anak muda mencari identitas, pencerahan, bahkan keputusan hidup.

Pedoman ini mendorong penyuluh untuk memproduksi konten digital berbasis nilai keislaman yang sejuk dan mencerahkan. Mulai dari dakwah berbasis narasi pendek di Instagram, edukasi keluarga Islami di TikTok, hingga refleksi sosial dalam bentuk video pendek di YouTube atau Reels. Di sinilah peran penyuluh tidak hanya sebagai “pengajar”, tetapi juga “influencer” sosial berbasis nilai agama.

Pengukuran Kinerja yang Adaptif

Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengukur kinerja penyuluh di tengah pergeseran paradigma kerja ini. Kementerian Agama telah merespons melalui KMA No. 11 Tahun 2025 tentang pengukuran kinerja penyuluh agama. Regulasi ini tidak lagi hanya menilai kuantitas kegiatan, tetapi juga kualitas dampak sosial dari penyuluhan.

Kinerja penyuluh kini mencakup aspek-aspek seperti: efektivitas konten media sosial, jumlah audiens yang dijangkau, perubahan perilaku masyarakat, serta keberhasilan membangun jejaring lintas sektor. Ini menjadi bentuk pengakuan bahwa kerja penyuluh bukan hanya soal jumlah ceramah, tetapi sejauh mana ia mampu menciptakan perubahan positif dan terukur dalam kehidupan umat.

Sinkronisasi dengan ASKAPROTAS Kemenag: Penyuluhan Berdampak

Dalam dokumen Arah Strategis Kebijakan dan Program Prioritas (ASKAPROTAS) Kementerian Agama, penyuluhan berdampak menjadi salah satu target penting. Bukan sekadar penyampaian pesan keagamaan, tetapi penyuluhan yang mampu:

Mengubah perilaku masyarakat ke arah yang moderat dan toleran,

Mencegah konflik berbasis agama dan perpecahan sosial,

Menumbuhkan ketahanan keluarga dan spiritualitas umat.

ASKAPROTAS secara tegas mendorong penyuluh agama untuk bergerak melampaui pendekatan normatif menuju pendekatan transformasional, di mana penyuluhan menjadi bagian dari solusi terhadap problem sosial-keagamaan masyarakat.

Dari Formalitas ke Gerakan Sosial

Pertanyaan besar kembali mencuat: apakah penyuluh agama akan tetap berada dalam zona nyaman sebagai ASN formal, atau berani menjelma menjadi agen perubahan sosial?

Penyuluh yang hanya terpaku pada rutinitas laporan, pengisian logbook, dan pengumpulan angka kredit, lambat laun akan kehilangan relevansi di mata umat. Sebaliknya, penyuluh yang menyentuh akar persoalan sosial — seperti kemiskinan spiritual, perpecahan keluarga, radikalisme, degradasi moral, atau tantangan pendidikan anak di era digital — akan menjadi pionir perubahan dan pemersatu umat.

Gerakan sosial berbasis penyuluhan agama bisa diwujudkan melalui kolaborasi dengan komunitas, lembaga pendidikan, pemuda masjid, hingga organisasi perempuan. Di sinilah penyuluh menjadi jembatan antara ajaran agama dan realitas sosial yang kompleks.

Tantangan dan Harapan

Menjadi agen perubahan sosial tentu bukan perkara mudah. Penyuluh membutuhkan peningkatan kapasitas, penguasaan teknologi, kemampuan komunikasi publik, serta keberanian mengambil posisi kritis terhadap ketimpangan sosial. Di sisi lain, institusi juga perlu mendukung dengan sistem pelatihan yang adaptif, insentif berbasis inovasi, dan penilaian kerja yang menghargai dampak, bukan sekadar dokumen.

Penyuluh agama adalah wajah negara di tingkat akar rumput. Ia menjadi simbol kehadiran negara yang membina, bukan menghakimi; yang membimbing, bukan menggurui. Ketika penyuluh mampu menjadi pendengar bagi kaum muda, penopang bagi keluarga, dan juru damai bagi masyarakat yang retak, maka ia telah menjadi agen perubahan sosial sejati.

Penutup

Era telah berubah, demikian pula wajah dakwah dan penyuluhan. Penyuluh agama tidak lagi cukup dengan label ASN, tetapi harus menjelma sebagai pionir transformasi nilai dan perilaku di tengah masyarakat. Dengan dukungan regulasi seperti Permenpan RB No. 9/2021, Kepdirjen 1172/2024, KMA No. 11/2025, serta penguatan dari ASKAPROTAS Kemenag, kini saatnya penyuluh agama menjawab tantangan: menjadi ASN formal yang berdampak sosial, atau sekadar pengumpul angka kredit.

SHARE :

0 facebook:

 
Top