Oleh: Rina Rusaeny

Aktivis Mahasiswa

Aksi unjuk rasa yang digagas oleh Aliansi Balikpapan Bergerak pada Senin, 1 September 2025 lalu di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan, tak hanya diikuti dari kalangan para mahasiswa saja. Seorang ibu dengan mengenakan jilbab merah muda tampak dengan lantang menyuarakan aspirasinya dengan menaiki atap mobil pikap. Ia adalah Wa Ma’ani, ibu rumah tangga, warga Kelurahan Batu Ampar, Balikpapan Utara. 

Pada saat unjuk rasa, Wa Ma’ani juga tampak membawa poster yang dihiasi gambar tengkorak bajak laut dengan tulisan, “Penguasa Merdeka Rakyat Menderita”. Saat orasi, ia curhat lantaran 6 orang anaknya kesulitan mendapatkan sekolah. Wa Ma’ani merasa dipersulit ketika mendaftarkan anak-anaknya ke jenjang sekolah menengah pertama. Dengan tegas, ia menuturkan bahwa merasa kecewa atas hal tersebut.  Suara Wa Ma’ani sejatinya adalah jeritan banyak orang tua di negeri ini, yang kecewa karena pendidikan hak dasar anak bangsa justru dipersulit.

Fakta ini memperlihatkan betapa peliknya problem pendidikan negeri ini. Negara yang seharusnya hadir memberikan jaminan hak pendidikan justru gagal menjalankan fungsinya. Sistem zonasi, jalur prestasi, dan mekanisme administrasi yang berbelit hanya melahirkan diskriminasi. Anak-anak mereka terancam putus sekolah, bukan karena tak ada semangat belajar, tetapi karena negara gagal menunaikan kewajiban untuk menjamin pendidikan rakyat. Lantas mengapa persoalan tersebut seolah berulang? Apa sebenarnya yang menjadi akar masalahnya? dan bagaimana solusinya?

Pendidikan sulit diakses, salah siapa?

Realitas pendidikan di Indonesia saat ini sungguh mengkhawatirkan. Program “wajib belajar 12 tahun” ternyata hanya jargon tanpa makna. Alih-alih menjamin akses pendidikan yang merata bagi seluruh anak bangsa, kebijakan yang ada justru melahirkan ketimpangan baru.

Pertama, sistem zonasi yang digadang-gadang untuk pemerataan malah melahirkan diskriminasi baru. Sekolah-sekolah favorit  dipenuhi murid berprestasi dan berlatar belakang ekonomi mapan, sementara sekolah lain kekurangan siswa dan minim perhatian. Anak-anak yang rumahnya jauh dari sekolah unggulan otomatis tersisih, sekalipun mereka memiliki semangat belajar tinggi.

Kedua, biaya pendidikan meski diklaim gratis, faktanya tetap membebani rakyat kecil. Seragam sekolah yang wajib berganti tiap jenjang, buku-buku yang harganya kian mahal, biaya transportasi, hingga iuran tambahan, menjadi penghalang serius bagi keluarga miskin. Tidak jarang orang tua harus berutang atau bahkan menyerah dengan keadaan, sehingga anak terpaksa putus sekolah.

Ketiga, mutu pendidikan yang timpang kian memperlebar jurang ketidakadilan. Sekolah di perkotaan relatif memiliki fasilitas lengkap, guru lebih berkualitas, dan akses teknologi yang memadai. Sebaliknya, di daerah tertinggal, siswa masih harus belajar dengan sarana seadanya, guru terbatas, bahkan ada sekolah yang kekurangan bangku dan atap yang bocor. Kondisi ini jelas menyalahi prinsip pemerataan pendidikan yang dijanjikan.

Keempat, negara setengah hati dalam menjamin pendidikan. Alih-alih hadir sebagai pengurus yang menjamin hak rakyat, pemerintah lebih berperan sebagai regulator. Pendidikan diperlakukan layaknya komoditas: dikomersialisasi, dijadikan proyek, dan menjadi ladang bisnis bagi segelintir elit. Akibatnya, esensi pendidikan sebagai hak dasar rakyat kian tergerus oleh kepentingan ekonomi. 

Akhirnya, akses pendidikan di negeri ini lebih banyak ditentukan oleh status ekonomi ketimbang hak dasar setiap anak. Mereka yang lahir dari keluarga berada relatif mudah mengakses pendidikan berkualitas, sedangkan anak-anak dari keluarga miskin sering kali harus menelan pil pahit, sulit masuk sekolah, terhambat biaya, bahkan ada yang sama sekali tidak bisa melanjutkan pendidikan. Tak heran jika muncul jargon pahit di tengah masyarakat: “orang miskin dilarang sekolah.”

Masalah ini tidak cukup dipandang sebagai “teknis zonasi” atau “administrasi sekolah.” Akar persoalannya jauh lebih mendasar yaitu penerapan ideologi sekuler kapitalisme yang dijadikan asas bernegara. Dalam paradigma kapitalisme, pendidikan diposisikan sebagai barang ekonomi. Siapa mampu bayar, dia yang dapat kualitas terbaik. Negara sekadar menjadi regulator, menyerahkan banyak urusan pendidikan kepada swasta.

Pandangan ini sejalan dengan arah liberalisasi pendidikan global yang diatur melalui Perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services) di bawah naungan WTO. Dalam perjanjian tersebut, pendidikan termasuk salah satu sektor jasa yang dapat diliberalisasi, artinya bisa dimasuki investasi asing dan dikomersialisasi seperti sektor ekonomi lainnya. Ketika negara tunduk pada kesepakatan WTO dan GATS, pendidikan diposisikan bukan lagi sebagai layanan publik yang dijamin negara, melainkan bagian dari pasar global yang terbuka untuk kompetisi dan investasi.

Dampaknya sangat terasa di Indonesia. Biaya pendidikan tinggi melonjak, sekolah-sekolah swasta premium tumbuh subur dengan tarif selangit, sementara sekolah negeri banyak yang kekurangan sarana dan tenaga pengajar. Kebijakan zonasi, administrasi yang rumit, hingga pembebanan biaya-biaya tambahan hanyalah “cabang masalah.” Akar masalah sesungguhnya ada pada penerimaan asas kapitalisme dan liberalisasi pendidikan yang sejalan dengan GATS–WTO.

Dengan kata lain, problem pendidikan di negeri ini tidak bisa diselesaikan dengan sekadar memperbaiki zonasi atau menambah kuota. Selama paradigma kapitalisme dan liberalisasi jasa pendidikan masih menjadi rujukan, diskriminasi pendidikan akan terus berlangsung. Hanya dengan kembali pada sistem Islam yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar dan kewajiban negara, bukan komoditas maka problem ini bisa diselesaikan hingga ke akar.

Islam Menjamin Pendidikan untuk Semua Anak

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang memandang pendidikan sebagai barang dagangan, Islam menjadikan pendidikan sebagai hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Pendidikan bukan komoditas untuk diperjualbelikan, melainkan amanah syar‘i yang harus dijamin keberlangsungannya. Inilah prinsip fundamental yang ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Muqaddimah ad-Dustur pasal 178–179:

“Negara berkewajiban menyediakan pendidikan secara gratis kepada seluruh rakyat, baik laki-laki maupun perempuan, di seluruh tingkatan. Tidak seorang pun boleh terhalang mendapatkan pendidikan karena alasan biaya.”

Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam, negara tidak boleh berlepas tangan apalagi menyerahkan urusan pendidikan kepada mekanisme pasar atau swasta. Justru negara berkewajiban hadir secara penuh, memastikan setiap anak tanpa memandang status ekonomi maupun latar belakang sosial mendapatkan akses pendidikan yang bermutu. Dalam Islam memiliki empat karakter utama prinsip pendidikan:

Pertama, gratis dan mudah diakses untuk semua anak. Pendidikan dalam Islam tidak dipungut biaya, baik di tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Semua rakyat berhak menikmatinya tanpa ada hambatan ekonomi maupun administrasi. Hal ini berbeda dengan kapitalisme yang membebankan biaya melalui seragam, buku, atau pungutan lain.

Kedua, kurikulum berbasis akidah Islam. Pendidikan Islam tidak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi membentuk syakhshiyyah islamiyyah (kepribadian Islam). Akidah dijadikan asas seluruh kurikulum, sehingga sains, matematika, bahasa, maupun ilmu lainnya diorientasikan untuk memperkokoh iman dan ketaatan kepada Allah SWT. 

Ketiga, Sarana prasarana dijamin negara. Segala fasilitas pendidikan, mulai dari bangunan sekolah, buku, laboratorium, hingga gaji guru, dijamin dari Baitul Mal. Guru tidak boleh digaji dari pungutan siswa, melainkan dari kas negara yang bersumber dari pos kepemilikan umum, fai’, kharaj, maupun zakat. Dengan demikian, pendidikan terlepas dari motif bisnis. Guru digaji dari baitul mal, bukan dari pungutan murid.

Ke-empat melahirkan generasi gemilang. Sejarah membuktikan, sistem pendidikan Islam melahirkan ilmuwan sekaligus ulama besar. Tokoh seperti Ibnu Sina (Bapak Kedokteran), Al-Khawarizmi (Bapak Aljabar), dan Al-Farabi (Filosof Islam) muncul dari atmosfer pendidikan yang berlandaskan Islam. Mereka tidak hanya menguasai sains, tetapi juga memiliki pondasi akidah yang kokoh, sehingga ilmu mereka diabdikan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan kapital. Pendidikan Islam terbukti melahirkan ilmuwan sekaligus ulama seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Farabi.

Inilah perbedaan mendasar antara paradigma pendidikan Islam dan kapitalisme. Jika kapitalisme melahirkan kesenjangan dan diskriminasi dalam pendidikan karena orientasinya profit, maka Islam menghadirkan sistem pendidikan yang adil, merata, gratis, dan berkualitas tinggi.

Oleh karena itu, solusi atas problem pendidikan hari ini bukan sekadar revisi zonasi atau perbaikan administratif, melainkan perubahan mendasar pada asas yang digunakan. Selama asas sekuler kapitalisme menjadi pijakan, pendidikan akan tetap menjadi komoditas. Hanya dengan kembali pada Islam sebagai asas bernegara, pendidikan dapat kembali ke fitrahnya sarana membentuk manusia bertakwa, berilmu, dan berkontribusi bagi peradaban.

Wallahua'lam bishawab

SHARE :

0 facebook:

 
Top