Oleh: Hj. Supiati, S. Ag., M. Sos

Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh

Kasus yang dialami oleh Sri, warga Banda Aceh, menunjukkan fenomena penting dalam ranah hukum keluarga di Aceh, yakni pernikahan tanpa adanya hubungan suami istri dalam jangka waktu yang lama. Sri menikah dengan suaminya yang PNS dengan jarak tempat tinggal berjauhan dan selama sepuluh tahun tak pernah terjadi hubungan intim. Situasi ini baru terungkap saat Sri mengetahui suaminya adalah seorang homoseksual, sehingga hubungan mereka secara suci namun tidak berjalan sesuai kewajiban suami istri dalam perkawinan. Kasus ini sempat dibawa ke Mahkamah Syariah Aceh, di mana hakim sempat menawarkan pilihan pembatalan pernikahan, namun Sri menolak. Kasus seperti ini menunjukkan pentingnya tinjauan hukum syariah yang berhubungan dengan kewajiban hubungan suami istri dan implikasi hukumnya di Aceh.

Pembahasan Dalam Tinjauan Konseptual Hukum dan Dalil Islam.

Dalam hukum keluarga Islam yang diakomodasi Qanun Aceh, pernikahan adalah ikatan suci yang tidak hanya terkait aspek administrasi atau materi, melainkan mencakup hak dan kewajiban suami istri secara menyeluruh. Salah satu kewajiban utama suami adalah memberi nafkah batin berupa hubungan suami istri yang harmonis. Ulama fikih bersepakat bahwa hubungan badan merupakan kewajiban suami yang jika tidak dilaksanakan tanpa alasan syar'i, hal itu dapat menimbulkan kerusakan dan berpotensi menjadi alasan pembatalan atau perceraian.

Dalam Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Keluarga, pernikahan dapat dibatalkan apabila terjadi pelanggaran terhadap syarat dan rukunnya. Pasal 59 secara tegas menyatakan bahwa pembatalan nikah dapat terjadi apabila terdapat cacat dalam pelaksanaan pernikahan, termasuk pernikahan yang dijalankan tanpa memenuhi kewajiban hak dan kewajiban suami istri . Mahkamah Syariah Aceh memiliki kewenangan untuk membatalkan pernikahan jika salah satu pihak mengajukan pembatalan karena adanya penipuan atau ketidaksesuaian keadaan yang sebenarnya berbeda dari yang diketahui saat pernikahan berlangsung .

Dalil Quran dan Hadis mendukung pentingnya kewajiban suami istri dalam berhubungan. Surat Al-Baqarah ayat 222 menyatakan, "Janganlah kamu mendekati mereka (istri) sebelum mereka suci, dan apabila mereka telah suci, campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu," yang menunjukkan kewajiban hubungan badan dalam pernikahan . Ulama Hanbali menegaskan suami wajib menggauli istri minimal empat bulan sekali sebagai bentuk pemenuhan hak nafkah batin.

Dalam kasus Sri, ketidakhadiran hubungan intim selama satu dekade merupakan pelanggaran hak istri yang secara syariat bisa menjadi dasar pembatalan pernikahan. Namun, pembatalan pernikahan harus diputuskan oleh Mahkamah Syariah yang mewakili otoritas hukum syariah di Aceh dengan mempertimbangkan bukti dan alasan yang kuat.

Analisis Kasus

Kewajiban suami untuk memberi nafkah batin adalah komponen fundamental dalam perkawinan. Tidak terpenuhinya kewajiban ini berimplikasi pada rusaknya tujuan pernikahan sebagai pemenuhan kebutuhan lahir dan batin. Secara hukum syariah, ketidakmampuan atau ketidakmauan suami memenuhi hak istri bisa menjadi alasan kuat pembatalan pernikahan. Namun, penanganannya tidak sederhana, karena diperlukan pengajuan permohonan pembatalan pernikahan oleh salah satu pihak beserta proses pengadilan syariah yang berjalan adil dan bijaksana.

Kasus seperti di Aceh ikut memperlihatkan sensitivitas hukum syariah memadukan norma agama dan norma adat. Pembatalan pernikahan bukan sekadar aspek teknis hukum, tetapi juga persoalan kehormatan dan perlindungan martabat perempuan. Qanun Aceh memberi ruang pembatalan perkawinan secara hukum untuk melindungi hak-hak perempuan yang tidak terpenuhi akibat penipuan, penelantaran, atau pengingkaran kewajiban suami.

Namun, tantangannya adalah kesiapan sistem hukum Mahkamah Syariah dalam menangani kasus pembatalan yang berhubungan dengan faktor psikologis dan sosial seperti homoseksualitas suami yang sangat sensitif secara budaya dan agama. Perlunya kajian mendalam dan advokasi hukum bagi perempuan korban agar hak-haknya diakui dan dipenuhi dengan tetap menjaga prinsip syariah.

Kesimpulan dan Solusi Permasalahan

Pembatalan pernikahan di Aceh dapat dilakukan berdasarkan alasan hukum syariah yang kuat, termasuk ketidakmampuan suami memenuhi kewajiban hubungan suami istri. Kasus seperti Sri adalah gambaran bahwa hukum syariah memberikan perlindungan terhadap hak istri sekaligus menegaskan pentingnya nafkah batin dalam pernikahan. Mahkamah Syariah berperan vital sebagai lembaga yang mengawasi dan memutuskan pembatalan ketika hak-hak dalam perkawinan dilanggar.

Solusinya adalah peningkatan pemahaman dan sosialisasi hukum keluarga Islam di Aceh agar masyarakat perempuan dan laki-laki memahami hak dan kewajiban dalam pernikahan. Juga diperlukan pendampingan hukum yang sensitif budaya dan berbasis syariah agar perempuan korban pelanggaran hak dalam pernikahan mendapat keadilan. Selain itu, Mahkamah Syariah harus siap memberikan putusan yang adil dengan memperhatikan aspek psikologis dan sosial serta prinsip keadilan demi perlindungan hak perempuan.

Dengan begitu, pernikahan sebagai institusi sosial dan agama di Aceh dapat berjalan harmonis, saling menghormati, dan terlindungi secara hukum sesuai nilai-nilai syariah.Artikel ini menggunakan referensi dari Qanun Aceh tentang Hukum Keluarga, dalil hukum Islam terkait hak dan kewajiban suami istri, serta praktik Mahkamah Syariah Aceh dalam pembatalan pernikahan tanpa hubungan suami istri.

SHARE :

0 facebook:

 
Top