Oleh: Najwa Salsabila, Mahasiswi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry Banda Aceh


Ketika Pendidikan Dipanggil Menjawab Krisis Iklim
Dalam peringatan Hari Guru Nasional 2025 di Indonesia Arena, GBK, Presiden Prabowo Subianto berbicara tentang dunia yang kian gelisah. Perubahan iklim, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan—menurutnya—bukan lagi bayang-bayang masa depan, melainkan tantangan yang sudah mengetuk pintu rumah kita hari ini.

Presiden meminta agar pendidikan menjaga lingkungan diperkuat dan dimasukkan lebih tegas ke dalam silabus sekolah. Materi tentang menjaga hutan, mencegah pembabatan pohon, serta merawat sungai dinilai perlu terus ditekankan. Ia juga mengajak seluruh masyarakat ikut berperan, dari rumah masing-masing, dalam menjaga lingkungan.

Seruan ini terdengar masuk akal. Bahkan penting. Di tengah krisis iklim global, pendidikan memang tak boleh absen dari ikhtiar penyelamatan bumi. Namun ketika pesan ini hadir bersamaan dengan banjir besar yang kembali melanda Sumatera beberapa saat lalu, kegelisahan pun muncul. Sebab bencana ekologis yang kita saksikan hari ini bukan sekadar soal kurangnya kesadaran, melainkan tentang bagaimana alam diperlakukan oleh kebijakan.

Di titik inilah pertanyaan mendasarnya muncul:
Apakah banjir ini lahir dari ruang kelas yang kurang mendidik, atau dari ruang kekuasaan yang terlalu longgar memberi izin?


Menyingkap Akar Krisis Ekologi
Banjir di Sumatera bukan peristiwa yang jatuh dari langit tanpa sebab. Ia adalah hasil dari akumulasi keputusan—tentang hutan yang dibuka, tanah yang dilubangi, dan sungai yang dibebani. Masalah ini bersifat struktural, bukan personal.

Deforestasi Masif—Dan Itu Bukan Ulah Siswa
Hutan yang Hilang, Bukan karena Kurang Pelajaran. Data berbicara dengan jujur, bahkan getir. Menurut Global Forest Watch, Indonesia telah kehilangan sekitar 10,5 juta hektare hutan primer tropis, menjadikannya negara kedua dengan kehilangan hutan tropis terbesar di dunia. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah bentang alam yang lenyap, satu demi satu, meninggalkan tanah yang tak lagi mampu menahan air.

Kehilangan ini jelas bukan ulah anak-anak sekolah yang lupa mencintai alam. Ia adalah konsekuensi dari ekspansi besar-besaran yang dilegalkan oleh negara. Di Sumatera, tekanan terhadap hutan datang dari berbagai arah. Sumatera sebagai Zona Tambang dan Proyek Energi. Data Kementerian ESDM yang diolah JATAM menunjukkan bahwa Sumatera telah berubah menjadi zona tambang minerba. Tercatat 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif, dengan total luas mencapai 2.458.469,09 hektare.

Belum berhenti di situ. Selain tambang, terdapat sedikitnya 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang telah beroperasi atau tengah dikembangkan di Pulau Sumatera—banyak di antaranya berada di kawasan hulu sungai dan wilayah ekologis sensitif.

Tata Kelola yang Bocor dan Hukum yang Goyah
Walhi telah lama mengingatkan: di balik banjir, selalu ada jejak izin yang bermasalah. Hutan yang seharusnya menjadi benteng air justru menjadi arena tumpang tindih HGU dan IUP—sebuah labirin kepentingan yang bahkan aparat lapangan pun kewalahan mengurai.

Tekanan ini diperkuat oleh skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Di Sumatera saat ini tercatat sedikitnya 271 PPKH dengan total luas 53.769,48 hektare. Dari jumlah tersebut:
•66 izin diperuntukkan bagi tambang (38.206,46 hektare),
• 11 izin untuk panas bumi/geothermal (436,92 hektare),
• 51 izin untuk migas (4.823,87 hektare),
• 72 izin untuk proyek energi lainnya (3.758,68 hektare),
• Sementara sisanya digunakan untuk telekomunikasi, pemerintahan, dan kepentingan lain.

Angka-angka ini menunjukkan satu hal:
Hutan Sumatera tidak sedang kekurangan kesadaran, tetapi kelebihan izin.

Ketika Sekolah Dijadikan Jawaban atas Masalah Struktural
Memperkuat pendidikan lingkungan adalah langkah yang benar. Namun menjadikannya sebagai jawaban utama atas krisis banjir adalah kekeliruan arah yang berbahaya. Guru Mendidik Nilai, Bukan Menarik Izin. Guru memiliki peran penting dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap alam. Mereka bisa menanamkan etika, empati, dan tanggung jawab ekologis.

Namun guru tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin tambang. Mereka tidak bisa menghentikan proyek PLTA yang memotong aliran sungai. Mereka juga tidak punya kuasa atas PPKH yang mengubah hutan menjadi kawasan industri.

Ketika negara terlalu menekankan peran sekolah, tanggung jawab struktural dipindahkan ke ruang kelas—ke pundak mereka yang tidak memegang alat kekuasaan apa pun. Mengalihkan sorotan dari aktor yang sesungguhnya memiliki kuasa.

Banjir Datang Sekarang, Bukan Nanti
Pendidikan bekerja perlahan. Ia adalah investasi jangka panjang yang hasilnya baru terasa bertahun-tahun kemudian. Namun banjir tidak menunggu. Ia datang sekarang—menenggelamkan rumah, merusak sawah, dan memutus penghidupan.

Yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar penguatan silabus, tetapi keputusan tegas: moratorium izin di kawasan hutan vital, evaluasi menyeluruh terhadap izin tambang dan proyek energi, serta penegakan hukum yang tidak tunduk pada kepentingan modal. Tanpa itu, pendidikan lingkungan hanya akan menjadi nasihat indah yang kalah cepat dari arus air bah.

Kesadaran Ekologis Harus Lahir dari Kekuasaan
Kesadaran lingkungan sejati tidak hanya diukur dari apa yang diajarkan kepada murid, tetapi dari apa yang diputuskan oleh negara. Ia lahir dari keberanian politik untuk mengatakan “cukup” pada eksploitasi yang melampaui batas daya dukung alam. Elite politik tidak cukup hanya mengajak masyarakat ikut berperan. Mereka harus menunjukkan keteladanan melalui kebijakan yang konsisten—termasuk berani mencabut izin yang terbukti merusak hutan dan daerah aliran sungai.

SHARE :

0 facebook:

 
Top