Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Wakaf di Aceh: Tradisi, Inovasi, dan Keberkahan

Bencana besar kembali memporak-porandakan bumi Aceh untuk kedua kalinya setelah tragedi tsunami 2004. Namun kali ini, deritanya terasa lebih menyesakkan dada. Tanah-tanah hancur tertutup lumpur tebal dan kayu-kayu berondongan, menyisakan pemandangan pilu yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Bencana ini datang dengan suasana yang sangat mencekam. Padamnya aliran listrik membuat malam terasa gelap gulita. Jaringan komunikasi terputus, akses transportasi darat lumpuh total akibat jalan nasional rusak parah dan jembatan-jembatan ambruk. Air bah datang membawa penderitaan mendalam, meninggalkan lumpur tanah liat setebal atap rumah serta kayu-kayu besar yang menghantam rumah dan bangunan. Tubuh manusia dan hewan terseret arus, banyak di antaranya berakhir pada kematian.

Kondisi ini sangat berbeda dengan tsunami 2004. Saat itu, gelombang laut memang meluluhlantakkan Aceh, namun bantuan segera mengalir dari berbagai negara setelah status bencana nasional ditetapkan. Kali ini, keadaannya jauh lebih sunyi dan menyedihkan. Status bencana nasional tidak segera ditetapkan, sehingga bantuan datang lamban dan terbatas. Ketidaksiapan dan kurangnya respons cepat telah menambah panjang derita rakyat.

Lumpur setebal rumah tidak mungkin dibersihkan dengan tenaga seadanya. Warga hanya bisa menyaksikan rumah-rumah mereka tenggelam, sambil menahan air mata dan kehancuran batin. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain pasrah pada keadaan. Masa depan seakan ikut terkubur bersama lumpur tanah liat yang mengeras.

Seakan tak banyak mata yang memandang Aceh hari ini. Bantuan dari luar terhambat, sementara bantuan pemerintah belum memadai. Rakyat pun terdiam dalam duka, terpaku dalam derita yang panjang.

Dalam Perbincangan Sabtu Pagi  Radio Baiturrahman, (20/12/2025) Ustaz Ridha Yunawardi, S.H. menyampaikan  perumpamaan yang menggugah hati. Andai saja lumpur itu berubah menjadi emas, tentu banyak orang akan datang berebut mengambilnya. Namun sayangnya, yang ada hanyalah lumpur tanah liat. Andai lumpur itu memiliki khasiat sebagaimana kisah keselamatan dalam kapal Nabi Nuh AS, niscaya akan ada banyak tangan yang berlomba membersihkannya. Namun semua itu hanyalah bayangan, kecuali jika Allah Swt. berkehendak menghadirkan keajaiban-Nya.

Hingga kini, bantuan yang datang masih sangat terbatas. Lumpur-lumpur itu nyaris tak tersentuh, sehingga masyarakat harus berjuang sendiri membersihkan sisa-sisa bencana. Ustaz Ridha telah lebih dari sepuluh hari berada di lokasi dan menyaksikan langsung kondisi memilukan tersebut. Bahkan banyak tempat ibadah masih terbengkalai, belum tersentuh pembersihan karena keterbatasan tenaga dan alat. Kita hanya bisa berharap pertolongan Allah segera hadir.

Semoga derita Aceh segera berlalu dan kehidupan kembali pulih seperti sediakala. Semoga ada hikmah besar di balik musibah ini. Kepada saudara-saudara kita yang tertimpa bencana, semoga Allah Swt menganugerahkan kekuatan dan kesabaran. Dan bagi mereka yang wafat, semoga Allah memberikan pahala syahid serta tempat terbaik di sisi-Nya.

SHARE :

0 facebook:

 
Top