Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Wakaf di Aceh: Tradisi, Inovasi, dan Keberkahan


Setiap sebab pasti melahirkan akibat. Inilah hukum sebab-akibat yang berlaku dalam kehidupan. Apa yang kita lakukan, dampaknya akan kembali kepada diri kita sendiri. Ibarat pepatah lama, menepuk air di dulang, terpancik muka sendiri. Demikian pula hukum Allah Swt; kebaikan yang dikerjakan akan berbuah kebaikan, sementara keburukan yang dilakukan akan berujung pada akibat yang buruk.

Dalam tausiah yang disampaikan Ustaz Abdul Somad di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, 26 Desember 2025, pada peringatan 21 tahun musibah tsunami Aceh dan di tengah situasi banjir bandang yang kembali melanda, beliau menguraikan tujuh sebab terjadinya bencana besar.

Pertama, semua musibah telah ditetapkan Allah Swt di Lauh Mahfuzh. Jauh sebelum alam semesta diciptakan, takdir telah ditentukan. Karena itu, tidak ada satu pun makhluk yang mampu menolak ketetapan Allah.

Kedua, terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia. Alam bukan sekadar rusak, tetapi telah hancur. Hutan dibabat habis, gunung digunduli, laut tercemar. Semua ini sejatinya menjadi undangan terbuka bagi datangnya bencana.

Padahal Allah menciptakan alam dengan keseimbangan yang sempurna. Akar-akar pohon bukan hanya menopang batang, tetapi juga menyimpan air di dalam tanah, menahan erosi, dan menjaga cadangan air saat kemarau. Ketika keseimbangan ini dirusak, banjir dan kekeringan menjadi keniscayaan. Betapa bijaksananya aturan Allah atas alam semesta ini.

Ketiga, ditinggalkannya amar ma’ruf nahi mungkar. Rasulullah saw. menegaskan bahwa kemungkaran wajib dicegah. Jika tidak mampu dengan tangan, maka dengan lisan; jika tidak mampu dengan lisan, maka dengan hati, yaitu membencinya. Jika semua ini diabaikan, kemurkaan Allah bisa turun dalam bentuk bencana yang menyapu tanpa pandang bulu.

Keempat, bencana sebagai sarana penghapus dosa hamba-hamba-Nya. Orang beriman meyakini bahwa setiap ujian mengandung hikmah. Musibah bukan semata-mata bala, tetapi ujian untuk meninggikan derajat dan membersihkan dosa, asalkan disikapi dengan iman dan kesabaran.

Kelima, Allah menguji kepedulian dan empati sesama manusia. Sejauh mana kita mampu merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang kelaparan, kedinginan di tenda pengungsian, sementara kita hidup dalam kenyamanan. Bahkan orang-orang non-Muslim pun turut membantu korban bencana. Mahasiswa Mapala mengangkat beras di pundak mereka, menembus medan berat demi kemanusiaan. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan hidayah dan keberkahan.

Keenam, bencana bisa menjadi akibat dari doa orang-orang yang teraniaya. Ketika keadilan diabaikan dan penderitaan rakyat tidak digubris oleh para pemimpin, doa mereka menembus langit. Karena itu Rasulullah saw  mengingatkan agar berhati-hati terhadap doa orang yang dizalimi. Sejarah mencatat keteladanan Khalifah Umar bin Khaththab yang rela berkeliling malam hari demi memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan. Keadilan pemimpin adalah benteng dari murka Allah.

Ketujuh, sesuai rukun iman keenam, adanya takdir baik dan takdir buruk. Takdir ada yang bersifat mubram (tidak bisa diubah) dan mu‘allaq (bisa berubah dengan ikhtiar dan doa). Orang beriman akan menerima ketentuan Allah dengan ikhlas, sembari terus berusaha. Iman diibaratkan seperti batu hitam yang diuji dengan api; setelah dibakar, barulah tampak apakah ia emas atau sekadar batu biasa.

Di akhir tausiahnya, Ustaz Abdul Somad berpesan bahwa rakyat Aceh adalah bangsa yang kuat. Sejarah panjang telah menguji Aceh dengan berbagai musibah: konflik, tsunami dahsyat, hingga bencana alam yang terus berulang. Namun semua itu mampu dilalui dengan kekuatan iman. Tanpa iman, manusia mudah rapuh dan berputus asa.

Aceh bukan generasi stroberi, yang tampak indah namun mudah layu. Rakyat Aceh bermental baja, mampu bangkit dan mengambil hikmah dari setiap musibah. Semoga Allah Swt senantiasa menguatkan rakyat Aceh dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan.

SHARE :

0 facebook:

 
Top