Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
LEBIH dari 700 cendekiawan Muslim dan 450 kepala organisasi pemuda Muslim seduia ikut berpartisipasi dalam acara World Assembly of Muslim Youth (WAMY) yang digelar semenjak Kamis-Ahad  (29/01/2015 – 01/02/2015) di kota Maroko belum lama ini.
WAMY atau dalam bahasa Arab kepanjangannya adalah An-Nadwah Al-‘Alamiyyah lisy-Syabâb Al-Islâmy adalah salah satu organisasi kepemudaan Islam international yang hingga hari ini eksistensinya masih bisa bertahan di tengah melemahnya berbagai organisasi kepemudaan Islam internasional lainnya.
Setiap empat tahun sekali organisasi ini menyelenggarakan Muktamarnya untuk merumuskan arah gerakan dan memilih pemimpin yang baru. Empat tahun yang lalu, tepatnya bulan Oktober 2010 Muktamar XI diselenggarakan di Jakarta dan dibuka langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Agama Suryadarma Ali. Di Jakarta terpilih Dr. Shalih Al-Wuhaibi sebagai Sekjen WAMY untuk periode 2010-2014. Kali ini Muktamar ke-XII organisasi yang didirikan oleh Raja Faisal dari Saudi ini menyelenggarakan Muktamarnya di Kota Marakesh Maroko (Maghrib).
Aktivis-aktivis organisasi kepemudaan dari seluruh dunia dan alumni-alumninya banyak yang sengaja diundang datang pada Muktamar ini sehingga tidak heran bila banyak juga generasi “tua” yang hadir pada acara ini. Acara inipun selain menjadi ajang pertemuan pemuda, juga menjadi reuni para aktivis senior yang sengaja diundang. Ini menjadi daya tarik sendiri karena dua generasi dapat bertemu di satu forum. Peserta tidak hanya datang dari negara-negara Islam, namun juga dari negara-negara minoritas Muslim seperti Jepang, China, Srilanka, Australia, Amerika, India, Brazil, Kanada, dan sebagainya.
Di antara deretan para tamu tampak hadir para ulama Saudi Arabia seperti Syeikh Dr. Shalih bin Humaid Imam Masjidil Haram dan Dr. Abdullah bin Sulaiman Al-Muni’ yang keduanya merupakan anggota Hai’ah Kibâr Al-Ulamâ’ Saudi Arabia. Hadir juga mantan Presiden Sudan Abdurrahman Muhammad Suwar Al-Dzahab. Dai kondang dari Mumbay India Dr. Zakir Naik juga turut menjadi peserta pada Mukamar ini. Selain itu hadir pula Syeikh Dr. Muhammad Hasan Walid Ad-Dudu, ulama muda dari Mauritania, dan Syeikh. Dr. Ishom Basyir, ulama terkenal dari Sudan.
Dari Indonesia tentu saja peserta datang diwakili oleh berbagai organisasi pemuda. Perwakilan WAMY Indonesia diwakili langsung oleh direkturnya, Ustad Aang Suwandi. Mantan ketua lama yang kini menjabat ketua WAMY Asia-Pasifik Ustad Makmur Hasanudin juga ikut hadir.
Utusan lain yang hadir adalah dari Pemuda Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (JPRMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Pemuda Persatuan Umat Islam (PUI).
Sebetulnya Pemuda Muhammadiyah dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terdaftar dalam undangan, namun tidak terlihat hadir. Salah seorang anggota DPD RI (2014-2019) dari Provinsi Banten Ahmad Sadeli Karim yang juga Ketua Umum Mathla’ul Anwar ikut hadir sebagai tamu undangan.
Maghribi Negeri Para Ulama dan Pemikir
Pada pembukaan dan konfrensi pers, Sekjen WAMY Dr. Shalih Al-Wuhaibi menjelaskan bahwa jatuhnya pilihan tempat Muktamar ini di Maroko karena alasan sejarah. Negeri ini adalah negeri yang telah menjadi bagian dari dunia Islam sejak pasukan Uqbah ibn Nafi’ salah seorang panglima Bani Umawiyah menaklukkannya tahun 685 M.
Oleh sebab itu, selama belasan abad, negeri ini memiliki keterikatan yang kuat dengan Islam sepanjang sejarahnya. Penduduk asli Maroko, yaitu bangsa Berber telah menyatu sepenuhnya dengan Islam sehingga mereka menjadi salah satu suku yang sangat dipengaruhi oleh Islam.
Bahkan hingga kini 99 persen penduduk Maroko yang berjumlah sekitar 30 juta adalah Muslim. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi dan bahasa pertama penduduk Maroko selama beradab-abad. Baru setelah masa penjajahan Prancis sejak abad ke-19, bahasa Prancis menjadi salah satu bahasa yang hidup di negeri ini sebagai bahasa kedua. Dalam percakapan sehari-hari masyarakat, kadang-kadang bahasa Arab dengan Prancis silih berganti digunakan.
Sebagai negara dengan sejarah Islam panjang yang gemilang dan sebagai pintu masuk dari Eropa menuju Afrika dan Asia dan sebaiknya, tidak mengherankan bila selain posisi geopolitiknya sangat penting, Maroko juga menjadi jembatan ilmu pengetahuan. Dari negeri ini banyak ulama lahir ulama besar yang reputasinya mendunia sejak masa penaklukannya dahulu. Selain ulama, juga lahir para pemikir, inetelektual, dan bahkan pemimpin-pemimpin yang menorehkan sejarah emas bagi Islam.
Sang penakluk Spanyol Thoriq bin Ziyad adalah anak keturunan asli Maghribi bangsa Berber yang lahir di Al-Jazair. Thoriq bin Ziyad dengan gagah berani dan heroism yang menggetarkan hati telah berhasil masuk ke wilayah kekuasaan Romawi Barat di Andalusia (Spanyol) pada 29 April 711 M (92 H).
Perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan sejak zaman Nabi Shallahu ‘Alaihi Wassalam telah menyebabkan wilayah Matahari Terbenam ini juga berubah menjadi salah satu tempat lahirnya para ulama yang menandakan bahwa gairah dan kualitas keilmuan masyarakatnya telah tinggi. Kita dapat sebutkan beberapa contoh ulama sejak zaman klasik hingga saat ini. Masyarakat dunia mengenal dengan baik nama Syeikh Qadhi Iyad. Nama lengkapnya adalah Al-Qadhi Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh Al-Yahshabi Al-Andalusi As-Sabti Al- Maliki. (476-544 H). Nama ulama besar ini terdengar sampai ke berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia. Hal itu, di antaranya, karena ia memiliki sejumlah karya tulis, seperti Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim, Masyariq al-Anwar fi Tafsir Gharib al-Hadits. Namanya diabadikan menjadi nama perguruan tinggi, Universitas  Al-Qahi ‘Ayyadh di Marakech. Makam beliau berada di Marakech, bersebelahan dengan pasar tradisional.
Ulama besar lainnya, bahkan lebih popular,  adalah Abu Bakr bin al‘Arabi Muhammad bin Abdullah bin Muhammad al-Hafiz al-Malikial-Mu’afiri, yang masyhur dikenal dengan Ibnul Arabi (ahli fikih). Ia lahir di Sevilla Spanyol pada tahun 468 H. Karyanya yang fenomenal adalah: Ahkam Al-Qur’an, yang dibaca di berbagai perguruan tinggi Islam, termasuk di Indonesia. Beliau meninggal fi Fez, Maroko pada tahun 543 H.Makamnya tidak begitu jauh dari masjid Qarawiyyin, sebuah masjid tua yang didirikan tahun 800-an Masehi. Di Masjid Qarawiyyin inilah sampai sekarang dipertahankan perkuliahan sistem halaqah, dan inilah perguruan tinggi tertua di dunia, lebih tua dari Al-Azhar di Mesir yang didirikan tahun 900-an. Dari masjid Al-Qarawiyyin ini telah lahir  tokoh-tokoh besar dunia seperti Ibnu Khaldun dan Musa bin Maimun. Seperti juga Al-Azhar, kini Universitas Al-Qarawiyyin telah membuka sistem perkuliahan modern di lokasi berbeda, bukan di mesjidnya yang ada sekarang.*(bersambung…) “Tak Ada Makalah Indonesia..”
Penulis Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam,Peserta Muktamar XII WAMY 28-31 Januari 2015 di Maroko

http://www.hidayatullah.com/
SHARE :
 
Top