Dulu — bagi banyak anak sekolah di Indonesia — RPAL dan RPUL adalah buku “sakral.” Buku ini menyimpan pengetahuan dasar yang luas: tentang alam, tubuh manusia, negara, geografi, serta pengetahuan umum yang mewarnai wawasan anak-anak sejak kecil. Kini, buku-buku semacam itu tampaknya semakin terpinggirkan dan konsekuensinya bisa sangat luas, dari melemahnya literasi hingga makin kaburnya kepedulian terhadap lingkungan dan bencana yang mengancam.
📉 Krisis literasi sebagai landasan kerentanan
Laporan dari RISE Programme menunjukkan bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis literasi serius. Hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 memperlihatkan bahwa sekitar 70% siswa Indonesia memiliki kemampuan membaca di bawah Level 2 — artinya mereka kesulitan sekadar menemukan gagasan utama atau informasi penting dari teks pendek. 
Situasi ini diperparah oleh kekurangan perpustakaan dan bahan bacaan bermutu: meskipun kebutuhan sangat besar, hanya sebagian kecil yang terpenuhi baik perpustakaan umum maupun sekolah.
Dengan akses ke buku pengetahuan dan literasi dasar minim, bagaimana generasi muda kita dapat membangun wawasan luas termasuk kesadaran lingkungan dan pentingnya menjaga alam?
🏫 Perpustakaan sekolah sebagai aset yang belum optimal
Secara kebijakan, perpustakaan sekolah seharusnya menjadi “rumah literasi” — pusat sumber pengetahuan dan budaya baca. Namun kenyataannya banyak perpustakaan sekolah berfungsi sekadar sebagai pelengkap administratif, bukan bagian aktif dari proses belajar.
Banyak sekolah kekurangan pustakawan profesional; sebagian besar dikelola oleh guru tanpa pelatihan khusus, sehingga manajemen dan pemanfaatan perpustakaan berjalan seadanya.
Akibatnya: bahkan jika sekolah memiliki perpustakaan, belum tentu koleksinya memadai apalagi buku referensi umum seperti RPAL/RPUL.
📚 Ketiadaan data spesifik — tapi indikasi menurun kuat
Sampai sekarang, tidak ada data nasional yang secara resmi mencatat berapa banyak sekolah atau perpustakaan yang masih memiliki RPAL/RPUL, atau berapa siswa yang menggunakan buku tersebut. Tidak ada statistik yang memetakan “keberadaan buku pengetahuan umum” secara spesifik.
Namun ada indikator kuat: literasi yang rendah, kekurangan bahan bacaan bermutu, dan kurang optimalnya perpustakaan sekolah, semuanya menunjukkan bahwa kemungkinan besar akses ke buku referensi seperti RPAL/RPUL semakin berkurang dari waktu ke waktu.
🌳 Implikasi terhadap literasi lingkungan dan bencana
Pengetahuan dasar tentang alam seperti cara kerja ekosistem, peran hutan dalam siklus air, fungsi akar pohon untuk menahan tanah sangat penting sebagai modal awal untuk membangun kesadaran lingkungan.
Kalau generasi sekarang tumbuh tanpa fondasi pengetahuan semacam itu, maka wajar jika pemahaman tentang pentingnya menjaga hutan, menghindari deforestasi, dan langkah mitigasi bencana menjadi tipis.
Di wilayah seperti Sumatra yang belakangan sering dilanda banjir dan longsor lemahnya literasi lingkungan bisa membuat masyarakat rentan terhadap bencana, karena mereka tak memiliki pemahaman mendasar tentang bagaimana ekosistem dan vegetasi mempengaruhi stabilitas tanah dan drainase alami.
📌 Jalan ke depan: rekonstruksi literasi dan pendidikan lingkungan melalui perpustakaan
Butuh upaya serius untuk memulihkan literasi tidak hanya membaca, tetapi literasi pengetahuan umum dan lingkungan.
perpustakaan sekolah harus difungsikan bukan sebagai pelengkap administrasi, tapi sebagai pusat literasi aktif: koleksi diperkaya, pustakawan profesional disediakan, kegiatan baca digalakkan.
pemerintah & pemangku kepentingan bisa mendukung distribusi bahan bacaan bermutu termasuk buku referensi umum, ensiklopedia, literatur lingkungan.
generasi muda perlu “ditemani” untuk membangun empati terhadap alam lewat pendidikan lingkungan sejak sekolah dasar, dengan sumber yang mudah diakses dan informatif.
✨ Penutup: Pentingnya Menghidupkan Kembali RPAL/RPUL — atau Setara Warnanya
RPAL dan RPUL hanyalah simbol — simbol dari buku pengetahuan umum yang ringkas tapi kaya, yang mampu memberi dasar pengetahuan luas kepada siswa. Kehilangan akses terhadap buku semacam itu bukan sekadar kehilangan satu judul buku tapi potensi untuk membangun generasi yang berwawasan, cerdas lingkungan, dan tanggap bencana ikut hilang.Krisis literasi yang terjadi hari ini dengan minimnya bacaan bermutu, lemahnya pengelolaan perpustakaan, dan dominasi konten digital membuat kebutuhan akan buku referensi umum justru menjadi semakin penting.
Jika kita ingin generasi mendatang lebih peduli terhadap alam dan lebih tangguh menghadapi tantangan lingkungan seperti banjir dan longsor maka sudah saatnya kita mempertimbangkan ulang: apakah RPAL/RPUL (atau buku serupa) pantas dilupakan, atau tetap dipertahankan dan bahkan diperbarui sebagai bagian dari fondasi literasi nasional.

0 facebook:
Post a Comment