dok SMH
LAMURIONLINE.COM I BANDA ACEH – Sidang Tarjih Fikih Kegamaan Tingkat Nasional yang berlangsung 14-17 Oktober 2019 di Hotel Hermes Banda Aceh menghasilkan rumusan tentang zakat dan kesehatan. Kegiatan yang digagas Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan (Isra) Aceh dan Muhammadiyah tersebut dihadiri ratusan peserta dan membahas belasan makalah. 

“Hadir juga Plt Gubernur Aceh, Ir H Nova Iriansyah MT menyampaikan sambutan dan keynote speech Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr H Haedar Nashir, MSi,” kata Kepala Biro Isra Zahrol Fajri. 

Zahrul mengatakan, sidang tarjih membahas meteri Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat dalam Konteks Nasional oleh Prof Dr Jaih Mubarok SE MH MAg (MUI Pusat), Peran Negara dalam Pengelolaan Zakat dalam Konteks Aceh oleh Prof Syahrizal Abbas MA (Guru Besar UIN Ar-Raniry) dan Masalah-Masalah Ketarjihan Seputar Zakat oleh Prof Dr Syamsul Anwar MA (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah). 

Materi lainnya yang dibahas, Zakat Core Principle oleh Muhammad Hasbi Zainal Lc PhD (Direktur Pusat Kajian Zakat Badan Amil Zakat Nasional), Zakat dan Gerakan Filantropi Muhammadiyah oleh Hilman Latif, MA, PhD (Ketua LAZISMU), dan Redefinisi Ashnaf Zakat oleh Dr Hamim Ilyas, MAg (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid). Kata Zahrol, sidang tarjih juga membahas makalah tema kesehatan, Perkembangan dan Penanganan Virus Campak dan Rubella oleh dr Aslinar, SpA, M.Biomed (Ketua Aceh Peduli Asi), Pemanfaatan Benda Haram dalam Proses Kimiawi Produk Obat-obatan o loleh Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu Murti, DEA (Direktur LP POM MUI DI Yogyakarta), Model Pemahaman Ulama terhadap Keharaman Makanan dan Minuman oleh Dr Muhibbutabary, MAg (MPU Aceh), serta Kaidah Istihalah dalam Khazanah Fiqih dan Pemanfaatannya Masa Sekarang oleh Prof Dr Al-Yasa Abubakar, MA (Guru Besar UIN Ar-Raniry). 

Salah seorang tim perumus, Dr Marah Halim SAg MAg MH, menjelaskan hasil sidang tarjih, pertama, peran dan eksistensi negara dalam pengelolaan zakat adalah amanah konsitusi untuk menyejahterakan masyarakat. Perwujudan peran tersebut di atas adalah dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan sebagai upaya deduktif- administratif untuk mengatur eksistensi dan praktek induktif pengelolaan zakat yang secara luas berkembang di masyarakat sebagai bentuk realisasi pengamalan ajaran Islam. 

Kedua, adanya kewenangan pelaksanaan syariat Islam di Aceh memberi peluang peran negara dalam pengelolaan zakat lebih jauh dan mendalam, dengan menjadikan pengelolaan zakat sepenuhnya menjadi urusan administrasi negara, seperti pembentukan struktur organisasi yang baku, tata kelola yang dinamis, aktifnya pengawasan negara, pemidanaan bagi pelanggarnya, dan telah menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). 

Ketiga, eksistensi dan peran negara dengan segenap sistemnya dalam pengelolaan zakat telah menjadi faktor pemicu dan pemacu perubahan konsep-konsep dasar zakat dan pengelolaannya, seperti muzaki badan hukum, jenis harta/penghasilan kena zakat, prioritas distribusi zakat, mustahik dan lain-lain. Keempat, peran negara diwujudkan dalam bentuk Peraturan perundang-undangan tentang zakat yang menjadi payung hukum bagi pengelolaan zakat. Untuk kepentingan tersebut, Baznas telah menyusun Zakat Core Principle. Untuk merespon ZCP, Muhammadiyah perlu menyusun fikih tata kelola zakat. 

Dalam penyusunan fikih tata kelola zakat tersebut perlu melakukan redefinisi muzaki dan mustahik zakat dan hal-hal lain yang terkait. Marah Halim mengatakan, sidang tarjih juga berhasil merumus masalah istihalah terkait penggunaan vaksin measles rubella (MR), pertama, berdasarkan data resmi Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa penyebaran virus campak dan rubela sudah menimbulkan kemudharatan yang nyata (kematian dan kecacatan permanen). Penyebaran virus ini begitu mudah dalam interaksi sehari-hari dan penangan untuk satu kasus saja membutuhkan dana yang sangat besar. 

Sejauh ini, cara pencegahan yang paling efektif adalah melalui imunisasi. Praktik imunisasi sudah banyak dilakukan di negara muslim, namun di Indonesia masih menjadi polemik yang menyebabkan adanya resistensi masyarakat. Kedua, dalam industri farmasi, terdapat indikasi penggunaan bahan baku (bahan aktif dan tambahan) serta sediaan obat dari benda haram seperti babi, tikus, darah, dan lain-lain. Hal ini didorong oleh tiga faktor, yaitu kemampuan teknologi, khasiat terhadap penyakit, dan biaya produksi. Penggunaan produk-produk kefarmasian tersebut secara global tidak terelakkan, namun dari perspektif keagamaan dihadapkan pada situasi dilematis yang membutuhkan jalan keluar yang elegan. 


Ketiga, fenomena penggunaan benda haram dalam produk makanan dan obat-obatan, dalam fiqh dibahas dengan pendekatan istihalah dan istihlak. Ada model ijtihad yang secara luas menerapkan kedua kaidah ini untuk semua jenis benda tanpa kecuali, termasuk pada benda-benda yang diharamkan. Pendekatan ini tentu memberikan kelapangan, khususnya dalam kehidupan modern. 

Di sisi lain, ada juga model ijtihad yang menerapkan kaidah ini secara sempit, sehingga secara sosiologis masyarakat dihadapkan pada kesulitan. Sebagai solusinya, ada dua langkah yang dapat digunakan: memahami teks/nash dengan menangkap nilai- nilai universalnya, yaitu keselamatan manusia; dan memahami teks dengan pemanfaatan capaian disiplin ilmu modern. 

Zahrol Fajri mengatakan, tim perumus sidang tarjih terdiri dari Dr Ali Abubakar, MAg, Dr Marah Halim, SAg, MAg, MH, Dewi Nurul Musjtari, SH, M.Hum, Aulia ‘Abdan Idza Shalla S.Th.I, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D ,,, , Dr. Ajidar Matsyah, Lc., MA, dan Dr EMK Alidar, M.Hum. (Smh)
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top