Oleh Sri Suyanta Harsa

ilustrasi
Muhasabah 12 Rabiul Awal 1441 
(Edisi Cinta Rasul)
Saudaraku, dua kata yang menjadi judul muhasabah hari ini hanya beda satu huruf saja yakni yang pertama dengan huruf U dan yang kedua dengan huruf I, tetapi maknanya sudah sangat kontras dan berlawanan, makanya ditulis versus. "Disambut" bernuansa positif yakni diterima dengan segala kehormatan dan kalungan bunga, dan "disambit" bernuansa negatif yakni ditolak dengan pengusiran.

Tema muhasabah kali ini sudah cukup mengingatkan kita tentang resiko menjadi sang penyeru kebaikan, atau pengingat kelalaian dan pelarang kejahatan, sebagaimana yang telah diperankan oleh para nabiyullah dalam sepanjang sejarah kemanusiaan, teristimewa pada nabi ulul azmi, wabilkhusus Nabi Muhammad saw. 

Nabiyullah Nuh as harus menyaksikan salah seorang anaknya bersama umatnya yang menolak seruan berislam ditelan banjir bandang setelah sebelumnya mereka menghina dan mencemooh seruannya. Dalam menjalankan dakwahnya, nabiyullah Ibrahim as juga harus menghadapi panas dan ganasnya api Raja Namrud yang lalim. Demikian juga nabiyullah Musa as berhadapan dengan kesombongan Fir'aun ketamakan Qarun kepalsuan Hamam, nabiyullah Isa atas pengingkaran umatnya.

Kini, sembari mensyukuri momen maulid nabi, 12 Rabiul Awal kita membuka ulang catatan dalam ingatan kita betapa panjang dan kerasnya perjuangan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.

Setelah memperoleh titah untuk berdakwah, Nabi Muhammad saw kemudian mulai menyeru orang-orang Makkah untuk beriman kepada Allah, sejak dengan cara rahasia dan personal sampai dengan cara terang-terangan dan komunal. Di sinilah kesabaran diuji, resiko terbesar sang pencerah dipertaruhkan. Nabi Muhammad saw berikut pengikut setianya, kemudian mendapatkan perlawanan keras bahkan kejam dari kaum kafir quraisy.  Beragam cara untuk mencegah dakwah dilakukan oleh orang kafir quraisy, sejak negosiasi menawarkan kompensasi harta tahta dan wanita sampai boikot bahkan ancaman bunuh pada diri Nabi Muhammad dan pengikutnya yang tidak seberapa. Namun Nabi tak bergeming sedikitpun dengan iming-iming dan ancaman dari orang-orang kafir quraisy,  sehingga dakwah Islam tetap dilakukannya.

Saat penduduk kafir quraisy Makkah belum lagi siap menerima risalah, ditambah mangkatnya istrinda Khadijah dan pamannda Abu Thalib, sekitar tahun kesepuluh kenabian terdapat harapan pada penduduk negeri Thaif sehingga Nabi Muhammad saw dan beberapa sahabat ikut berangkat hijrah ke sana. Namun ternyata sesampai di perkampungan Banu Tsaqib, jangankan disambut dengan sukacita tetapi justru disambit dengan lemparan batu yang sempat melukai Nabi.

Begitulah kira-kira sejarah merekam betapa besar dan berat resiko menjadi sang pencerah, penyeru kebaikan, pengingat kelalaian dan pencegah kejahatan. 

Agaknya sudah menjadi sunnatullah bahwa jalannya dakwah itu tidak selalu mulus, proses menyeru kepada kebenaran tidak jarang terhalang rintangan, upaya mencegah kejahatan sering dicap radikal, usaha mengingatkan kebenaran sering dianggap lawan berseberangan dengan pihak-pihak yang diingatkan. Sehingga bukan sambutan hangat yang didapatkan oleh para penyeru kebenaran, tetapi sambitan memedihkan. Tetapi penyeru kebenaran tetap berperan sebagai pelita umat menerangi kehidupan, sejarah kemanusiaan yang akan menyeleksinya sampai benar-benar nyata ditampakkan oleh Allah akan kebenarannya.

Karena kebenaran itu datangnya dari Allah, pada saat kebenaran menampakkan dirinya, maka sang pencerah, atau para penyeru kebaikan, atau pengingat kelalaian dan para pencegah kejahatan akan disambut dengan segala kehormatan yang mensejarah; hidupnya panjang karena meski badannya berkalang tanah namun nama dan jasa perjuangannya selalu disebut untuluk dikenang, sejarah hidupnya dipelajari, perilakunya diteladani oleh antar generasi.

Oleh karena itu, meskipun respon tidak selalu menggembirakan, tetapi selagi masih diberi kemampuan menapaki jalan ketakwaan dan saling berwasiat untuk berlaku benar dan sabar,  maka sudah selayaknya kita mengembangkan sikap syukur kepada Allah, baik syukur di hati, lisan maupun perbuatan konkret.

Pertama, mensyukuri di hati dengan meyakini sepenuhnya bahwa yang benar berasal dari Tuhan dan pasti akan muncul ke permukaan, sementara yang bathil berasal dari bisikan setan yang akan menjerumuskan kalau diikuti. 

Kedua, mensyukuri di lisan dengan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamin. Dengan terus memujiNya semoga Allah menganugrahi hidayah dan inayahNya kepada kita sehingga senatiasa istiqamah menapaki jalam yang benar.

Ketiga, mensyukuri dengan perbuatan nyata, yaitu istuqamah menyuarakan kebenaran meski bukan sambutan yang dirasakan tetapi sambitan dari para pihak yang tak berkenan.

Sehubungan dengan tema muhasabah hari ini, maka dzikir pengkodisian hati penyejuk kalbu guna menjemput hidayahNya adalah membasahi lisan dengan lafal ya Allah ya Hadiy ya Haakim. Ya Allah zat yang maha mengaruniai kebijaksanaan, tunjuki kami jalan untuk meraih keridhaanMu ya Rabb. Aamiin.
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top