Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA
LAMURIONLINE.COM I NASIONAL - Dewan Dakwah Aceh (DDA) menilai survey yang baru direlease oleh Kementerian Agama Republik Indonesia tentang Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan (Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat) Kemenag tidak valid dan reliable.

Survei yang dilaksanakan pada 16-19 Mei 2019 dan 18-24 Juni 2019 (9 hari) menggunakan metode Multistage Clustered Random Sampling (penarikan sampel secara acak berjenjang) dengan margin of error (MoE) sebesar kurang lebih 4.8 %  untuk tingkat provinsi, dan kurang lebih 1.7 % untuk tingkat nasional, dengan jumlah responden 400 orang di setiap provinsi di Indonesia dan menjadikan persoalan toleransi, kesetaraan, dan kerja sama di antara umat beragama sebagai indikator survei.

Hasil survei tersebut menempatkan Provinsi Papua Barat sebagai daerah yang paling tinggi Indeks Kerukunan Umat Beragama dengan skors 82,1 (di atas rata-rata nasional) dan provinsi Aceh berada pada urutan paling bawah dari rata-rata nasional dengan skors 60,2.

Dewan Dakwah Aceh mempertanyakan kerangka teori, indikator dan metodelogi yang digunakan Kemenag. Di Aceh tidak ada persoalan tentang kerukunan beragama jika yang dimaksudkan adalah toleransi antar umat beragama. Tidak ada konflik antara agama Islam dengan agama lain di Aceh,” kata Ketua Umum Dewan Dahwah Aceh Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA, Selasa (17/12).

Dosen Bidang Siyasah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh menambahkan Dewan Dakwah Aceh meragukan informan yang digunakan Kemenag. Sebab para tokoh agama di Aceh sudah beberapa kali membantah terkait tidak ada persoalan antar agama di Aceh, yaitu yang digelar Kanwil Kemenag Aceh di Hotel Grand Arabia, Rabu (19/12) dalam rangka  menyikapi hasil riset Setara Institute akhir tahun 2018, yang hasilnya lebih kurang sama dengan survei Kemenag akhir tahun 2019 ini.

Keraguan DDA juga semakin bertambah ketika hasil survey tersebut menempatkan Provinsi Papua Barat sebagai provinsi yang paling tinggi indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB).

Padahal secara kasat mata dan terang benderang serta masih segar dalam ingatan warga bangsa NKRI bahwa dalam beberapa waktu terakhir telah terjadi pengusiran warga pendatang, pembunuhan yang sadis, pembakaran dan berbagai aksi intoleran serta anarkis lainnya di Papua Barat, jelas Tgk Hasanuddin.

Tgk Hasanuddin mejelaskan DDA tidak bermaksud menyalahkan Papua, karena ini boleh jadi akumulasi dari berbagai ketimpangan yang selama ini terjadi di Papua. Namun menempatkan provinsi tersebut di urutan paling tinggi indeks KUB-nya mengindikasikan ada yang salah dalam kerangka teori dan indikator survey Kemenag.

Dewan Dakwah Aceh juga menilai ada unsur politis dari survey Kemenag. Coba perhatikan daerah yang indeks KUB rendah. Itu adalah adalah provinsi-provinsi yang persentase suara banyak diperoleh oleh kubu Prabowo dalam Pilpres 2019,” jelas Tgk Hasanuddin.

Lebih lanjut Tgk Hasanuddin menambahkan bahwa non muslim sangat nyaman hidup di Aceh yang berlaku syariat Islam. Malah dalam beberapa kasus hukum pidana (jinayat) mereka melakukan Penundukan Diri (Vrijwillige Onderwerping) secara sukarela atas dasar keinginan yang bersangkutan dengan memilih hukum Islam, dibanding KUHP. Karena menurut mereka proses hukumannya cepat (dicambuk beberapa kali) kemudian mereka bebas kembali berkumpul dengan keluarga dan melakukan aktivitas seperi biasa.

Lebih lanjut, DDA mendorong pihak Kemenag agar segera melakukan klarifikasi dan atau menarik kembali hasil survei tersebut, guna menjaga kondisi kehidupan umat beragama yang selama ini memang tidak ada persoalan, jangan sampai hasil survei ini malah menjadi pemicu timbulnya ketidak-rukunan.

DDA juga Meminta pihak Kemenag untuk membuka daftar pertanyaan yang diajukan serta komponen masyarakat mana saja yang dimintai informasi mengenai survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB), mengingat pihak FKUB Provinsi Aceh, sebagai sebuah wadah berkumpulnya para pemuka agama-agama, tidak pernah sama sekali dijadikan narasumber dan atau dilibatkan dalam kegiatan survei tersebut.

Dalam hal kesetaraan, selama ini semua umat beragama di Aceh memiliki kesempatan yang sama baik dalam hal bidang politik (hak untuk dipilih dan memilih) ekonomi (akses sektor usaha/bisnis, lapangan kerja dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya), sosial budaya (sampai difasilitasi pagelaran barongsai), menjalankan ajaran agama (belum pernah ada hambatan).

Selain itu, Kerja sama antara umat beragama pun, yang dijadikan sebagai salah satu indikator survei, juga tidak ada masalah. Ini terbukti adanya keterlibatan semua warga masyarakat, apapun agamanya, dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Karena orang Aceh, yang mayoritas Islam,  meyakini bahwa dalam urusan muamalah tidak ada larangan kerjasama dengan semua umat manusia dalam rangka membangun ukhuwah insaniyah. Tetapi kalau yang dimaksud dengan kerjasama dalam survei ini adalah sampai dalam masalah aqidah, ibadah dan ritual keagamaan maka sikap umat Islam jelas lakum diinukum waliyadiin.

Untuk diketahui, pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pemerintahan Aceh dan juga Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Praktek syariat Islam di Aceh berlandaskan/berasaskan perlindungan HAM, menghormati ragam agama lain dan berkeadlian sosial. (murdani/rel)
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top