Oleh Sri Suyanta Harsa

sumber ilustrasi: suaramuslim.com
Muhasabah 22 Rajab 1441
Saudaraku, tuntunan bertakwa  menjadi pesan wajib yang disampaikan pada setiap kutbah jumat dan pesan populis yang selalu menghiasi seruan dan dakwah islamiyah kapanpun dan di manapun. Allah berfirman yang artinya ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.. (Qs. Ali Imran 102)

Di antara inti pelajaran  yang sudah makruf  dituturkan oleh para ulama bahwa takwa adalah taat, berhati-hati dan takut pada Allah. Pertama, takwa itu taat. Lazimnya ketaatan itu mewujud dalam perilaku praktis dengan cara mengerjakan segala yang diperintah Allah dan meninggalkan segala yang dilarangNya, agar memperoleh keselamatan atau kebahagiaan. Karena orang-orang beriman menginginkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, maka ketaatan juga harus dilakukan terhadap ketentuan atau peraturan Allah yang berlaku di alam dunia ini dan ketentuan atau peraturan Allah yang pada dasarnya balasan kesempurnannya dibayar di alam akhirat kelak. 

Ketentuan atau peraturan atau hukum yang berlaku di alam dunia ini dikenal dengan sunnatullah atau hukum alam (nature of law) dan menjadi satu kesatuan dengan ketentuan/peraturan/hukum syariat yang diwahyukan Allah. Dengan demikian orang bertakwa adalah orang yang mematuhi hukum alam sebagai satu kesatuan ketaatannya pada hukum syariat. Secara praktisnya, orang bertakwa di samping menunaikan ibadah mahdhah dan mentaati hukum syaiat seperti syahadat, salat, puasa, zakat, haji, qurban, zikir, akikah dan ibadah vertikal lainnya tetapi juga mematuhi rambu-rambu lalu lintas, menjaga kebersihan kesehatan kelestarian alam, rajin belajar, melakukan riset, meraih iptek, melakukan percobaan, berobat ketika sakit dan seterusnya.

Hukum Allah yang berlaku di alam ini mengakomodir segala ketentuanNya yang berlaku di alam ini, baik tertulis maupun tidak tertulis. Misalnya rajin belajar maka pandai, sering riset maka ilmu berkembang, rajin menjaga kebersihan maka sehat, berobat agar sembuh, rajin bekerja pangkal kaya dan seterusnya. Maka ketaatan terhadap hukum alam, menjadi pembuka pintu rahmat dan karunia Allah sehingga manusia bahagia di dunia. Sebaliknya keingkaran terhadap hukum alam menjadi penyebab segala bencana sehingga manusia menderita. Dengan demikian, baik ketaatan maupun keingkaran terhadap hukum alam, akan berakibat langsung dan dibayar tunai serta ditanggung di alam dunia ini

Memelihara alam mendatangkan keserasian dan keasrian. Memelihara hutan mendatangkan kenyamanan, menjaga kebersihan mendatangkan kesehatan, rajin pangkal pandai, bersatu kita bisa teguh nan kuat, berlatih menjadi terampil, belajar menjadi cerdas dan seterusnya. Jadi ada proses ada hasil. Prosesnya baik, hasilnyapun baik.

Merusak alam menimbulkan petaka, membakar hutan menyebabkan musibah seperti darurat asap, banjir, satwa-satwa liar merangsek ke kemukiman penduduk. Kumuh menyebabkan wabah penyakit, malas pangkal masalah, malas bekerja melarat, malas belajar tergilas, dan seterusnya. Jadi prosesnya buruk, akibatnyapun buruk.

Oleh karena itu, suatu virus katakanlah corona yang menggejala akhir-akhir ini bukan berdiri sendiri tetapi terjadi karena sunnatullahNya di alam ini yang dilanggar oleh manusia. Di samping pola makan yang kurang memenuhi standar minimal heiginis (mengonsumsi makanan minunan yang haram seperti daging babi, anjing, kelelawar, tikus dan minuman khamar atau sejenisnya)  juga ketidakbersihan lingkungan seperti sampah dan limbah keluarga berserakan menumpuk di mana-mana, sehingga saat hujan turun, menggenangi dan memicu munculnya virus-virus berbahaya yang dapat menjadi wabah penyakit orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan virus corona dapat menyebar dan ditularkan dari seseorang ke sesamanya dengan sangat cepat di manapun berada.

Kedua, takwa itu hati-hati. Dalam konteks ini terdapat riwayat bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang takwa. Ubai balik bertanya  ”Apakah anda pernah melewati jalan yang banyak durinya? ”Pernah” jawab Umar. Ubai bertanya kembali: Bagaimana ketika anda melewatinya? Umar menjawab: ”Saya bersungguh-sungguh akan berhati-hati supaya tidak kena duri”. Ubai akhirnya mengatakan: ”itulah takwa yang sebenarnya.”

Dengan takwa menuntun kehati-hatian dalam berfikir dan bersikap, sehingga memperoleh keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.

Ketiga, takwa itu takut. Bila takwa dimaknai takut maka takwa kepada Allah mewujud dalam rasa takut pada siksaan Alkah. Inilah rasa takut yang positif. Karena takut kepada Allah sebagai kondisi psikhologis seorang hamba yang diliputi rasa takut terhadap siksaan Allah, sehingga orang-orang yang bertakwa akan berusaha semaksimal mungkin mentaati Allah, dengan cara mengerjakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya, sehingga dapat terhindar dari siksaanNya. 

Dan ternyata dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa orang yang paling takut pada Allah hanyalah ulama. Allah berfirman yang maknanya Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Qs.Al-Fathir 28). 

Dari normativitas di atas dimengerti bahwa orang bertakwa adalah ulama, yakni orang-orang yang memiliki ilmu. Di antaranya ilmu pengetahuan tentang betapa dahsyat siksaan Allah terhadap orang-orang yang jahat. Maka dengan ilmunya, orang-orang bertakwa merasa takut pada Allah sehingga tidak melakukan apapun yang mendatangkan siksaanNya. 

Dengan demikian yang ditakuti sejatinya adalah siksaan Allah. Maka yang dilakukan justru berusaha mendekati Allah sedekat-dekatnya. Mendekati Allah dapat dilakukan dengan mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya. Berbeda dengan rasa takut kepada seseorang yang sombong, bengis, kejam, rakus, pembohong, pemalas atau takut pada binatang buas seperti harimau, singa, ular, misalnya, dimana kita akan berusaha menjauhinya sejauh-jauhnya. 

Bila ada orang yang memiliki ilmu, tetapi dengan ilmunya tidak melahirkan rasa takut pada siksaan Allah, tidak menyebabkan semakin dekatnya pada Ilahi Rabbiy, maka ilmunya dapat dipertanyakan; jangan-jangan bersumber dari setan atau hawa nafsunya.

Rasa takut kepada Allah sebagai penanda ketakwaan melahirkan sikap keulamaan yang mewujud dalam muqabatullah atau dekat dengan Allah. Kriteria orang takwa seperti ini dipastikan akan beramal dengan Al-Qur'an, selalu dalam kondisi ridha atas ketentuan Allah, dan senantiasa berbekal untuk kehidupan masa datang.

Oleh karena itu, ketika rasa takut kepada Alkah dapat melahirkan ketaatan kepadaNya, ketaatan pada sunnatullah atau hukumNya Allah di alam dan hukum syariatNya secara simulthan, maka sudah selayaknya kita mensyukurinya, baik dengan hati, lisan naupun tindakan nyata. Pertama, mensyukuri di hati dengan meyakini bahwa ketaataan terhadap sunnatullah, yakni hukumNya Allah di alam merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ketaatannya pada Allah ta'ala. Kedua, mensyukuri dengan lisan yakni memperbanyak melafalkan syukur seperti alhamdu lillahi rabbil 'alamin, semoga kita benar-benar menjadi orang bertakwa dengan sesungguhnya. Ketiga, mensyukuri dengan tindakan nyata, di antaranya mengindahkan sunnatullah, hukum Allah yang berlaku di alam di samping mengukuhkan ketaatan pada hukum-hukum syariat.

Sehubungan dengan tema muhasabah hari ini, maka dzikir pengkodisian hati penyejuk kalbu guna menjemput hidayahNya adalah membasahi lisan dengan lafal ya Allah ya Qabidh ya Basith, Ya Allah ya Mumitu ya Muhyi. Ya Allah, zat yang maha menyempitkan maha melapangkan, maha mewafatkan, maha menghidupkan, tunjuki kami ke atas jalanMu ya Rabb. Aamiin
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top