Oleh Sri Suyanta Harsa

sumber ilustrasi: kompasiana.com
Muhasabah 2 Dzulqaidah 1441
Saudaraku, diantara tuntutan kemanusiaan,  kemuliaan dan tatanan peradaban, keluarga memiliki peran penting dalam Islam. Lazimnya sebuah keluarga (inti) terdiri dari seorang suami, istri dan anak meniscayakan kebersamaan dalam mewujudkan cita cinta terhadap agamanya dan kesejahteraan bersama. Di sinilah dipahami bahwa berkeluarga juga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang sedang mewujudkan keberislaman atas diri dan keluarganya di tengah kehidupan sosio kultural masyarakat.

Sebagai pranata penting bagi terbentuknya masyarakat yang berkemajuan, tuntutan berkeluarga dengan mudah dapat ditemukan dalam al-Qur'an dan dan hadits nabi. Maka muhasabah hari ini diberi judul keluarga dalam Teks. Diantara teks suci yang relevan  Allah berfirman yang artinya Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Al-Rum 21)

Dari Ibu Mas'ud ra Rasulullah saw bersabda, "Wahai generasi muda, barang siapa diantara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia menikah karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa yang belum mampu (menikah) hendaknya berpuasa, karena ia (puasa itu) dapat mengendalikanmu (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat lain, dari Aisyah ra Nabi Muhammad saw juga bersabda, "Nikah itu termasuk sunnahku. Barangsiapa yang enggan mengamalkan sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku. Menikahlah kalian, karena sesungguhnya aku akan bangga dengan kalian dihadapan umat-umat lain. Dan barangsiapa yang memiliki kemampuan maka menikahlah, dan barangsiapa yang belum mampu maka bepuasalah, karena puasa itu perisai (pemutus syahwat jima’) baginya.” (HR.  Ibnu Majah)

Dalam memenuhi tuntutan normativitas di atas terdapat ragam pengalaman yang berbeda-beda. Kemampuan (ba'ah) untuk menikah yang lazim dipersyaratkan tetap dipahami secara beragam. Semuanya bertujuan agar segala hajat yang diperlukan dalam mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah menjadi nyata. Subyektivitas saya, di samping kemampuan berupa kesanggupan memberi nafkah lahir dan batin, maka "kesiapan edukatif" menjadi sangat penting. Sebagai seorang suami dan istri harus saling asah asih asuh, saling ingat mengingatkan pada kebenaran dan takwa, bersiap menjadi pendidik atau sebagai guru kodrati bagi anak-anaknya. Aamiin.

Editor: smh
SHARE :
 
Top