Oleh Hamdani, S.Pd. 

(Guru SMAN 1 Lhokseumawe)


Selamat Hari Guru Nasional Ke-75 Tahun 2020

Pendidikan merupakan modal utama kemajuan sebuah bangsa, sebagai pilar penting dalam membangun peradaban bangsa. Pendidikan adalah suatu usaha mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan, serta keterampilan yang dimiliki dari generasi tua kepada generasi muda secara terus menerus agar bermanfaat hidupnya, baik jasmani maupun rohani. Pendidikan dewasa ini harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pada era modern dan teknologi seperti saat ini, siswa dituntut untuk lebih makin kreatif, berinisiatif, inovatif, mandiri, dan cerdas. Adapun hal-hal yang menjadi sasaran utama dalam pembelajaran saat ini adalah sesuatu yang bersifat intelektual dan keterampilan. 

Peran sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang membantu orang tua dalam mendidik anak-anaknya dituntut untuk selalu mengikuti tuntunan zaman tersebut. Artinya sekolah harus mampu untuk selalu menyesuaikan terhadap segala kemajuan yang ada pada masa-masa tersebut ataupun pada masa yang akan datang. 

Demikian pula dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seperti pembelajaran yang berupa materi puisi, cerpen, dan novel. Pembelajaran sastra merupakan salah satu dari materi pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah yang harus lebih diprioritaskan. Agar minat dan nilai pembelajaran sastra di sekolah lebih meningkat.  Jadi, hal tersebut merupakan tantangan yang sangat besar bagi guru dalam proses pembelajaran.

Padahal, pembelajaran sastra merupakan proses belajar yang sangat menarik karena siswa berhadapan dengan karya sastra yang unik seperti puisi, cerpen, dan novel. Karya sastra sebagai karya yang indah juga di dalamnya sarat dengan pesan moral yang berguna bagi pembaca. Karya sastra yang muncul ke ranah publik umumnya selalu dilihat dari dua sisi, yaitu nilai estetika dan pesan moral yang terkandung di dalam nya. Lalu wujud ini menjadi catatan atas peristiwa yang pernah mendera sebuah wilayah, dan penulis menjadi juru berita atas realita yang ada.  Realitas musibah, kerugian harta benda, korban jiwa, dan tangis para korban.

Karya sastra ternyata juga menjadi rekaman dokumenter sejarah peradaban manusia. penulis mencatat dan menuangkan berbagai tragedi memilukan dalam karyanya. Lalu, sastra itu jadilah barang antik dan klasik yang menjadi bahan referensi bagi para penulis dan penikmat sejarah dalam sastra. Melalui karya sastra penulis berekspresi menyuarakan bentuk duka citanya. Nilai estetika dengan kedalaman makna, bahkan metafora serta analogi lainnya terkait sejarah bencana adalah bagian tak dapat dipungkiri.

Di Aceh pada paruh waktu tahun 1990 sampai dengan 2020 banyak melahirkan karya sastra berbasis kearifan lokal Aceh. Yang berkonten sejarah leluhur, tokoh, latar, serta kejadian-kejadian yang akrab dengan lingkungan siswa yang tertuang dalam karya kearifal lokal. Lagu di Persimpangan Jalan adalah salah satu contoh dari sekian banyak buku sastra karya penulis Aceh yang mengandung kearifan lokal.

Mahdi Idris, sebagai seorang penulis sekaligus guru telah menoreh karya yang begitu apik sehingga melahirkan sebuah buku yang layak dibaca bertajuk Lagu di Persimpangan Jalan. Dengan lincah dan mengalir deras di atas lembaran buku. Ia sangat lihai bercerita dengan suka duka, cinta dan air mata, sekaligus rindu akan tanah leluhurnya Aceh yang sarat budaya serta kearifan lokal yang mestinya dipelihara dengan baik. Kali ini ia bercerita dengan berpuisi. Puisi sebuah karya yang ringkas, namun sarat pesan moral.

Lagu di Persimpangan Jalan sebuah buku terbitan Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Utara tahun 2014 ini, diberikan pengantar oleh penulis Teuku Kemal Pasya yang ia ungkapkan dalam “Berpuisi, Meretas Jalan Sendiri”. Teuku Kemal Pasya berharap agar lahan kepenulisan Aceh harus tumbuh subur dalam areal menanam sastra seperti yang ia ungkapkap berikut ini “... di bidang puisi lebih menyedihkan. Lahan Aceh masih tandus dan rapuh,” Teuku Kemal Pasya prihatin dengan geliat puisi yang dihasilkan penulis berdarah Aceh kurang produktif. 

Hal tersebut sesuai seperti kata-kata Mahdi Idris dalam puisi berikut :

Akulah diri paling rapuh

Berdiri perkasa 

Halau badai raksasa

Meski kekuatan tinggal sedepa 

(Akulah Ranting, Mahdi Idris, hal 28)

Atas keprihatinan Teuku Kemal Fasya di atas, lalu Mahdi Idris berangkat dengan semangat membara ke ladang satra menampakkan eksistensinya bahwa karya sastra penulis berlatar Aceh harus tumbuh subur dalam ladang kancah sastra nasional. Mahdi Idris dengan bukunya ingin menerangkan bahwa penulis Aceh memiliki buku yang berpotensi bersanding sejajar di rak buku dengan buku-buku nasional lainnya. 

Dengan kehadiran Mahdi Idris dalam kancah sastra tanah air telah menambah literatur buku karya penulis Aceh dalam katalog Perpustakaan Nasional. Mahdi Idris sangat piawai bercerita melalui buku, karena ia berangkat dari seorang penceramah di masjid, mengajar di kampus, dan kali ini Mahdi Idris berceramah dalam sebuah buku. Tentu akan menambah nilai sebagai sosok seorang penulis sekaligus ustaz yang menjadi imam bagi penulis lainnya dalam menjadikan rujukan buku karya Mahdi Idris.

Untuk menambah corak buku sastra kearifan lokal telah terbit pula antologi puisi berjudul Catatan Zulia boleh sibebut sebagai sebuah karya yang lahir dari hasil perjalan sang musafir penyair Zab Bransah. Mahdi idris selaku editor buku ini menulis dalam pengantarnya Catatan Zulia; Membaca Sajak Kerinduan memaparkan bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun maknanya sangat kaya. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata konotatif, yang mengandung banyak penafsiran dan pengertian.

Dorongan menulis puisi muncul dalam diri seorang penyair tidak datang begitu saja dari dunia tak dikenal, akan tetapi datang dari sebuah pengalaman yang dihayati secara total. Pengalaman yang dimaksud adakala disebut sebagai pengalaman puitik, yang sumbernya berasal dari pengalaman fisik maupun dari pengalaman metafisik dalam pengertian yang seluas-luasnya (Soni dalam Zab Bransah, 2018:vii).

Hal tersebut menjadi sebuah acuan bahwa begitupun puisi-puisi yang ditulis Zab Bransah dalam buku Catatan Zulia merupakan hasil dari sebuah perlajalanan yang panjang dan berliku. Dari hasil perenungan yang mendalam Zab Bransah menuangkan berbagai pengalaman hidupnya dalam sajak-sajak yang ditulisnya..

Zulia adalah metafora yang digunakan Zab Bransah untuk seseorang yang ia rindukan, ia cintai, sekaligus yang ia benci. “Zulia adalah metafora, kiasan, Zulia adalah sosok siapa saja yang mencintai perdamaian, sosok yang merindukan persaudaraan, Zulia itu gambaran rindu, cinta, dan kasih sayang antar sesama manusia. Persaudaraan dan perdamaian yang dirindukan oleh semua orang.”

Antologi sehimpun sajak Catatan Zulia merupakan gambaran rindu, cinta, dan keprihatinan pada tanah kelahiran. Suasana dilema perasaan batin sang penyair yang ia ungkapkan dalam larik-larik yang puitis dan menggugah perasaan para pembaca. Perasaan kerinduanya pada tanah kelahiran Zab Bransah tuangkan dalam sebuah puisi berjudul “Pulang 1” sebagai berikut:

Langkahku malam ini

merindukan kembali pada tanah kelahiran

jalan masih panjang menapaki diri

pada malam-malam semakin menepi pada janji

menyambutku kembali.

(Catatan Zulia, hal.5)

Zab Bransan mantan anak muda yang pernah merasa hidup di era tahun 1980-an, kini merasa banyak kehilangan pada era zaman modern yang dikenal dengan “era milenial”. Adat dan istiadat telah hilang tergerus zaman. Pengaruh modernisasi telah mengalami pergeseran pada tatanan adat istiadat dalam masyarakat. Seperti tambo (beduk) yang hampir punah, hampil tidak dikenali lagi oleh anak muda zaman sekarang. Zab Bransah sangat merindukannya, agar semua itu kembali lagi seperti pada masa mudanya. Hal tersebut Zab Bransah ungkapkan dalam puisi bertajuk “Tambo” berikut:

Lama sudah kerinduan padanya untuk

diperdengarkan kembali

nyanyian subuh untuk membangunkan kita

nyanyian para petani dan nelayan

pada tiap saat berbunyi sebagai pertanda.

(Catan Zulia, hal. 36)

Begitulah sehimpun sajak Catatan Zulia ditulis sebagai sebuah ungkapan hati Zab Bransah. Sebagai sebuah catatan, layaknya seperti sebuah monumen sastra tanah air, yang akan selalu dikenang sepanjang masa. 

Selain buku dia atas, buku Panduan Zikir dan Doa Bersama karya Abuya Drs. Tgk. H. Djamaluddin Waly juga sebuah buku yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk pembelajaran sastra kerifan lokal. Karena dalam buku ini memuat syair dalam bentuk bahasa ragam sastra yang indah. Seperti yang tertulis dalam beberapa bait syair berjudul “Sejarah Singkat Syekh Muda Waly” berikut ini: 

Rapat alim ulama di Darussalam 

Pada tahun 2009 tahun Masehi 

Memberi gelar Syaikhul Islam 

Untuk hamba Tuhan Syekh Muda Waly

Dan terbaca pada bait berikutnya pada syair yang sama berikut :

Tahun 2007 di Masjid Raya Baiturrahman 

Melalui kajian Islam tingkat tinggi 

Para ulama Aceh telah menetapkan 

Al-Arif Billah untuk Syekh Muda Waly 

Tidak banyak sejarawan, kritikus sastra, maupun pengamat sastra yang mengetahui bahwa Abuya Drs. Djamaluddin Waly sebagai ulama Aceh yang juga piawai dalam menulis syair. Tidak diragukan bahwa beliau adalah seorang ulama Aceh yang sastrawan. Hal tersebut tergambar jelas dari isi buku yang ditulisnya, antara lain terdapat dalam buku yang keempat (4) yang rata-rata setiap judul materi ditulis dalam ragam bahasa sastra berbentuk syair 4 baris yang mirip pantun. 

Jika provinsi Riau terkenal dengan ulama dan sastrawan Raja Ali Haji, maka Aceh memiliki sastrawan yang juga ulama hebat bernama Abuya Djamaluddin Waly. Jika rakyat Indonesia pernah kagum dengan ulama yang sastrawan seperti Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA), maka Abuya Djamaluddin Waly adalah HAMKA-nya orang Aceh. Seperti kita juga kagum kepada sosok ulama dan sastrawan Ali Hasjmy, karena ulama-ulama itu adalah permata bangsa dan pewaris para nabi.

Selain dalam syair di atas nilai sastra yang terkandung dalam buku Abuya Djamaluddin juga terdapat pada bait pertama (1) syair berjudul “Bapak Rohani” pada halaman 32 buku tesebut seperti tersusun rapi pada larik-larik berikut: 

Bapak Rohani memberi bimbingan 

Untuk mendapat hidayah Rabbi 

Mendekatkan diri kepada Tuhan 

Siang dan malam petang dan pagi


Dan juga terkandung pada bait keenam (6) syair yang sama berikut ini: 

Cinta Tuhan dapat jaminan 

Dimasukkan dalam syurga tinggi 

Demikian hadis Nabi menjelaskan 

Kepada ummat Islam pengikut Nabi 

Syair tersebut merupakan ragam karya sastra yang bernuansa sufi atau tasawuf seperti yang pernah ditulis oleh seorang ulama besar dan sastrawan sufi dari dunia sastra Arab bernama Rabiah al-Adawiyah yang dikutip Abuya Djamaluddin Waly pada lembaran kata mutiara halaman 60 buku keenam (6) jilid terakhir berikut ini: 

Ya Allah jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka, bakarlah aku di neraka; Jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan syurga, jauhkan aku dari syurga. Namun, jika aku menyembah-Mu karena-Mu, maka jangan Engkau jauhkan aku dari keindahan abadi” (Rabiah al-Adawiyah dalam Abuya Djamaluddin Waly, 2003:60).

Selain buku-buku di atas, masih banyak lagi buku yang layak sebagai referensi pembelajaran sastra di sekolah. Seperti buku Lagu Kelu yang berkisah tentang gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 lalu. Seperti salah satu judul puisi yang dinukilkan dalam buku tersebut “Tsunami Begitu Elok Namamu“, demikianlah sebuah puisi yang berjudul begitu apik, namun tak seelok namanya, amuk tsunami mengerikan. Sebuah puisi yang ditulis oleh Damiri Mahmud bercerita tentang tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang terkumpul dalam antologi puisi Lagu Kelu, diterbitkan oleh Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) tahun 2005. Puisi selain bagian dari genre (jenis) sastra ternyata juga menjadi rekaman dokumenter sejarah peradaban manusia. Penyair mencatat dan menuanggkan berbagai tragedi yang memalukan dan memilukan dalam puisinya. Lalu, puisi jadilah barang antik dan klasik yang menjadi bahan referensi bagi para penulis dan penikmat sejarah dalam sastra.

Selain Damiri Mahmud adalah Herman RN penyair asal Aceh Selatan yang mencatat tsunami lewat puisi yang berjudul “Laut berzikir” (Harian Aceh, 2009). Dengan puisi tersebut Herman berpesan bahwa tsunami merupakan suatu teguran buat manusia, berarti Allah masih sangat menyayangi hamba-Nya. Bagi yang masih hidup, tentunya dapat mengambil pelajaran dari bencana dunia tersebut sehingga lahirnya perdamaian di tanah Aceh. Lain dari itu, Arafat Nur  penyair dan novelis yang berdomisili di Lhokseumawe ini, merekam tsunami lewat puisi yang bertajuk “Perahu Nuh Itu Masih Ada“ (Lagu Kelu, 2009). 

Masih dalam ikon sastra nasional, penyair sekaligus pendiri komonitas Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) Doel CP Allisah menuangkan tragedi kemanusian yang menggugah hati nurani dunia ini lewat puisi berjudull “Ingatan” (puisi lomba Porseni Depag 2006 di Banda Aceh dan dalam Lagu Kelu) yang khusus didedikasikan kepada korban tsunami Aceh. Kisah tsunami dipaparkan Doel CP lewat larik-larik berikut: Apa yang tersisa dari semua kenangan tentang kalian/ selain air mata dan doa kami yang tak putus-putus ?   

Selain tsunami yang tak seelok namanya. Para penyair juga berteriak tentang damai lewat puisi dan igauan-igauan mimpi semalam. Lalu puisi menjadi mata air, embun pagi, penyejuk bagi yang kegerahan akan “damai bersulam bahagia, kita semua rindu, rindu kasih rindu damai”, demikian tentang damai Rosni Idham penyair asal Aceh Barat merindukan damai lewat ukiran manisnya “Doa Anak Bangsa“ (majalah Tingkap, 2001) terukir indah dengan bahasa yang menggugah perasaan pada larik-larik bait terakhir berikut: Tuhan rindu kami/ pada sejuk semilir yang pernah engkau alir/ Pada bening damai yang pernah engkau semai/ Pada sinar kasih sayang dalam alunan irama tembang/ Pada canda cinta sesama.  

Pada bagian akhir tulisan ini sebuah puisi yang sangat indah. Goresan apik Nurdin F. Joes saya kutip dari antologi Podium karya M. Gade atau dengan nama pena Ade Ibrahim. Kumpulan puisi ini diberikan oleh penyair secara tidak sengaja kepada saya. Dalam sebuah acara pendidikan dan latihan guru Bahasa Indonesia di Medan pada Maret 2009. Antologi foto kopi puisi Podium ternyata sangat berguna bagi saya sebagai referensi tulisan ini. Berikut adalah puisi Nurdin F. Joes berbicara tentang damai yang tertera pada sampul antologi Podium. “Rindu adalah tapak-tapak penyair. Melintasi padang yang tak terbatas. Melewati jutaan malam kelam tanpa peta dan alamat serta, menapaki segala peperangan, persengketaan lewat pertempuran-pertempuran. Para penyair, berangkatlah dengan rindu, cinta adalah peperangan: cinta adalah perdamaian”.

Demikianlah ulasan singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pecinta dan penikmat sastra. Dengan harapan nantinya akan muncul genre (jenis) puisi katagori sastra sejarah atau puisi sejarah. Artinya dalam sastra sejarah adalah sastra yang berkisah tentang sejarah nasional, sejarah daerah, dan sejarah dunia. Sastra model ini akan membantu para siswa dan mahasiswa dalam proses pembelajaran sejarah dalam sastra. Dengan harapan agar buku-buku karya penulis Aceh lebih produktif dan bermanfaat sebagai referensi pembelajaran Bahasa dan Sastra di Aceh. Serta mengharap dukungan dari pihak Pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Pemerintah Aceh, Pengawas Sekolah, dan Guru. Dalam upaya pengembangan karya buku penulis Aceh berbasis kearifan lokal agar lebih produktif serta dapat digunakan sebagai panduan pembelajaran di sekolah demi peningkatan mutu pembelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah. Terimasaih atas kerjasama yang baik dengan semua pihak. 


Riwayat Singkat Penulis:

Hamdani, S.Pd. Guru SMAN 1 Lhokseumawe dan Pemerhati Bahasa dan Sastra, Penulis buku Sajak Secangkir Air Mata (2019), Wajah Aceh dalam Puisi (2020), dan buku Jejak Dakwah Sultan Malikussaleh (2020). Karyanya dimuat dibeberapa media cetak dan online.


DAFTAR PUSTAKA

Allisah, Doel CP. 2009. Lagu Kelu. Banda Aceh: ASA.

Bransah, Zab. 2018. Catatan Zulia. Lhokseumawe: Sefa Bumi Persada.

Idris, Mahdi. 2014. Lagu di Persimpangan Jalan. Lhokseumawe: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Utara.

Waly, Djamaluddin. 2003. Panduan Zikir dan Doa. Banda Aceh: Majelis Zikir Alwaliyyah.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top