Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Menjadi Guru Profesional



Kisah perjalan hidup seorang mujahidah hebat ini ternyata tak pernah habis dibahas. Mari kita ikuti kelanjutan kisah yang patut dibanggakan dalam sejarah peradaban Islam. Dia perempuan tua pemberani dan tidak pernah mengenal lelah. Ketulusan hatinya saat berbaiat setia kepada Rasulullah ternyata bukan hanya sekedar sumpah belaka, tatapi dibuktikan dengan pengorbanan dan air mata.  

Syaikh Mahmud Al-Mushri dalam bukunya Biografi 35 Shahabiyah Nabi Saw menulis,  ibu dari anak-anak yang syahid ini pergi bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah untuk melaksanakan ibadah umrah. Agar tidak terjadi  kesalahpahaman kaum Quraisy, Rasulullah saw  mengutus Usman bin Affan sebagai duta untuk menyampaikan maksud dan tujuan datang ke Mekkah; untuk melaksanakan ibadah umrah, bukan berperang. 

Namun, karena lamanya Quraisy menahan Usman dalam rangka bermusyawarah dengan mereka, sehingga terdengar isu Usman telah terbunuh. Saat mendengar berita tersebut, Rasulullah saw mengajak para sahabat melangsungkan Baitur Ridhwan. Mereka berbaiat di bawah pohon untuk setia kepada Rasulullah saw sampai mati. Tidak akan meninggalkan Rasulullah dalam kondisi apapun. Ummu Umarah termasuk salah seorang yang berbaiat kepada Rasulullah untuk meraih ridha Allah Swt itu.

Setelah baiat berlangsung, peristiwa demi peristiwa silih berganti dilalui Ummu Umarah. Setelah beraksi dalam perang Uhud, kini Ummu Umarah kembali melanjutkan misinya dalam perang Khaibar. Pada bulan Muharram tahun 7 Hijriah, Rasulullah saw bersama kaum muslimin bergerak menuju Khaibar untuk memberantas kompirasi di bawah kendali Yahudi. Dalam perjuangan tersebut, Rasulullah saw  memastikan agar yang ikut bersama beliau hanyalah mereka yang ingin berjihad saja. Sehingga, tidak ada yang pergi selain yang hadir dalam Baitur Ridhwan. Perjuangan kaum muslimin ternyata tidak sia-sia.  Ummu Umarah menyaksikan bagaimana pasukan penunggang kuda Rasulullah saw yang dahsyat dalam pertempuran. 

Menurut Syaikh Mahmud, Ummu Umarah melanjutkan perjuangan jihadnya dalam perang Hunain, sebuah perang yang disertakan dengan jebakan dari Quraisy.  Mereka menjebak kaum muslimin di sebuah lembah  gunung yang curam. Kaum muslimin tidak menyadari adanya bahaya di depan mereka. Para pasukan penunggang kuda turun ke lembah dengan  deras, sehingga mereka dikejutkan dengan hujaman anak panah yang bertubi-tubi dari tempat persembunyian. Kegelapan malam dan serangan mendadak, membuat mereka panik. Jalan satu-satunya ntuk menyelamatkan diri hanyalah mundur. 

Kepanikan yang dialami kaum muslimin membuat pasukan kocar kacir, sehingga tidak sedikit diantara mereka melarikan diri. Menyaksikan peristiwa tersebut, Rasulullah marah dan meneriakkan, "Wahai semua! Kembalilah! Aku Rasulullah, aku Muhammad bin Abdullah." Namun tak seorangpun menghiraukan seruan Rasulullah saw. Unta-unta  saling bertubrukan membawa lari penungganya tunggang langgang. 

Dalam kondisi tak terkendali, atas perintah Rasulullah, pamannya Abbas  menyeru para sahabat. Dengan suaranya yang nyaring, ia berkata, "Wahai sekalian, mana Ash-habus Sumarah yang telah berbaiat di bawah pohon dalam Baitur Rudhwan? Demi Allah  dengarkan suaraku. Ingat, kasih sayang mereka bagaikan kasih sayang sapi betina terhadap anaknya." Lalu mereka menjawab, “Iya, kami penuhi panggilanmu.” 

Berkat seruan Abbas, para pasukan kembali ke laga peperangan. Demi meraih misi kesuksesan dari segala kesulitan. Hanya mereka yang memiliki akidah kokoh yang mampu bertahan dalam berjihad. Bahkan, Ummu Umarah seorang perempuan diantara sekian laki-laki yang mampu membunuh seorang penunggang kuda musyrik yang menutupi kisah perjalanan jihadnya bersama Rasulullah saw. Ia sebagai ikon segala kemuliaan. Selain taat beribadah, ia juga  seorang pejuang wanita terhebat dalam perjuangan membela agama Islam dan Rasulnya. 

Syaikh Mahmud Al-Mishri menulis, kini satu lagi perjuangan terakhir Ummu Umarah. Ia ikut berjuang dalam pemberantasan nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab beserta para pengikutnya. Musailamah seorang murtad yang mengaku dirinya sebagai nabi yang diutus kepada Bani Hanafiyah. Ia seorang yang sangat berbahaya, menebarkan keonaran di muka bumi. Dalam peristiwa inilah syahidnya salah seorang putra Ummu Umarah, yaitu Hubaib bin Zaid. Seorang lulusan madrasah nubuwah yang hebat. Dipayungi keimanan dan ketakwaan yang tumbuh di atas kesuburan perjuangan jihad.

Musailamah Al-Kadzdzab seorang penghianat yang menangkap dan mengikat utusan Rasullah Hubaib bin Zaid. Musailamah bertanya kepada Hubaib, apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah? Hubaib menjawab “Iya.” Ketika ditanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Hubaib menjawab, “Aku ini tuli, aku tidak bisa mendengar.” Ia menjawab beberapa kali, sehingga Musailamah yang kejam dan tak berperikemanusiaan, membunuh dengan  memotong tubuh Hubaib  satu persatu. Seketika Hubaib syahid, ruhnya kembali ke haribaan Sang Pencipta disertai ridhaNya.  

Ketika berita kematian Hubaib tersiar, maka terdengarlah sampai ke telinga sang ibunda tercinta. Walau kesedihan menyobek hatinya, namun ia bersabar. Ummu Umarah berjanji kepada Allah untuk menunutut balas atas kematian anaknya kepada Musailamah, deskipun pada dasarnya ia tetap ridha dengan ketentuan Allah. Ummu Umarah telah bernazar bahwa dirinya dan anak-anaknya milik Allah dan berkorban untuk agama Allah dan Rasul-Nya. Dengan harapan mendapatkan ridha-Nya. Mendapatkan  surga yang dijanjikan  dengan mengalir sungai-sungai di bawahnya. Ia merasa cukup dengan doa-doa yang telah dipanjatkan Rasulullah saw kepadanya dan keluarganya. 

Ternyata perjuangan tidak selesai di situ saja. Setelah Rasullah wafat, muncullah sejumlah orang-orang murtad yang keluar dari Islam. Mereka kembali ke agama nenek moyangnya karena menganggap itu agama Muhammad. Keimanan yang masih secuil hingga cepat goyah.   Dibawah kekuasaan Abu Bakar Ash-shiddiq, kaum muslim kembali melanjutkan perjuangannya menumpas orang-orang murtad dan nabi palsu. Ummu Umarah meminta izin kepada Abu Bakar untuk ikut serta dalam berjihad. Mereka menuju Yamamah membela agama Allah, sekaligus menuntut balas dengan kematian anaknya Hubaib bin Zaid.  

Umur tidaklah membawa pengaruh terhadap  perjuangan jihad bagi mujahidah hebat ini. Di usia lebih dari enam puluh tahun, Ummu Umarah terus saja mengibaskan pedangnya menumpas kaum murtad. Dengan izin Allah, Musailamah ternunuh dalam perang Yamamah. Ini merupakan suatu kebahagiaan terbesar bagi Ummu Umarah. Ketika melihat Musailamah terkapar, dengan segera ia sujud syukur, sehingga ia lupa kalau di sekujur tubuhnya mengalami sebelas luka dan tangannya terpotong bersimbah darah. Subhanallah. Sungguh luar biasa perjuanganmu wahai sang bidadari surga. 

Abu Bakar memastikan kondisinya saat pulang dari perang, karena ia menempati kedudukan yang tinggi di hati para sahabat dan Nabi saw. Hingga pada akhirnya Ummu Umarah dipanggil sang pencipta untuk bertemu dengan Rasulullah saw di dalam surga firdaus. Semoga Allah Swt memberikan kebahagiaan abadi kepadanya. (Editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top