Oleh: Laksamana Muflih, Lc

Pengajar di Pesantren Baitul Arqam Sibreh 

Takwil berasal dari bahasa Arab “a-wa-wa-la” berarti kembali, sebagaimana Mulla Shadra dalam “light verse” mengartikannya dengan “to bring back”. M  Quraish Shihab dalam kaidah tafsirnya mendefinisikan takwil sebagai mengembalikan makna/kalimat ke arah yang bukan arah makna harfiahnya yang dikenal secara umum. Prosesnya melalui dua langkah, pertama, kepada makna populer dan yang kedua kepada makna baru yang bersumber dari makna pertama. Jika seseorang mengatakan “Daniel sedang naik daun” makna yang pertama tergambar di dalam benak adalah Daniel berada di atas selembar daun. Karena beberapa indikator makna tersebut dipahami dengan makna lain yakni “Daniel sedang naik jabatan”.

Penggunaan takwil ini memiliki beberapa tujuan, seperti makna tuntunan agama akan sangat sempit jika tidak ditakwil. Bagi para ulama yang menggunakan takwil, khususnya pada ayat-ayat akidah memiliki maksud yang salah satunya ialah tauhid, yakni mengesakan Allah Swt. Berikut penggunaan takwil terhadap beberapa ayat-ayat akidah:

Pertama, tauhid sifat. Penggunaan takwil dalam konteks ini untuk mengesakan sifat Allah Swt. Menghindari tajsim (wujud) yang lahir dari pikiran manusia. Subhanallah ‘amma yashifun. Sehingga, menghindari kesan wujud kebutuhan Allah Swt terhadap sebuah anggota wujud tersebut. Misalnya, makna “nur” adalah “cahaya”. Kata “cahaya” dalam Alquran terdapat pada berbagai ayat sebagaimana berikut: (QS An-Nur: 35). Kemudian firman Allah Swt pada (QS  Shad: 75), “Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku”. 

Begitu juga dengan semua ayat dalam Alquran yang mengandung kesan wujud, 'tangan Allah', ‘wajah Allah', dan seterusnya yang dapat berarti 'wujud' maupun ‘organ’. Bagi ulama yang mendukung takwil ini, makna tersebut ditakwilkan menjadi makna yang sesuai dengan konteks pembicaraan: “Ungkapan untuk menjelaskan suatu makna yang dapat diketahui dengan mudah melalui konteks ayatnya”.

Kedua, tauhid af’al. Adalah mengesakan ‘perbuatan’ Allah Swt. Dalam beberapa ayat Alquran maupun hadis Nabi Muhammad saw menyatakan, Allah Swt memiliki perbuatan yang hanya pada Allah Swt, yakni: ‘bersemayam’, ‘turun’ ke langit dunia, ‘tertawa’ dan lainnya. Misalnya, dalam Quran Surat Taha ayat 5, “Tuhan yang Mahapemurah yang bersemayam di atas ‘Arasy”. Terjemahannya ialah Allah bersemayam. Namun, menurut ulama yang mendukung takwil, makna ini tidak dapat diterima dalam permasalahan akidah. 

Merujuk KBBI, bersemayam ialah ‘duduk’, ‘berkediaman’, ‘tinggal’. Bukankah semua makna tersebut bermakna jismiyah yang seharusnya dibuang jauh-jauh dari Allah Swt, karena tak layak bagi kesucian-Nya. Dengan demikian kata-kata tersebut perlu ditakwilkan menjadi ‘kekuasaan Allah Swt’.

Ketiga, ‘ishmah an-anbiya. ‘Ishmah an-Anbiya adalah meyakini para Nabi a.s terjaga dari kesalahan, khususnya dalam menerima dan menyampaikan wahyu. Kemaksuman ini dipahami berbeda oleh beberapa ulama. Sementara yang tidak sependapat dengan ini, mentakwil ayat-ayat Alquran yang tampak tidak sejalan dengan kemaksuman. Dalam menjawab pandangan ini disebutkan, ayat tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat dan untuk memahaminya harus merujuk kepada aya-ayat muhkamat. 

Misalnya, dalam surat ‘abasa, kata ‘a-ba-sa  berarti ‘mengerutkan wajahnya’. Tokoh yang yang ditegur karena bermuka masam dalam surat ini adalah Nabi Muhammad Saw. Sedangkan dia adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, salah seorang sahabat Nabi Saw yang buta. Dalam Tafsîr al-Mizan, Tabataba`i menulis, ayat tersebut tidak ditujukan kepada Nabi Saw, tetapi kepada selainnya, karena al-‘abus (bermuka masam) itu bukanlah sifat seorang Nabi Saw. Sedangkan di ayat lain Allah Swt sudah mengatakan bahwa Nabi Saw berbudi pekerti yang agung. 

Keempat, keadilah Tuhan. Hal ini, karena adanya berbagai fenomena yang terjadi di dalam kehidupan. Misalnya kemiskinan, ‘keburukan’, bencana dan lainnya yang mungkin terlihat sebagai bentuk ketidakadilan dan tidak bermanfaat. Seperti seseorang yang terlahir dari segi materi kurang dan yang lainnya terlahir kaya hingga akhir hayatnya. Sementara banyak ayat mengenai kebaikan dan kesempurnaan penciptaan, seperti Quran Surat Al An'am 115. 

Dari permasalahan ini, kelihatannya terjadi takwil secara tidak langsung. Bagaimana paham yang diuraikan mengenai ‘keadilan Allah Swt’. Misalnya, dalam Quran Surat at-Tin ayat  4. Menukil dari Wawasan Alquran, Muthahhari merumuskan ‘hukum takwini’. Dia berkata, “Fenomena apa pun yang ada di alam ini, pasti dapat dirubah dan diganti, sekaligus mengharuskan adanya urutan dan tingkat wujud yang berbeda-beda, yang menjadi sumber adanya perbedaan, cacat, dan ketiadaan di alam ini. 

M Quraish Shihab menambahkan penjelasan mengenai ini, “Sebagian pakar agama termasuk agama Islam menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa yang dinamakan kejahatan atau keburukan sebenarnya tidak ada, atau paling tidak hanya terdapat pada nalar manusia yang memandang secara parsial. Bukankah Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa, “Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya”. 

“Kalau demikian, segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti baik. Keburukan adalah akibat dari keterbatasan pandangan. Segala sesuatu sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian. “Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyenangi sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui” (QS Albaqarah [2]: 216)”. Dengan demikian hal-hal buruk tersebut pada hakikatnya bukanlah merupakan hal yang buruk, melainkan hal yang sangat baik.

Kelima, hidayah Allah. Misalnya pada Quran Surat  Al-Qashash ayat  56,  artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. Rasulullah Saw diutus Allah Swt sebagai Nabi dan Rasul yang pastinya harus menyampaikan wahyu dengan tujuan manusia sampai kepada ‘jalan yang benar’. 

Dalam bahasa lain, agar manusia mendapatkan hidayah Allah Swt. Lantas ayat ini mengatakan, Rasulullah Saw tidak dapat bahkan mustahil memberikan hidayah tersebut. Sehingga, makna ‘hidayah’ pada ayat ini diartikan sebagai ‘hidayah taufik’ bukan hidayah ‘memberikan panduan’ atau ‘irsyad’.

Keenam, melihat Allah Swt. Melihat Allah Swt merupakan kenikmatan yang dirindukan oleh setiap muslim, sebagaimana dalam Surat Al-Qiyamah ayat  23. Ada juga ayat yang menafikan kemungkinan dalam melihat Allah Swt, misalnya Quran Surat Alan’am ayat  103 dan Quran Surat  Al-A’raf ayat  143. Kata melihat pada ayat ini ditakwilkan sebagai menunggu, disamping itu kata ‘ala’ juga merupakan isim yang mempunyai arti nikmat, sehingga makna ayat di atas ialah menunggu nikmat Tuhannya. Ada juga yang mentakwilkan dengan tidak dapat dilihat di dunia, melainkan terlihat di akhirat. Di antara dalilnya adalah Quran Surat Al-Qiyamah ayat 22-23. 

Jadi terlepas dari banyaknya perbedaan pendapat yang ada, demikianlah beberapa maksud pentakwilan. Marilah kita terus belajar dan mendalami ilmu, sehingga mampu memahami maksud ayat-ayat tauhid dari firman Allah Swt. (editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top