Oleh: KH. Bachtiar Nasir
Ketua Umum Jalinan Alumni Timur Tengah (JATI)
Setiap tahun, manakala musim penghujan datang, musibah demi musibah acap kali datang, meskipun kita tidak mengharapkannya. Gempa Cianjur, Garut, dan Malang; juga mulai aktifnya beberapa gunung adalah pengingat bagi kita semua. Sebenarnya tidak ada jalan untuk bisa selamat dari musibah bahkan bila mungkin mencegahnya, kecuali dengan jalan taqwa. Karena, apapun yang terjadi hari ini, sejatinya adalah karena ketundukkan pada perintah Allah Azza wa Jalla. Bila hari ini kita mendapati diri dan keluarga dalam keadaan baik dan tak kekurangan, bersyukurlah dan memohonlah kepada-Nya agar kita selalu istiqamah di jalan taqwa.
Keadaan sehat, nyaman, banyak uang, dan berkuasa adalah sebab paling sering suatu kaum atau bangsa kemudian lalai dari mengingat Allah Ta'ala. Bahkan, kemudian menjadi orang-orang yang mengingkari akan aturan-Nya.
Salah satunya adalah bangsa ‘Ad yang merupakan kaum dari Nabi Hud AS. Mereka adalah kaum dengan peradaban yang paling kuat di masanya. Tidak ada yang menandingi keperkasaan tubuh mereka, kekayaan, kemakmuran, dan keahlian mereka. Namun, akibat semua keutamaan dan kebaikan itulah, mereka lupa akan Tuhan yang telah mengaruniakan semuanya. Mereka menyembah berhala dan mengingkari utusan-Nya, Hud AS, dan mengatakan bahwa Hud adalah orang gila lalu menantang azab. Akhirnya, bencana kekeringan dan angin yang mematikan memusnahkan bangsa tersebut.
Kemudian tiga abad setelahnya, ada kaum Tsamud yang diberkahi keterampilan mendirikan rumah-rumah di pegunungan, kekayaan alam, dan letak yang strategis yaitu terletak di jalur perdagangan antara Suriah dan Yaman. Semua itu membuat mereka sombong dan menantang azab Allah Ta'ala dengan menyembelih unta betina yang dibawa oleh Saleh AS.
Begitu pula dengan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah Azza wa Jalla karena mengaku diri sebagai Tuhan akibat kekuasaan yang digenggamnya. Dia bukan sebuah bangsa, tetapi ia adalah orang mewakili bangsanya. Dia mati dalam keadaan terhina dan sampai sekarang dijadikan ikon kezaliman, kekejaman, dan keserakahan.
Dalam peristiwa pembinasaan bangsa Tsamud, bangsa ‘Ad, dan menenggelamkan Fir’aun, Allah tidak memerlukan banyak pasukan dan kekuatan militer. Cukup menggunakan angin untuk membinasakan kaum ‘Ad, gempa dan petir untuk membinasakan bangsa Tsamud, dan air laut untuk menenggelamkan Fir’aun. Ini memberitahu kita, bila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membenci dan berkehendak untuk “menyapu bersih” bumi dari bangsa yang zalim, maka sangat mudah untuk melakukannya. Allah Al-Aziiz melakukannya sendiri. Tak butuh tentara dan pasukan, tak butuh sekutu; bahkan hanya dengan seekor nyamuk, Dia membinasakan seorang Namrud.
Empat Pelajaran
Dalam surat Al-Fajr di atas ada empat perbuatan yang membuat mereka, bangsa-bangsa yang kuat dimusnahkan oleh Allah:
Pertama, cara pandang yang salah terhadap dunia dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dalam menjalani dunia ini, janganlah pernah menjadikan dunia sebagai standar. Dalam ayat ke-15 dan 16 surat Al-Fajr ini, digambarkan bagaimana mereka menjadikan materi sebagai kacamata dalam melihat kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Manakala materi sedang berlimpah, badan sehat, dan kekuasaan besar, mereka mengatakan bahwa Allah Ta'ala sedang memuliakan mereka. Sedangkan manakala mereka sedang tidak banyak uang, diabaikan orang, dan badan sakit-sakitan; mereka mengatakan hal yang buruk yaitu mereka sedang dihinakan Allah Azza wa Jalla.
Cara berpikir yang salah ini jelas berasal dari keyakinan yang juga salah. Salah menempatkan Allah dalam kalbu dan jelas bermasalah dalam keimanan. Hal ini biasanya juga berawal dari pendidikan yang salah, baik itu pendidikan di rumah, di sekolah, maupun lingkungan. Dimana seorang anak dari sedari kecil diajari untuk hidup semata demi materi. Demi prestise dan demi capaian duniawi. Ironisnya, inilah menjadi landasan pendidikan banyak bangsa di muka bumi.
Cara berpikir yang berorientasi pada kebendaan inilah yang membuat hati menjadi keras dan tidak peka pada kehidupan. Jiwa pun menjadi jahat dan egois. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tidak peduli apa yang telah diberikan kepadanya dan apa yang terjadi di sekitarnya. Tidak ada cahaya untuk bersyukur, apalagi memahami kesulitan, dan berupaya untuk menolong. Jangankan berupaya untuk memuliakan orang lain, bahkan Tuhannya saja sudah dipandangnya rendah dengan perasangka yang buruk.
Kedua, enggan memuliakan kehidupan anak yatim.
Dengan keyakinan dan pikiran yang salah, juga hati yang keras membatu; tentu korban dari penghalalan segala cara adalah tertindasnya orang-orang yang lemah. Anak yatim adalah simbol dari orang-orang yang lemah. Yang tidak memiliki perlindungan, tanpa kasih sayang, dan rawan penghidupan.
Orang-orang di negeri yang dimusnahkan adalah orang-orang yang sengaja menindas orang-orang yang lemah untuk kepentingan mereka. Jangankan memuliakan anak yatim dan orang-orang fakir yang membutuhkan bantuan, mereka justru memanfaatkan adanya yatim dan fakir ini untuk mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan. Manakala, kepentingan mereka telah terpenuhi, yatim dan fakir ini otomatis akan ditinggalkan, bila tidak malah ditindas.
Ketiga, enggan memberi makan orang miskin.
Jika seseorang sudah berorientasi dunia dan harta benda, maka akan sulit baginya untuk melembutkan hati untuk memberi makan orang-orang miskin. Yang diundang dalam perjamuan-perjamuan mereka justru adalah kolega, atasan, dan calon klien potensial; yang notabene sudah terbiasa makan enak dan mewah. Bahkan, keluarga bila dipandang tidak selevel pun akan dinomorduakan, bila tidak diabaikan.
Padahal memberi makan kepada orang miskin sangat penting nilainya dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala bahkan berfirman bahwa orang yang menahan tangannya dari memberi makan orang miskin adalah pendusta agama.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.” (Surat Al Ma’un: 1-3)
Keempat, kecintaan yang berlebihan kepada harta dan dunia.
Banyak orang yang ingin menjadi penguasa. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Sekarang, mari kita ubah cara kita memandang masalah di kehidupan ini. Cobalah untuk melihat bahwa apa yang kita miliki adalah ujian dan segala apa yang belum mampu kita raih juga adalah ujian. Katakanlah saat ujian datang menimpa, “Alhamdulillah ‘alaa kulli hal (segala puji kepada Allah atas segala yang terjadi)”. Karena, Allah Rabbul Izzati tidak pernah salah dalam memberikan seperti apapun keadaan.
Semua ketakutan yang ada di dunia ini, tidak lain adalah akibat kecintaan pada dunia, harta, dan kekuasaan. Padahal di ayat 17 surat Al-Fajr ini, Allah menegaskan bahwa semua itu salah. Sungguh begitu banyak kebaikan yang bisa kita kerjakan tanpa pangkat dan uang. Sungguh begitu banyak rezeki dan kebahagiaan yang Allah Ta'ala berikan tanpa pangkat dan uang. Semua itu tetap membuat kita mulia di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Marilah, berlombalah untuk menjadi orang-orang berpikir out of the box. Bukan lagi seperti orang kebanyakan yang menjadikan harta benda dan urusan dunia sebagai tujuan. Mulai untuk membuka pikiran bahwa harta benda hanyalah fasilitas yang Allah Ta’ala berikan untuk mendekat kepada-Nya.
Hidup bukan demi uang, tetapi uang adalah amanah untuk membahagiakan hati keluarga terdekat, yatim, fakir, dan orang yang membutuhkan bantuan. Agar tak lagi berjarak dengan kasih sayang dan perlindungan-Nya. Agar bangsa ini terlindung dari berbagai marabahaya dan saling menyayangi dalam ikatan persaudaran yang ikhlas karena Allah saja.*
0 facebook:
Post a Comment