Oleh: Dr. Tgk. Ismu Ridha, M.A

Doktor Bidang Tafsir di Yarmouk University – Jordania

Dosen Agama Universitas Teuku Umar


Ramadhan adalah madrasah. Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, mengatakan bahwa ramadhan adalah lembaga pendidikan akhlak terbesar dimana setiap muslim belajar banyak hal di dalamnya.

Kita tentu bertanya kepada diri kita masing-masing, setelah Ramadhan ini berakhir, apa nilai yang semestinya melekat dan mengkristal dalam setiap jiwa muslim, maka setidaknya ada tiga nilai utama dari madrasah Ramadhan yang harus senantiasa kita pupuk, kita rawat dan kita jaga.

Pertama, Ramadhan mengajarkan seseorang menjadi pribadi yang konsisten dalam ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.

Selama Ramadhan, kebaikan demi kebaikan, kebajikan demi kebajikan kita laksanakan. Diam kita adalah zikir, duduk kita adalah fikir, tidurpun jadi ibadah, semua berlomba-lomba dalam amal saleh. Jangan sampai ramadhan berakhir, ibadah kita pun ikut berakhir.


Barang siapa yang menyembah ramadhan maka sesungguhnya ramadhan telah berlalu, dan barang siapa yang menyembah Allah swt, maka sesungguhnya Allah swt adalah zat yang maha hidup.

Rasulullah saw bersabda: Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”

Rasulullah berkata, “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR Ibnu Majah no  4245).

Jangan sampai kita menjadi manusia yang munafik, di depan manusia kita menampakkan kesalehan, di depan manusia kita tampak khusyuk dan taat, dan ketika sendiri kita justru bermaksiat. 

Maka orang yang istiqamah adalah orang paling bahagia, ada orang atau tidak orang sama saja, Allah maha melihat, orang memuji, orang tidak memuji, sama, Allah maha mencintai hambanya yang berbuat kebaikan. Orang yang istiqamah tidak akan sibuk dengan penilaian orang, orang yang istiqamah hanya sibuk dengan penilaian Allah. Maka sesungguhnya orang menghormati kita bukan karena kebaikan kita, kita dihargai karena Allah menutup aib kita, maksiat, keburukan dan kekurangan kita. Banyak orang yang bangga dengan topengnya, padahal isinya busuk. Ramadhan mengajarkan kita menjadi insan-insan yang istiqamah, jujur dan ikhlas.

Jika engkau berada dalam kenikmatan maka jagalah kenikmatan tersebut, sesungguhnya kemaksiatan akan menghilangkan kenikmatan. Jagalah kenikmatan tersebut dengan bertakwa kepada Allah, Sesungguhnya Allah sangat cepat balasanNya (kepada pelaku maksiat)

Allah Swt menyatakan: Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

Sementara bangsa Tsamud diazab karena mempertontonkan gaya hidup yang selalu dihiasi dengan kemaksiatan, berfoya-foya, mabuk-mabukkan, berzina dan melakukan tindak kejahatan.

Jika kita perhatikan, betapa di kota yang kita cintai ini kita dipertontonkan dengan kemaksiatan yang semakin tumbuh subur, gurita narkoba semakin makmur, mengerogoti berbagai elemen negeri, judi online kian menjamur, nasib masyarakat miskin kian terkubur, sedangkan sebagian pihak tertawa dengan angkuh dan takabbur, bahkan penegakan syariat semakin kabur dan hancur; zina dikalangan muda mudi semakin subur, hingga kasus pembuangan bayi yang tak berdosa baru-baru ini. Seolah-olah kita kembali ke zaman jahiliyah, dimana orang-orang membunuh bayi-bayinya. Nauzubillahi min zalik.

Maka Ramadhan mengajarkan kita senantiasa konsisten dalam kebaikan dan ketaqwaan, kapanpun dan dimanapun. 


Kedua, Ramadhan mengajarkan kontrol nafsu.

Apa yang membuat kita berani berbuat zalim dan kemaksiatan? Jawabannya karena nafsu kita. Maka Ramadhan mendidik kita bagaimana mengontrol dan mengendalikan nafsu. Mengarahkan dan menempatkan nafsu sesuai dengan keinginan Allah Swt.

Allah menggambarkan di dalam Al-Quran bagaimana orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya:

Artinya:  Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka (tentang) berita orang yang telah Kami anugerahkan ayat-ayat Kami kepadanya (Syeikh Bal’am di zaman Nabi Musa yang diutus berdakwah di negeri amalik, Palestina). Kemudian, dia melepaskan diri dari (ayat-ayat) itu, lalu setan mengikutinya (dan terus menggodanya) sehingga dia termasuk orang yang sesat. (175) Seandainya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya. Maka, perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itu adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir. (QS Al-’Araf: 175-176)

Maka orang-orang yang berilmu, yang paham agama, alim, bahkan dia menghafal al-Qur’an, maka seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga). Artinya apa hadirin, orang alim, tapi hidupnya memperturutkan nafsunya, seperti anjing yang selalu mengalami kepayahan dan kecapekan. Oleh sebab itu, mari kita manfaatkan madrasah bulan Ramadhan dalam untuk menjadi pribadi yang konsisten dalam ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah Swt dengan mengendalikan nafsunya.


Ketiga, Ramadhan mengajarkan kepedulian dan berkasih sayang.  

Kepedulian dan kasih sayang mustahil wujud tanpa dilatarbelakangi oleh hati yang bersih, bersih dari kebencian, kedengkian, marah dan dendam. Maka inilah yang dinamakan dengan “memaafkan” di dalam Islam. Oleh sebab itu, al-Quran menggabungkan antara kata memaafkan dengan melapangkan dada. 

Allah berfirman: (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Maka, maafkanlah mereka dan lapangkanlah dadamu wahai Muhammad. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang muhsin.

Di dalam Islam baru dipandang memaafkan jika kita sudah memaafkan saudara kita di dalam dada, dengan perasaan yang ikhlas, ridha dan tidak menyimpan sedikitpun rasa dendam, dengki dan benci. 

Rasulullah saw bersabda,  artinya: “Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.” (Muttafaq ‘alaihi).

Sehingga, tugas kita pertama adalah berbuat baik kepada siapapun.

Dari Ibnu ‘Umar: Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, Amal apa yang paling dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla?”. Rasulullah  menjawab: “Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah kebahagiaan yang engkau berikan kepada diri seorang muslim atau engkau menghilangkan kesulitannya atau engkau melunasi hutangnya atau membebaskannya dari kelaparan. Dan sesungguhnya (jika) aku berjalan bersama saudaraku untuk menunaikan satu hajat/keperluan lebih aku sukai daripada aku beri’tikaf di masjid ini, yaitu masjid Madinah selama sebulan. 

Nilai seseorang jangan diukur dari apa yang mereka miliki, tapi apa yang bisa diberi. Oleh karena itu, mari kita ukur kesuksesan diri kita bukan dari harta yang kita miliki, bukan dari harta yang kita kumpulkan, bukan dari gelar yang kita miliki, bukan dari jabatan tinggi yang kita raih, tapi ukurlah kesuksesan kita dari berapa banyak orang-orang bisa terbantu oleh hidup kita. Kita bersyukur ketika banyak orang yang lapar, mereka bisa makan dari tetesan keringat kita. Banyak anak-anak yang bisa sekolah karena tetesan keringat kita, banyak orang-orang yang bisa mendapatkan lapangan kerja karena cucuran keringat kita.  Mati dalam keadaan penuh manfaat itulah kematian bermartabat dan terhormat.  

Kedua, kasih sayang ini hadir karena adanya silaturahmi. Maka di hari yang suci nan fitri ini kita saling bersilaturahmi dengan tetangga, masyarakat, sanak saudara. Jangan sampai anak-anak kita ketika ada paman, yahcut datang, anak kita justru sibuk dengan HP. Yang suami, sayangilah istri-istrimu, penuhi hak-haknya.

Dari Aisyah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap isteriku. ( HR Tirmidzi )

Karena itu, istri, sayangilah suamimu, hormati dia, sebab akan sampai suatu saat kita semua akan berpisah dengan pasangannya. Di saat itulah, kita hanya bisa duduk termenung, sambil meneteskan air mata mengenang memori indah masa lalu yang penuh kasih sayang.

“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya.” (HR Tirmidzi nomor 1159, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani) 

Puncaknya adalah silaturahmi dengan orangtua. Rasulullah saw bersabda, “Uruslah kedua telapak kakinya, maka akan kau dapati syurga”.

Di hari yang penuh kebahagian ini, datangilah kedua orang tua kita, cium  kedua tanganya, peluklah erat-erat tubuhnya dan mintalah doa dari keduanya. Belilah makanan yang terbaik, pakaian yang terbaik, sisihkan sebagian rezeki kita untuk keduanya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang suka untuk dipanjangkan umur dan ditambahkan rizki, maka berbaktilah pada orang tua dan sambunglah tali silaturahmi (dengan kerabat).” (HR Ahmad)

Jangan sampai kita menyesal, ketika keduanya telah tiada, baru kita ingin berbuat baik kepadanya. Rasulullah menyampaikan: Jika orang tua telah ridha, Allah pun ridha, jika Allah telah, maka Allah akan tanamkan kecintaan tersebut kepada seluruh penduduk bumi ini.

Dari Abu Hurairah -raḍiyallahu 'anhu- secara marfu', "Jika Allah Ta'ala  mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril untuk memberitahukan bahwa Allah Ta'ala mencintai si fulan, maka cintailah si fulan itu. Jibril pun lalu mencintainya. Selanjutnya ia berseru di tengah-tengah para penghuni langit, "Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah oleh kalian si fulan." Para penghuni langit pun mencintainya. Setelah itu, kecintaan kepadanya diteruskan di bumi. 

-Disampaikan pada Khutbah Idul Fitri di Masjid Oman Al Makmur Lampriet Banda Aceh, 1 Syawal 1444 H

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top