lamurionline.com -- Kota Jantho – Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Besar, menggelar pembinaan dan pengembangan adat dengan tema “Kiwieng ateung beuneung peuteupat, kiwieng ureung peudeung (adat) peuteupat.” Kegiatan yang dibuka oleh Penjabat (Pj) Bupati Aceh Besar Muhammad Iswanto SSTP MM, yang diwakili Asisten I Sekdakab Aceh Besar Farhan AP tersebut, merupakan upaya MAA untuk menguatkan peradilan adat bagi keuchik (Kepala desa-red), sekretaris dan tuha peut gampong dalam Kabupaten Aceh Besar, di Aula Dekranasda Aceh Besar, Gani, Kecamatan Ingin Jaya, Kamis (10/8/2023) pagi.

Materi pembinaan yang dihadiri oleh para keuchik dan perangkat gampong tersebut, diisi oleh Ketua MAA Aceh Besar Asnawi Zainun SH, Wakil Ketua MAA Aceh Besar Zulkifli Zakaria, serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK).

Dalam sambutannya, Pj Bupati Aceh Besar melalui Asisten I Sekdakab Aceh Besar Farhan AP menyampaikan, kegiatan itu sangat penting untuk diikuti oleh perwakilan dari gampong-gampong di wilayah Pemerintahan Aceh Besar, dengan harapan dapat menambah pengetahuan serta dapat dijadikan sebagai bekal dalam menyelesaikan setiap perkara yang terjadi secara adat dan kekeluargaan.

Kepala Sekretariat MAA Aceh Besar Salamuddin ZM SE saat memberikan laporan pelaksanaan pembinaan dan pengembangan adat di Aula Dekranasda Aceh Besar, Gani, Kecamatan Ingin Jaya, Kamis (10/8/2023) pagi. FOTO/ WAHYU DESMI

“Harapannya, jika ada perkara dalam gampong dapat diselesaikan secara adat dan kekeluargaan, dengan mengedepankan musyawarah dan mufakat untuk dilakukan mediasi,” ucapnya.

Menurutnya, azas kekeluargaan merupakan prinsip utama dalam penyelesaian perkara secara adat. Kemuliaan kedudukan dalam penyelesaian perkara secara adat, berhubungan erat dengan hukum Islam yang tentunya menganjurkan keutamaan perdamaian.

“Hukum islam dan hukum adat saling keterkaitan, bahkan asas-asa yang ada dalam hukum adat tentunya berdasarkan ajaran islam,” jelasnya.

Selain itu, Farhan AP mengatakan, pemakaian bahasa Aceh dalam keseharian merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga kelestariannya. Tanpa menjaga kelestarian bahasa daerah, dikhawatirkan dapat menghilang pada suatu generasi mendatang.


Kemudian, sambungnya, berdasarkan peraturan yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2022, penggunaan bahasa Aceh diwajibkan pada setiap hari Kamis untuk menjaga kelestarian bahasa daerah.

“Dalam instansi pemerintahan juga dianjurkan pemakaian bahasa Aceh, ini untuk dapat menjamin keberlangsungan dan kelestarian bahasa kita,” sebut Farhan AP.

Sementara itu, Kepala Sekretariat MAA Aceh Besar Salamuddin ZM SE dalam laporannya menuturkan, berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2023 terkait sistem informasi peradilan adat, keutamaan penyelesaian setiap perkara dapat dilakukan secara mediasi dan berdasarkan hasil musyawarah.

“Kita harapkan dengan adanya Perbup tersebut, dapat diterapkan dalam menyelesaikan setiap perihal yang terjadi dalam bermasyarakat,” jelasnya.

Kemudian, Salamuddin menerangkan, peraturan dalam pemerintahan terkait penyelesaian setiap perkara harus melalui berbagai tahapan sebagaimana mestinya. Penyelesaian pada tahapan pertama harus diupayakan secara kekeluargaan, namun jika tidak adanya penyelesaian maka dapat dilanjutkan ke tahapan berikutnya pada tingkatan berdasarkan prosedur penyelesaian.

“Penyelesaian setiap perkara tidak dapat dilakukan dengan melompati tingkatan-tingkatan yang ada,” pungkasnya.(Cek Man)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top