LAMURIONLINE.COM | BANDA ACEH - Kebudayaan dan ilmu pengetahuan mengalami penyempitan dan pendangkalan makna di tengah masyarakat, termasuk di tengah masyarakat Aceh. Karena itu, banyak pekerja kreatif dan pekerja seni asal Aceh yang serius justru lebih diakui dan dihargai di luar Aceh. 

Demikian salah satu fakta disampaikan oleh Putra Hidayatullah dalam Pidato Kebudayaan di Kampus Darussalam, Selasa (26/12/2023) 

"Sementara di Aceh, masyarakatnya belakangan bahkan kehilangan kepercayaan diri dalam menikmati kebudayaannya sendiri," lanjut Putra, putra Aceh yang menjadi salah satu kurator pada Documenta Fifteen, pameran kebudayaan terbesar di dunia yang dilaksanakan di Kassel, Jerman, 18 Juni - 25 September 2022.

Selain seorang kurator seni, Putra adalah akademisi di UIN AR Raniry, peneliti, dan penulis cerita yang lulus dari jurusan Contemporary Art and Art Theory of Asia and Africa di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London. Ia adalah salah satu kurator muda pada pameran Jakarta Biennale 2015 - Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang”.

Menurut Putra, kegamangan orang Aceh terhadap seni-budaya tradisinya sendiri disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya pergeseran dan penyempitan makna budaya menjadi sekedar seni pertunjukan dan selanjutnya menjadi lomba-lomba dan  event-event saja.

"Sehingga, yang kita baca kemudian adalah tentang kabupaten ini menjadi juara lomba itu dan kabupaten itu menjadi juara lomba ini," ujarnya.  Padahal, kebudayaan berasal dari kata “budhi” yakni tentang “akal budi”. Karena itu, kebudayaan harusnya menguatkan akal budi sebagai tulang punggung sebuah peradaban.

Kedua, berjaraknya pekerja dan karya seni-budaya dari keadaan dan kenyataan hidup sehari-hari masyarakat Aceh. "Harusnya kebudayaan menangkap jiwa dan nafas untuk selanjutnya menjadi akal budi humanis yang mewarnai masyarakat di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang," sambung Putra.

Ketiga, kebudayaan di Aceh tidak ditopang oleh dan berkembang dengan ilmu pengetahuan. "Pekerja dan pelaku budaya, misalnya, jauh dari kampus-kampus yang dianggap sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Para akademisi pun sepertinya enggan berinteraksi dengan yang disebut 'budayawan' apalagi menjadi budayawan itu sendiri!" sergah Putra. 


Menurut Putra, perlu ada saling menguatkan antara pekerja budaya dan pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, ia menganjurkan perlunya saling kunjung dan saling mengapreasiasi. 

Ia melanjutkan, "Kalau para seniman atau budayawan membuat pertunjukan atau pameran, misalnya, akan sangat baik jika para akademisi dan peneliti ikut menghadiri dan mengapresiasinya. Dari saling kunjung dan saling mengenal semoga akan lahir kerjasama yang saling mencerahkan."

Acara Pidato Kebudayaan merupakan salah satu kegiatan rutin ICAIOS, sebagai refleksi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, serta olahraga di Aceh.  Acara ini ikut didukung oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Aceh.

"Mulai tahun ini, perhelatan Pidato Kebudayaan ICAIOS ikut didukung oleh BPK Aceh. Jadi insya Allah akan rutin dan makin baik setiap tahunnya," jelas Reza Idria, PhD Direktur Eksekutif ICAIOS. (Sayed M. Husen)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top