Oleh: Syahrati, S. HI., M. Si.

Penyuluh Agama Islam Kabupaten Bireuen

Rakyat Indonesia baru saja melewati pesta demokrasi 14 Februari 2024. Pasca pesta tentunya menyisakan banyak rasa dan cerita. Secara pribadi saya kurang setuju dengan istilah pesta demokrasi yang dipopulerkan pada 1982. Lebih tepatnya, ketika itu, diucapkan oleh Soeharto pada sebuah rapat nasional persiapan pemilu yang dihadiri oleh gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia, Februari 1981. “Kita harus menganggap pemilihan umum sebagai sebuah pesta besar demokrasi”, ucap Soeharto, sebagaimana dikutip oleh Hironimus Taolin dalam artikelnya Merayakan Keheningan di Tengah Pesta Demokrasi.  

Mengutip tulisan Gifari Juniatama dalam Menyegarkan Istilah Pesta Demokrasi menyebutkan, pesta dalam persepsi kebudayaan Orde Baru sendiri bisa disamakan dengan pesta pernikahan. Pesta demokrasi seolah dirancang sudah memiliki susunan acara yang pasti dan hasil yang bisa diketahui lebih awal. Terdapat segala perangkat resepsi pesta seperti iringan musik yang meriah, dekorasi menawan, hidangan lezat, dan segala perangkat pesta yang sudah tertata, sedangkan masyarakat hanya ditempatkan sebagai tamu, menjadi saksi dan menikmati hiburan sesaat yang disajikan oleh pesta demokrasi. 

Setelah pesta selesai, tulisnya, tamu akan kembali pada kehidupan masing-masing tanpa terlibat secara langsung dalam kehidupan politik. Masyarakat hanya ditempatkan sebagai tim hore setiap lima tahun sekali, sementara sebagian kecil elite politik dalam masyarakat terus mempertahankan status quo mereka yang dilegitimasi melalui pemilu. Inilah akhir kisah pesta demokrasi, sebuah kisah yang akan berakhir pada lima tahun kedepan. Olok-olokan atau pujian.

Di era gempuran “politik beradab”, masih banyak pelaku politik yang berlaku tidak beradab, merusak sendi-sendi perpolitikan dengan berbagai tipu muslihat dan kecurangan. Maka bila sebuah kalimat motivasi seperti “usaha tidak akan mengkhianati hasil” menjadi tidak bermakna dalam dunia perpolitikan. Lihat saja bagaimana caleg berjuang siang malam, menguras tenaga, pikiran dan harta tapi pada akhirnya yang didapat adalah hasil yang dikhianati oleh usaha. 

Seperti lelucon yang beredar di TikTok,  seorang caleg gagal yang diperankan oleh Pak Salam mengeluh dengan kalimat “400 droe timses, 300 droe suara, nyan ka kapoeh long (400 timses tapi suara hanya 300, itu kamu menyakitiku)”. Artinya, tidak hanya politukus berpotensi khianat, timses banyak pula yang selingkuh, sedangkan masyarakat mengambil kesempatan dari momen langka ini. Katanya, ambil uangnya jangan pilih orangnya. Alhasil Pak Salam gagal jadi anggota dewan terhormat.

Sebelum KPU mengumumkan hasil pemenangan pilpres maupun peserta parpol yang layak berada di gedung terhormat, mungkin kita sudah bisa menebak siapa yang menjadi pemenangnya dari berbagai sumber. Mempersiapkan mental sebelum dan sesudah terjun ke dunia politik adalah modal utama bagi para pemimpin dan calon legislatif, termasuk menyiapkan segala kemungkinan, terutama kemungkinan gagal. Kegagalan adalah hal yang paling sulit diterima, kekalahan akan sangat menyakitkan apabila kita sangat berharap kepada sesuatu tersebut, tapi tak mampu kita gapai, terlebih bila kegagalan tersebut didapat setelah melakukan usaha yang luar biasa. 

Dalam nuansa kompetisi, kemenangan dan kekalahan adalah hal lumrah. Menang dan kalah hanyalah sepintas persoalan yang menghadirkan kenyataan-kenyataan inkosisten. Oleh karenanya, rasa senang, bahagia, dan keriangan yang didapat oleh the winner, tidak melulu harus  dirayakan dengan antusiasme buta, apalagi sampai terjebak pada kubangan euforia-fanatisme akut yang berlebih-lebihan. Begitupun dengan pihak the loser, kegagalan tidak harus diluapkan dengan bentuk tindakan-tindakan brutal dan anarkis. Perihal rasa sedih, kecewa, ataupun nestapa haruslah dihadapi dengan penuh lapang dada dan kesabaran. 

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah, menahan lidah dari keluh kesah, serta menahan anggota tubuh dari kekacauan.

Banyak orang merasa gagal dan tidak memiliki semangat hidup lagi saat menerima kekalahan tersebut. Bahkan, terkadang kekalahan ini membawa emosi jiwa yang berlarut-larut dan akhirnya membawa kita dalam keadaan depresi dan merasa malu dan merasa menjadi  sangat tidak berharga. 

Hasyim Muhammad dalam bukunya Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi menguraikan hakikat  sabar merupakan satu di antara stasiun-stasiun (maqamat) agama dan satu anak tangga dari tangga seorang salik dalam mendekatkan diri kepada Allah. Struktur maqamat (kedudukan) agama terdiri dari (1) pengetahuan (ma'arif) yang dapat dimisalkan sebagai pohon, (2) sikap (ahwal) yang dapat dimisalkan sebagai cabangnya, dan (3) perbuatan (amal) yang dapat dimisalkan sebagai buahnya. Seseorang bisa bersabar jika dalam dirinya sudah terstruktur maqamat itu. Sabar bisa bersifat fisik, bisa juga bersifat psikis, karena sabar bermakna kemampuan mengendalikan emosi.

Begitu pula yang berhasil menjadi pemenang dalam kompetisi perlu memahami dengan utuh bahwa yang paling penting dari sebuah kemenangan adalah tanggung jawab dan keamanahan. Kompetisi temporal hanya sekedar menguatkan takdir tanggung jawab, sebab yang original dari semua proses tersebut adalah keamanahannya, bukan kemenangannya, karena pemenang adalah hasil akhir dari semua tanggung jawab. 

Kemenangan yang hakiki adalah kemenangan yang menjadikan orang-orang yang bertambah takwa kepada Allah. Esensi kemenangan yang dirayakan ini adalah tentang bertambahnya kesadaran untuk tundak patuh pada sang pencipta, konsisten menebar kebaikan, membaikkan keadaan, situasi perubahan yang menjadi lebih baik dalam menjalankan semua yang menjadi tanggung jawabnya. 

Jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban, bersyukurlah dengan sebuah kegalalan, karena boleh jadi Allah sedang menyelamatkan kita daripada kelalaian dalam tanggung jawab, karena akan selalu ada pelajaran yang dapat kita petik dalam setiap kekalahan.

Jadi dalam dunia perpolitikan, ketahuilah bahwa kalah bukan berarti benar dan menang bukan berarti terbaik. Pesta politik telah usai, saatnya kita bersatu membangun bangsa yang lebih baik dalam sebuah takdir yang sudah menjadi ketetapan Allah.

Editor: Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top