Oleh : Hadi Irfandi

Penangkapan 15 terduga teroris jaringan Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Daulah di Aceh oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri pada Juli-Agustus 2022 telah membawa perhatian baru pada masalah radikalisasi dan terorisme di Indonesia. Fenomena ini bukan hanya sekedar aksi kriminal, melainkan menunjukkan bagaimana ideologi radikal dapat menyebar di masyarakat. Lokasi penangkapan yang meliputi Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Utara, Langsa, Bireuen, dan Banda Aceh mengindikasikan bahwa pengaruh kelompok-kelompok ini merentang luas dan melibatkan individu dari berbagai latar belakang.

Seiring dengan peningkatan aktivitas teroris, muncul pula kesadaran bahwa pendekatan keamanan semata tidak cukup untuk mengatasi akar permasalahan. Radikalisasi agama, yang mengancam perdamaian dan toleransi, harus dicegah sebelum berubah menjadi kekerasan. Dalam konteks ini, pendidikan memegang peran kunci.

Pendidikan tidak hanya sebagai sarana penyebaran pengetahuan, tetapi juga sebagai alat untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Melalui pendidikan, peserta didik dapat diajarkan tentang bahaya ideologi radikal serta pentingnya keberagaman dan toleransi. Pendidikan membantu membentuk persepsi dan sikap yang mendukung kehidupan bermasyarakat yang harmonis.

Menanggapi kebutuhan ini, kurikulum pendidikan harus diperkuat dan diarahkan untuk mengembangkan keterampilan kritis dan empati. Mata pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan, yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, perlu ditekankan. Kurikulum ini harus mencakup juga pelajaran tentang sejarah lokal dan global yang menunjukkan akibat dari ekstremisme dan intoleransi. Dengan demikian, pelajar tidak hanya belajar tentang kejadian, tapi juga memahami konteks dan kompleksitasnya.

Selain itu, pentingnya integrasi pendidikan media dan literasi digital tidak bisa diabaikan. Di era digital saat ini, banyak pemuda terpapar pada berbagai jenis informasi melalui internet dan media sosial, yang tidak jarang diantaranya adalah propaganda radikal. Pendidikan media dapat mengajarkan pelajar cara memilah informasi dan membedakan antara fakta dan opini, serta mengidentifikasi konten yang berpotensi meradikalisasi.

Pendidikan juga harus melibatkan pelatihan guru yang komprehensif. Guru perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mengidentifikasi tanda-tanda awal radikalisasi. Mereka harus mampu mengelola diskusi sensitif di kelas dengan cara yang konstruktif dan mendidik. Penting bagi guru untuk menjadi contoh toleransi dan keberagaman di dalam dan luar kelas, karena mereka adalah figur yang sering menjadi contoh bagi siswa.


Lebih jauh, pendidikan harus bersifat inklusif dan menyeluruh, mencakup semua segmen masyarakat. Hal ini termasuk menjangkau kelompok-kelompok marginal yang mungkin lebih rentan terhadap pesan-pesan radikal karena kondisi ekonomi atau sosial mereka. Program-program pendidikan dan sosialisasi perlu dirancang untuk menjangkau komunitas-komunitas ini dengan bahasa dan metode yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka.

Di samping pendekatan pendidikan, kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya, seperti keluarga, komunitas agama, dan lembaga-lembaga pemerintah, adalah kunci. Universitas dan lembaga pendidikan lainnya merupakan tempat dimana mahasiswa dan pelajar dari berbagai latar belakang berkumpul, belajar, dan berinteraksi, menjadikannya medan yang ideal untuk menyemai nilai-nilai keberagaman dan inklusivitas.

Salah satu kontribusi kunci dunia akademis adalah melalui pengembangan kurikulum yang mengedepankan pendidikan kewarganegaraan, hak asasi manusia, dan studi keberagaman. Mata pelajaran tersebut mengajarkan kepada mahasiswa untuk memahami dan menghargai perbedaan, serta mengembangkan keterampilan untuk berdialog dan berdebat secara sehat dan produktif. Ini membantu mereka membentuk pandangan dunia yang lebih luas, mempersenjatai mereka dengan pengetahuan untuk menantang ideologi yang ekstrem dan merugikan.

Menghadapi tantangan radikalisasi dan terorisme membutuhkan pendekatan holistik yang tidak hanya fokus pada aspek keamanan, tapi juga mencakup pemahaman mendalam tentang faktor-faktor sosial, ekonomi, dan psikologis yang mempengaruhi individu dan komunitas. Dengan pendekatan yang komprehensif dan inklusif, diharapkan kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih kuat, toleran, dan damai.

Penulis merupaka Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Prodi Pendidikan Agama Islam. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top