Oleh Hadi Irfandi

Public Speaking: Bisa Dipelajari Namun Juga Harus Dirawat

Coba kamu ingat lagi pertama kali mencoba ngomong di depan umum, rasanya seperti mau lari dari kenyataan. Tangan dingin, suara bergetar, dan pikiran tiba-tiba kosong. Padahal sebelum naik ke panggung, rasanya udah siap. Udah latihan, udah hafal materi, tapi tetap saja grogi menguasai. Suara keluar nggak utuh, dan ide yang ingin disampaikan malah hilang di tengah jalan. Aku, kamu, kita semua menolak untuk kembali terpeleset ke jurang curam yang sama itu.

Ini bukan cuma cerita satu dua orang. Banyak di antara kita pernah ada di situasi itu. Dan anehnya, kadang kejadian seperti itu bisa terulang walau kita sudah pernah tampil bagus sebelumnya. Ternyata, kemampuan berbicara itu seperti otot—kalau nggak dilatih terus, dia bisa melemah.

Yang sering luput dari perhatian adalah bahwa public speaking bukan hanya soal berani tampil. Tapi juga soal kejelasan berpikir, keteraturan menyampaikan, dan kemahiran merangkai pesan. Dan semua itu nggak muncul begitu saja. Dia harus dirawat.

Kiamat Itu Bernama Post Power Syndrome

Kamu yang sudah pernah menjadi MC, moderator, atau bahkan memimpin rapat —public speaking dalam jangka yang lebih kecil, cukup akrab dengan fenomena ini: nggak setiap hari kita dapat kesempatan untuk berbicara di depan banyak orang. Apalagi kalau kita bukan seorang pembicara profesional. Kadang dalam sebulan, bahkan tiga bulan, nggak ada satu pun momen buat tampil. Dan tanpa sadar, kualitas bicara kita bisa menurun.

Kita jadi kehilangan irama dalam berbicara. Cara menyampaikan pesan jadi kurang tajam. Dan yang lebih berbahaya, kita bisa kehilangan rasa percaya diri karena merasa “udah nggak selancar dulu”.

Berangkat dari sana, rasa iri perlahan muncul saat melihat junior kita tampil hebat di panggung yang dulu sering kita isi. Padahal dulu, kita yang membimbing mereka tumbuh, dan bangga tiap kali melihat mereka berhasil. Sekarang, perasaan itu berubah jadi kecewa yang tak jelas arahnya. Kita juga mulai sering marah tanpa sebab, bukan karena hal-hal kecil, tapi karena ingin didengarkan lagi seperti dulu—ingin merasa dibutuhkan seperti masa jaya kita. Tiap pagi pun jadi waktu yang membingungkan. Tak ada lagi jadwal rapat atau koordinasi seperti dulu. Waktu yang dulu padat, kini terasa kosong dan hening. Karena post power syndrome bisa lebih cepat tiba dari yang kita kira.

Post power syndrome sering kali bikin seseorang merasa hampa, kehilangan arah, dan sulit menerima perubahan setelah pensiun atau berhenti dari mendapat panggung untuk berbicara. Banyak yang mengira obat-obatan bisa jadi jalan keluar, padahal kenyataannya, pengobatan medis hanya membantu meredakan gejala sesaat, bukan menyembuhkan rasa kosong atau kebingungan yang muncul di dalam diri. Justru kebiasaan sederhana seperti menulis bisa jadi langkah yang jauh lebih efektif. Dengan menulis, semua beban pikiran bisa pelan-pelan dilepaskan, emosi jadi lebih tertata, dan hidup kembali terasa punya tujuan. Menulis membuka ruang untuk jujur pada diri sendiri, melihat masalah dengan lebih jelas, dan secara perlahan mengurangi stadium post power syndrome yang kita derita. Mulai saja dari hal kecil, tulis apa pun yang kamu rasakan, karena tulisan bisa jadi teman yang setia di masa-masa penuh perubahan.

Saat momen itu tiba menulis adalah sesuatu yang harus dilakukan. Lakukan sekarang atau tidak sama sekali, jika aku jadi kamu tentunya.

Aktualisasi Diri Tak Harus di Panggung

Dalam dunia medis, hadirnya penyakit —baik mental ataupun fisik adalah tanda bahwa ada organ yang sudah harus diurus kembali karena sudah kurang aktif. Maka dari sudut pandang yang ini, post power syndrome bisa dikatakan hadir sebagai alarm tanda ada kebutuhan kita yang butuh untuk kembali dipenuhi, divalidasi, diperhatikan yaitu kebutuhan aktualisasi diri.

Manusia memiliki beragam kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, tersusun dari yang paling dasar berupa makanan dan pakaian hingga yang berada di paling puncak yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri. Teori ini ditemukan oleh Abraham Maslow, psikolog Amerika yang teorinya populer di masa sekarang banyak diilhami oleh momen dia hidup masa Perang Dunia II.

Aktualisasi diri atau kebutuhan pendapat kamu didengarkan oleh banyak orang bisa terbantu dengan menulis. Pelan-pelan, kita dilatih menyusun ide dari nol. Mulai dari membuka topik, menjelaskan isi, sampai membuat penutup yang mengena. Menulis melatih kita memilah mana informasi yang penting, mana yang hanya jadi pengganggu. Dan semua itu—kalau kita sadari—adalah bekal untuk bicara dengan jelas dan percaya diri.

Bayangkan saja, saat kamu sedang menulis sebuah opini, kamu sedang melatih struktur berpikir. Kamu sedang mengatur bagaimana sebuah pesan bisa sampai ke orang lain dengan cara yang paling mudah dimengerti.

Dari kebiasaan itu, kebutuhan untuk didengarkan kembali tersalurkan karena kepala kita udah terbiasa menyusun kata dan menyampaikan ide secara runtut dan menulis menjadi wadah baru. Seperti punya simpanan kata dan struktur di dalam kepala yang siap dipanggil kapan saja.

Menulis Sebagai Penyelamat, Karena Tidak Ada yang Mau Jatuh ke Jurang yang Sama

Masih aku ingat banget rasanya jadi kikuk lagi ketika kembali dihadapkan dengan beberapa pertanyaan seputar public speaking. Bukan karena lupa caranya, tapi karena kehilangan kelenturan berpikir dan berbicara. Momen mencekam itulah yang mencambukku mulai kembali menulis opini di beberapa media online. Hasilnya? Selain gaya bicaraku kembali mengalir, penuh energi, dan mudah ditangkap, pernah ada tulisanku yang diterbitkan ke media cetak.

Saranku, buanglah jauh-jauh keinginan untuk menjadi tokoh atau penulis terkenal. Karena kamu harusnya memilih menulis sebagai alat terapi. Meskipun mereka membuat kita terinspirasi, namun gagal menjadi besar lewat tulisan bukanlah dalih kamu berhenti menulis.

Referensi:

1. Maslow's Hierarchy of Needs: Motivation Theory. (n.d.). Study.com. Retrieved April 22, 2025, from https://study.com/academy/lesson/the-needs-theory-motivating-employees-with-maslows-hierarchy-of-needs.html

2. Ketahui Potensi Post Power Syndrome Anda. (2022, September 19). Chubb Indonesia. Retrieved April 22, 2025, from https://www.chubb.com/id-id/articles/personal/ketahui-potensi-post-power-syndrome-anda.html

Penulis sedang menempuh Studi Pendidikan Agama Islam di UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan gemar topik tentang Public Speaking.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top