Oleh: Dr, Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH

Widyaiswara BPSDM Aceh

Mengawali masa baktinya sebagai Gubernur Aceh,  Mualem menyapa rakyat Aceh pada momentum shalat tarawih pada Ramadhan lalu. Sapaan berlampirkan pesan itu dikemas dengan nomenklatur Instruksi Gubernur Aceh Nomor 1 Tahun 2025 tentang Shalat Fardhu Berjamaah dan Mengaji serta Gerakan Aceh Berwakaf. Tidak sampai 15 menit Mualem membacakan instruksinya, namun momentum interaksi itu sarat dengan pesan-pesan tersirat. 

Dalam ilmu komunikasi, setiap bentuk interaksi antara komunikator dan komunikan semuanya bertujuan untuk menyampaikan pesan. Demikian halnya komunikasi antara pemimpin dengan masyarakatnya, pasti sarat dengan pesan dan harapan. Namun tidak semua pesan dapat terkemas dan terungkap secara tersurat, selebihnya hanya bisa terungkap secara tersirat. Pesan dan harapan tersirat inilah yang harus bisa dibaca oleh si penerima pesan.  

Berdasarkan konsep Good Governance, pesan tersirat Gubernur sebagai administrator pemerintahan Aceh ini mutlak harus bisa ditangkap dan dikonstruksi dengan baik oleh 3 komponen utama dalam kepemerintahan, yaitu birokrasi, korporasi, dan civil society. Ketiga komponen ini harus memaksa diri untuk bisa membaca pesan Gubernur secara tersirat, bukan secara tersurat sebagaimana masyarakat awam. 

Birokrasi adalah komponen kepemerintahan yang berada di dapur kebijakan. Dikomandoi “koki kepala” Sekretaris Daerah, para koki di berbagai satuan kerja pemerintah Aceh harus bisa meracik komposisi menu yang dihidangkan gubernur kepada masyarakatnya. Selanjutnya yang harus bisa mewujudkan komposisi dan resepi menjadi menu yang siap saji adalah dunia korporasi yang menjadi mitra birokrasi untuk melaksanakan proses pembangunan. Lalu, tugas masyarakat sipil (civil society) adalah mengawasi kerja dan kinerja birokrasi dan korporasi.

Siklus kerja antara politisi, birokrasi, korporasi dan civil society di atas sesungguhnya adalah cerminan dari penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam penyelenggaraan pemerintahan. Politisi merencanakan, birokrasi menyelenggarakan, korporasi melaksanakan, dan civil society melakukan pengawasan. Good Governance yang baik dan sehat mensyaratkan masing-masing menjalankan fungsinya dengan baik. 

Bagaimana birokrasi, korporasi dan civil society merespon pesan tersurat Mualem secara tersirat? Pesan Mualem yang terkemas dalam 3 poin perintah; tegakkan shalat, baca al-Qur’an dan berwakaflah. 

Perintah tegakkan shalat bukan sekedar menunaikan shalat, tetapi mengembalikan kesadaran bahwa setinggi apapun pangkat dalam birokrasi ingatlah ada zat yang jauh lebih besar, itulah pesan tersirat dalam takbir yang mengawali semua gerakan shalat. Masjid adalah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Jiwa (SPBJ). Minyak yang diisikan ke dalam jiwa setiap birokrat, korporat dan masyarakat adalah sifat kasih sayang, itulah yang berulang-ulang diucapkan setelah takbir, yakni bismillahirrahmanirrahim. 

Shalat sesungguhnya adalah proses men-download sifat Allah al-Rahman dan al-Rahim agar menjadi sifat yang mengisi jiwa para birokrat, korporat dan masyarakat. Semuanya harus mengartikan instruksi Mualem ini sebagai bentuk keresahan Mualem atas krisis dan kritisnya sifat al-Rahman dan al-Rahim dalam jiwa para birokrat, korporat dan masyarakat saat ini. 

Korupsi, kolusi, nepotisme, kroniisme, dan sebagainya merajalela karena minimnya kasih sayang dalam jiwa birokrat, korporat dan masyarakat. Ini terjadi dalam semua bentuk penyelenggaraan urusan pemerintahan, baik dalam urusan pelayanan dasar maupun non-pelayanan dasar. Krisis dan kritis dalam penyelenggaraan pendidikan tidak lain disebabkan karena krisis dan kritisnya kasih sayang dalam jiwa semua stakeholders pendidikan; orang tua, murid, guru, dan penyelenggara pendidikan. Orang tua menyerahkan pendidikan anaknya sepenuhnya pada sekolah dan lepas tanggung jawab adalah cerminan lemahnya kasih sayang dalam jiwanya. Guru yang membiarkan muridnya tidak mencapai KKM adalah cerminan krisis kasih sayang, dan seterusnya. Demikian juga yang terjadi dalam sektor kesehatan; dokter yang tidak berusaha maksimal membantu pasiennya untuk sembuh dan hanya berharap gaji dan bayaran adalah indikasi lemahnya kalimat “bismillahirrahmanirrahim” dalam jiwanya. 

Selanjutnya dalam infrastruktur yang dilaksanakan oleh para korporat, “makan besi”, “makan semen” adalah tudingan yang kerap diarahkan kepada mereka dalam proyek-proyek pembangunan fisik yang mereka kerjakan. Ketegaan mereka melakukan itu menandakan tidak tegaknya shalat dalam jiwanya, mereka menjadi tidak sayang pada masyarakat yang menggunakan fasilitas-fasilitas yang mereka bangun. 

Kemudian, krisis kasih sayang juga kini menjangkiti berbagai komponen masyarakat sipil seperti ulama, cendekiawan, ormas keagamaan, siswa, mahasiswa, berbagai komunitas dan sebagainya berupa hilang dan lemahnya kepekaan sosial, lemahnya daya tanggap serta tidak adanya inisiatif amar ma’ruf nahi munkar; semua itu adalah wujud dari lemahnya kasih sayang (al-Rahman al-Rahim) dalam jiwanya; kalimat yang setidaknya 17 kali mereka gemuruhkan dalam jiwa dan pikirannya setiap melaksanakan shalat. 

Kembali ke pertanyaan, mengapa Mualem mengawali instruksinya kepada birokrasi yang ada di belakangnya? Secara tersirat ini harus dimaknai bahwa hal ini berangkat dari kesadaran Mualem bahwa kelebihan birokrasi dibandingkan korporasi dan civil society adalah pada kewenangan yang besar yang ada pada birokrasi. Mualem barangkali teringat dengan kata-kata Lord Acton, sosiolog politik asal Inggris, “Power tends to corrupt, absolute power corropts absolutely”, orang yang diberi kekuasaan rentan berlaku sewenang-wenang, semakin besar kekuasaan maka akan semakin besar kecenderungan untuk korupsi”. 

Potensi jiwa untuk korup hanya bisa diredam dengan menyuburkan rasa kasih sayang (al-Rahman al-Rahim) dalam jiwa kita, dan cara terbaik untuk mengisi jiwa dengan sifat itu adalah dengan shalat. Lalu, shalatnya sebaiknya dilakukan secara berjamaah, karena menyelenggarakan pemerintahan adalah kerja berjama’ah. Lalu sebaiknya shalat berjama’ah di masjid, karena masjid ibarat SPBU untuk mengisi bahan bakar untuk kenderaan. Mengisi bahan bakar di luar SPBU bisa-bisa dapat minyak oplosan, begitu juga dengan shalat yang bukan di masjid, menjadikan jiwa yang terbangun jiwa pengoplos; pengoplos anggaran, pengoplos jam kerja, pengoplos kenderaan dinas dan fasilitas kantor, dan sebagainya. Semua terjadi karena krisis dan kritisnya kasih sayang; dan al-Rahman al-Rahim adalah sifat utama Allah yang harus di-download sebisanya menjadi sifat kita manusia melalui shalat. Inilah mengapa gerakan dan gebrakan Mualem diawali dengan shalat berjamaah bagi birokrat, lalu korporat, lalu masyarakat. Wallahu a’lam bishshawwab.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top