Oleh: Hadi Irfandi
Penulis Lepas dan Kontributor di LamuriOnline
Sejarah memberi Gen Z pola krisis, konflik, hingga propaganda dimasa lalu sebagai batu loncatan — bukan untuk mengulang dari awal.Buat apa belajar sejarah?
Sistem pendidikan kita telah menyederhanakan sejarah menjadi serangkaian fakta, nama, tanggal, dan item yang tidak melibatkan praktik dan kesenangan sejarah yang sebenarnya. Alih-alih petualangan penemuan, pendidikan sejarah (setidaknya untuk generasi saya) adalah tentang menghafal yang dibutuhkan untuk lulus ujian.
Baru setelah munculnya YouTube dan media sosial, sejarah menjadi menyenangkan lagi — sebagian besar berkat para YouTuber dan pengguna Twitter (dan lainnya) yang cukup mencintai sejarah untuk berbagi kesenangannya dengan dunia.
Kemudian, saat kita menyoroti tentang praktik membagikan hasil rampasan kepada pendukung setianya dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mempertahankan kekuasaannya dan seseorang yang berulang kali membunuh. Pertanyaan saya, seberapa banyak data liniar tentang itu yang kamu punya dan bagaimana kamu mengatasi rasa penasaran terhadap motif mereka? agar tidak menjadi korban sekaligus pelaku berikutnya?
Ketika Kekuasaan dan Kekayaan Disalahgunakan
Pada tahun 1972, Presiden Uganda, Idi Amin, mengusir sekitar 60.000 warga keturunan Asia, yang sebagian besar adalah pelaku ekonomi utama di negara tersebut. Properti dan bisnis mereka disita dan diberikan kepada para pendukung Amin. Namun, banyak dari penerima ini tidak memiliki pengalaman dalam mengelola bisnis, yang menyebabkan kegagalan besar dalam sektor perdagangan dan manufaktur Uganda. Akibatnya, ekonomi negara runtuh, pendapatan pajak anjlok, dan kekacauan sosial meluas (Hubpages : 2016)
Kisah ini penting untuk kita renungkan kembali hari ini. Ketika kekuasaan digunakan untuk menyenangkan pendukung dengan kekayaan instan, tapi tanpa kesiapan dan kapasitas, hasilnya adalah kehancuran jangka panjang. Kesalahan yang sama bisa terulang, kalau kita tidak belajar dari sejarah.
Sejarah Telah Mencatat Pola yang Sama
Mari kita lihat kembali ke masa sebelum Revolusi Industri, ketika peralihan dari kehidupan agraris ke sistem pabrik membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Di Inggris, muncul kelompok bernama "Luddite" yang merusak mesin-mesin tekstil. Mereka merasa teknologi telah mencuri mata pencaharian mereka, dan dengan merusak mesin, mereka merasa menegakkan keadilan.
Mereka bukan sekadar perusak. Dalam benak mereka, tindakan itu adalah pembalasan yang sah. Sama seperti mereka, banyak orang dalam sejarah yang melakukan tindakan berbahaya karena merasa itu benar, atau setidaknya dibenarkan oleh keadaan.
Demikian juga ketika Perang Dunia I pecah. Banyak pemuda Eropa bergabung dengan tentara bukan karena semangat patriotik, tapi karena tekanan sosial dan janji masa depan yang lebih baik. Setelah perang berakhir, banyak dari mereka justru merasa dikhianati. Inilah yang memunculkan kelompok ekstremis di Jerman, yang salah satunya kemudian melahirkan sosok seperti Adolf Hitler — seorang yang pada awalnya hanya menyimpan dendam dan rasa tidak adil, lalu membangun ideologi yang membenarkan kekejaman.
Buku: Jalan untuk Memahami, Bukan Sekadar Mengetahui
Melalui buku-buku sejarah, kita bisa belajar bahwa banyak pelaku kejahatan tidak sadar mereka berbuat salah — karena mereka menganggap tindakannya sebagai perlawanan atau bentuk pembelaan. Mereka tidak selalu jahat, tapi tersesat dalam logika pembenaran.
Buku seperti The Origins of Totalitarianism karya Hannah Arendt, misalnya, menjelaskan bagaimana kejahatan besar bisa dimulai dari pembiaran terhadap kebohongan kecil. Atau buku karya Suruthi Bala & Hannah Maguire, 2021, berjudul Redhanded: An Exploration of Criminals, Cannibals, Cults, and What Makes a Killer Tick secara mengejutkan menemukan bahwa ada tipe pembunuh yang hanya kecanduan berulang kali melihat momen ketakutan, rasa sakit, dan terhina dari para korbannya.
Berangkat dari sana, kita Gen Z, yang hidup di tengah banjir informasi dan opini, justru harus punya daya saring yang lebih kuat. Dan buku — khususnya sejarah — memberi kita konteks. Kita jadi tahu bahwa penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi kebenaran, kebijakan sembrono hingga pembunuhan berencana bukanlah hal baru. Kita jadi paham bahwa membenarkan tindakan keliru adalah awal dari kekeliruan yang lebih besar.
Kita Tidak Harus Mengulang, Kita Bisa Melompat
Banyak dari kita paranoid terhadap kasus pembunuhan, misalnya. Tapi bagaimana kita bisa berpikir selangkah lebih maju kalau hanya kasus yang akhir akhir ini yang menjadi data kita? Sejarah adalah pijakan. Ia membantu kita mengenali pola, memperkirakan risiko, dan menghindari jebakan lama yang dibungkus dengan wajah baru. Setidaknya, masa lalu memberi kita data baru.
Kita tidak harus memulai dari nol. Kita hanya perlu membuka buku, membaca kisah lama, dan melihatnya dengan kacamata hari ini. Dari situ, kita bisa membangun langkah yang lebih bijak — dan lebih bertanggung jawab serta lebih hemat waktu.
Ayo, Mulai dari Membaca
Di tengah banjir berita kriminal dan opini sesat, mari kita kembali ke hal paling mendasar: membaca. Bukan sekadar membaca berita cepat atau status di media sosial, tapi membaca buku yang memberi kedalaman. Kita bisa mulai dari kisah-kisah perang, revolusi, atau tokoh-tokoh dunia yang pernah tergelincir dalam logika kekuasaan.
Dari sana, bukan tidak mungkin, kamu akan sampai dimana ternyata orang orang jahat punya struktur tulang wajah yang lumayan mirip seperti teorinya Cesare Lambroso.
Karena hanya dengan membaca, kita bisa memahami. Dan hanya dengan memahami, kita bisa membedakan mana yang salah, mana yang dibenarkan hanya karena alasan pribadi.
Gen Z tidak harus mengulang kesalahan masa lalu. Mari kita baca, pahami, dan gunakan sejarah sebagai pijakan untuk melompat lebih jauh.
Referensi :
1. Hubpages. (2016). The impact of Idi Amin's actions on Uganda's economy. Retrieved from https://www.hubpages.com
2. Lombroso, C. (1911). The criminal man (M. Gibson, Trans.). D. Appleton & Company.
3. Bala, S., & Maguire, H. (2021). Redhanded: An exploration of criminals, cannibals, cults, and what makes a killer tick. Bantam Press.
0 facebook:
Post a Comment