Oleh: Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH

Widyaiswara BPSDM Aceh

Persoalan moral dan hukum selalu diawali dengan pertanyaan, adilkah? Terkait dengan pelaksanaan ibadah haji, pertanyaannya adalah adilkah ada orang yang sudah berhaji kemudian berhaji lagi di saat orang lain belum sekalipun berhaji? 

Pertanyaan ini muncul karena fenomena sosiologis saat ini, sebab berhaji dibatasi oleh kuota karena banyaknya jumlah orang yang sanggup berhaji. Kesanggupan berhaji bukan hanya karena faktor fisik, ekonomi, keamanan dan sebagainya, tetapi juga karena adanya transportasi yang baik sehingga menambah jumlah orang yang masuk kategori istitha’ah (mampu) berhaji.

Karena banyaknya orang yang mampu berhaji sementara daya layan dan daya tampung kota Mekkah terbatas, akhirnya tiap negara dibatasi kuota atau jatah oranngnya. Kuota haji Indonesia pada tahun 2025 adalah 221.000 jemaah yang terdiri dari 203.320 kuota jemaah haji reguler dan 17.680 kuota jemaah haji khusus.

Perhitungan simulatif

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan statistik 2025 adalah 281.600.000 jiwa, 87 persennya adalah muslim; berarti 244.992.000 jiwa. Jika kuota itu hanya 221.000 setiap tahunnya, maka hanya 0,0902% yang bisa berhaji setiap musim haji, tidak sampai satu persen pun dari jumlah penduduk muslim. 

Selanjutnya, jika diasumsikan setiap orang dari 244.992.000 jiwa muslim itu diberikan kesempatan berhaji, maka diperlukan masa tunggu 1108.56 tahun atau 1109 musim haji untuk menghajikan mereka semua.   

Tentu tidak semua penduduk muslim mampu secara ekonomi untuk berhaji, sebab haji murni ibadah individual, harus dengan kemampuan ekonomi sendiri. Jika diasumsikan yang mampu berhaji adalah kelas menengah, maka jumlah kelas menengah muslim Indonesia adalah 15 persen dari total muslim, atau 36.748.800 jiwa. Dengan jumlah itu, jika dibagi haji 1 kali untuk kuota di atas, maka masa tunggu hajinya adalah 166,28 tahun; masih sangat lama. 

Kita pakai asumsi lain, dari 36.748.800 jiwa kelas menengah itu, berapa yang diasumsikan sudah mendaftar dan masuk daftar tunggu? Dengan asumsi 10% saja dari kelas menengah itu yang mendaftar, maka jumlah pendaftar yang mendapat daftar tunggu adalah 3.674.880 jiwa. Dari jumlah paling minimal ini, maka jika dibagi dengan kuota haji, maka diperlukan masa tunggu untuk satu orang adalah 16,63 atau 17 tahun. 

Angka ini mungkin mendekati masa tunggu rata-rata pendaftar saat ini. Sebagai contoh, penulis yang mendaftar pada tahun 2018 lalu, jatah hajinya adalah tahun 2040, 22 tahun kemudian menurut perkiraan awal.

Sekali seumur hidup

Perhitungan di atas memang perhitungan kasar dengan mengambil angka asumtif yang seminimal mungkin sehingga kurang lebih sesuai dengan apa yang kita alami sekarang dalam hal daftar tunggu, tidak ada yang masa tunggunya satu kali periode presiden, minimal dua atau tiga kali. 

Dari perhitungan simulatif ini, kita mendapat gambaran betapa lamanya daftar tunggu bagi mereka yang belum sekalipun mendapat kesempatan berhaji, karena berhaji tidak sama dengan umrah yang bisa dilakukan kapanpun dan berapa kalipun. 

Dari gambaran yang miris di atas, kiranya pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat menata ulang, salah satunya dengan membuat aturan ketat bagi yang sudah berhaji tidak boleh lagi berhaji, jika ingin kembali melihat Baitullah, cukup melakukan umrah saja.

Dari sisi seruan moral, kiranya MUI atau MPU Aceh dapat mengeluarkan fatwa bahwa bagi yang sudah pernah berhaji haram hukumnya mengambil kesempatan orang lain untuk berhaji; dan jika memang sangat ingin kembali kesana maka dengan cara umrah saja. 

Bahkan menurut riwayat, Nabi Muhammad junjungan kita pun hanya satu kali berhaji setelah haji diwajibkan. Ini menjadi sindiran keras sesungguhnya bagi orang yang sudah sekali berhaji untuk memberi laluan bagi saudara-saudaranya yang belum sama sekali. 

Editor: Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top