Oleh Hadi Irfandi

Penulis Lepas dan Kontributor di LamuriOnline

Menanti munculnya Ratu Adil atau justru Kambing Hitam baru? Karenanya 1 Mei lebih dari sekedar tanggal merah.

Yang menarik, hari ini adalah Hari Buruh —sebuah momen tahunan yang selalu ramai diperbincangkan. Namun, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, Hari Buruh kali ini terasa jauh lebih kompleks. Dunia kerja telah berubah begitu cepat: dari isu klasik seperti upah dan PHK, kini buruh juga menghadapi tantangan baru berupa ketidakpastian kerja, budaya kerja digital, dan tekanan psikologis di tengah sistem yang seringkali tidak berpihak pada pekerja. Ini menjadikan peringatan Hari Buruh 1 Mei tahun ini sangat layak untuk dinanti dan diperhatikan secara lebih mendalam.

Diramalkan, para buruh sudah bersiap turun ke jalan. Demonstrasi bukanlah hal baru, melainkan bagian dari napas demokrasi yang hidup di Indonesia. Aksi turun ke jalan merupakan cara sah untuk menyuarakan keresahan kolektif. Negara ini memang menjunjung tinggi kebebasan berserikat dan berkumpul, dan hampir setiap perusahaan industri—besar maupun kecil—biasanya memiliki serikat pekerja sebagai wadah representasi pekerja.

Serikat pekerja bukan sekadar simbol formalitas. Ia hadir sebagai garda depan dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh. Serikat juga menjadi kanal bagi para pekerja menyampaikan aspirasi, sekaligus alat untuk mengawasi dan memastikan bahwa peraturan ketenagakerjaan dijalankan dengan adil. Tanpa keberadaan serikat, relasi antara pekerja dan pengusaha rentan timpang, dan aspirasi mudah dikesampingkan.

Berdasarkan pengamatan pribadi saya, tulisan opini hari buruh di tahun tahun sebelumnya tidak jauh jauh dari mengajak pembaca  untuk mengenang jerih payah buruh sejak Zaman Revolusi Industri atau mengulas pembagian kelas sosial ala Karl Max —seorang filsuf dan ekonom Jerman. Jangan jangan di tahun ini kita masih memutar kaset lama —menunggu Sesosok Ratu Adil untuk mengangkat semua masalah kita.

Masalahnya, banyak yang masih memandang buruh secara sempit. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, siapa pun yang bekerja atas dasar kontrak dan menerima upah—baik itu karyawan bank, juru masak, jurnalis, atau bahkan freelancer—mereka semua adalah buruh. Artinya, isu buruh bukan milik pabrik semata. Ia adalah isu kita semua yang bekerja demi penghidupan.

Penting pula memahami relasi kerja dalam kerangka struktural. Dalam perspektif ekonomi politik, mereka yang memiliki alat-alat produksi dan mempekerjakan orang lain disebut pengusaha. Sebaliknya, mereka yang bekerja mengoperasikan alat produksi dan dibayar untuk itu, adalah buruh. Ini bukan sekadar soal jabatan atau status sosial, tetapi tentang posisi dalam sistem produksi dan relasi kuasa yang menyertainya.

Fenomena yang mencolok belakangan ini adalah bagaimana media sosial menjadi cermin keragaman respon terhadap aksi buruh. Ada yang simpatik dan mendukung, tetapi tak sedikit pula yang sinis. Selebtwit membela aksi mogok, sementara netizen lain mengeluh karena jalanan macet. Para pekerja digital yang bisa kerja dari mana saja justru tak merasa relevan. Di tengah polarisasi ini, suara nyinyir pun muncul: “Buruh harusnya bersyukur, bukan mogok!” Sebuah narasi yang menyesatkan, karena mengabaikan fakta bahwa pekerjaan tidak selalu berarti keadilan.

Tak hanya itu, ada pula suara dari kalangan pro-kapitalis yang menyebut mogok kerja sebagai tindakan tidak tahu terima kasih. Menurut mereka, perusahaan sudah cukup baik memberi pekerjaan, sehingga aksi mogok dianggap melawan kebaikan itu. Padahal, pekerjaan bukan sedekah. Ini adalah kontrak sosial dan ekonomi yang harus berlangsung adil bagi kedua belah pihak.

Di tengah dinamika ini, muncul pula fenomena quiet quitting di kalangan generasi muda. Istilah ini bukan berarti berhenti bekerja, melainkan menetapkan batas yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Quiet quitting menolak budaya kerja yang menuntut loyalitas tanpa batas dan menolak ilusi bahwa kerja berlebihan adalah jalan menuju kesuksesan. Generasi milenial dan Gen Z mulai sadar bahwa hidup tak hanya soal pekerjaan.

Quiet quitting adalah bentuk baru perjuangan kelas pekerja, yang tak lagi selalu dilakukan dengan poster dan toa, tapi dengan keputusan sadar untuk menjaga kesehatan mental dan hidup seimbang. Mereka bekerja sesuai tanggung jawab, tanpa harus mengorbankan segalanya demi ambisi korporat.

Lantas, mungkinkah Hari Buruh kali ini kembali sekadar menjadi seremoni tahunan tanpa perubahan nyata? Meski wajah para pesertanya terus berganti—dari generasi ke generasi—substansi perjuangannya tetap menuntut keadilan yang sama. Entah lewat teriakan di jalanan atau melalui unggahan soal quiet quitting, tak dipungkiri suara buruh terus mencari ruang untuk diakui namun kesejahteraannya hanya jadi wacana.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top