Oleh: Hadi Irfandi
Kehampaan di Balik Kejayaan Material
Di tengah laju peradaban yang dibangun oleh semangat mengejar glamor dan glorifikasi atas kepemilikan, manusia sering lupa bertanya: "Untuk apa semua ini?" Filsafat materialisme meyakini bahwa kenyataan paling mendasar adalah materi. Segala yang ada harus bisa diukur, ditimbang, dan dikalkulasi. Maka tak heran, segala tindakan diukur lewat produktivitas, efisiensi, dan tentu saja: pendapatan. Tetapi apakah benar kehidupan hanya sebatas itu?Masyarakat modern telah memuja dinar dan dirham sebagai simbol keberhasilan, seakan nilai manusia dapat ditakar dengan jumlah saldo, properti, atau profit tahunan. Kita lupa bahwa sejarah umat manusia menyimpan banyak kisah di mana kekuasaan dan kekayaan justru menjerumuskan pada kezaliman, kehampaan, dan bahkan kehancuran. Yang abadi bukanlah apa yang bisa dihitung, melainkan apa yang disematkan dalam makna: pengabdian, kasih, keadilan, dan tanggung jawab.
Jika semuanya harus dimatematiskan, sedekah pun kalkukasinya "untung-rugi"
Ketika Dinar dan Dirham Tak Lagi Berguna
Alhasil ucapan Rasulullah Saw berikut ini sudah terdengar asing:
“Siapa yang pernah berbuat aniaya terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun, hendaklah dia meminta kehalalannya pada hari ini sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham.” (H.R. Bukhari)
Hadis ini bukan hanya peringatan moral, tetapi kritik eksistensial atas ilusi kita tentang uang. Di akhirat nanti, tidak ada transaksi finansial yang berlaku. Tidak ada kurs mata uang yang bisa ditukar dengan pengampunan atau surga.
Dalam konteks hari ini, hadis tersebut menjadi cambuk yang relevan. Banyak dari kita menjadikan income sebagai tolok ukur utama dalam menentukan pilihan—dari pekerjaan, relasi sosial, hingga keputusan politik. Padahal income itu tidak akan berguna di alam setelah kematian, jika dalam proses mencapainya kita menzalimi orang lain, melupakan hak-hak sesama, apalagi dilakukan demi menyenangkan berhala berhala mini seperti atasan tempat kerja dengan mengabaikan Sang Pencipta.
Tujuan Hidup yang Dilupakan
Surat Az-Zariyat ayat 56 menegaskan sesuatu yang mendasar namun sering terpinggirkan: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." Inilah orientasi utama hidup manusia: ibadah. Tetapi ibadah bukan sekadar ritual, melainkan fondasi etis dan spiritual dalam semua aspek hidup. Termasuk dalam bekerja, menuntut ilmu, atau bahkan saat kita berkuasa.
Namun dunia hari ini telah menurunkan makna ibadah menjadi sekadar formalitas yang tak lagi hidup. Kita mengerjakan sesuatu bukan karena Allah, tapi karena target. Kita menolong bukan karena cinta, tapi karena citra. Kita belajar bukan karena ingin mendekat pada kebenaran, tapi karena ingin jadi unggul dalam persaingan.
Sejauh mana kebebasan itu dibolehkan?
Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin MA dalam bukunya Filsafat Ilmu dalam Perspektif Islam mengungkapkan kegelisahannya: "Bila hanya mengandalkan pemikiran-pemikiran Barat tentang ilmu, tentu banyak hal yang tidak sejalan dengan Islam bahkan ada yang sangat jauh perbedaannya." Ini bukan penolakan terhadap sains atau filsafat Barat, tetapi panggilan agar kita tidak larut dalam paradigma yang menihilkan Allah s.w.t. dan mengagungkan rasio seolah-olah ia mampu menjawab segalanya.
Ilmu dan pemikiran memang harus bebas, tapi bukan bebas dari nilai. Ketika ilmu kehilangan nilai transendental, maka ia bisa menjadi alat kekuasaan, bukan jalan menuju kemuliaan. Maka mengapa kita belajar? Untuk siapa kita cerdas? Jika jawabannya hanya agar bisa membeli lebih banyak, maka kita belum benar-benar berilmu.
Menemukan Arah: Dari Dunia Menuju Pengabdian
Kita tidak sedang diajak untuk meninggalkan dunia, melainkan menempatkan dunia dalam posisi yang seharusnya—sebagai sarana, bukan tujuan. Dinar dan dirham hanyalah alat; tidak akan pernah menjadi substansi apalagi motivasi. Ketika manusia menjadikannya pusat dari segala urgensi, maka kebahagiaan menjadi semu, kehidupan menjadi lelah, dan akhir menjadi penyesalan.
Sudah saatnya kita menimbang ulang untuk siapa kita bekerja, untuk apa kita mengejar, dan kepada siapa kita akan kembali. Jika seluruh hidup hanya diarahkan pada pencapaian materi, maka kita akan menemukan hari di mana semua itu tak berarti apa-apa—hari ketika “dinar dan dirham tak lagi berguna”.
Referensi
Amiruddin, M. H. (2022). Filsafat ilmu dalam perspektif Islam. Lembaga Studi Agama dan Masyarakat Aceh.
Bukhari. Sahih al-Bukhari.
Penulis Lepas di LamuriOnline, Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh
0 facebook:
Post a Comment