Oleh: Juariah Anzib, S.Ag
Penulis Buku Wakaf di Aceh: Tradisi, Inovasi, dan Keberkahan
Hidup tidak selalu berjalan indah. Sering kali, kenyataan tidak sejalan dengan harapan. Banyak orang mengeluh saat menghadapi keadaan yang tidak sesuai keinginannya. Padahal, kehidupan akan terus bergerak maju tanpa menunggu mereka yang terpuruk. Ia bisa menggilas, menerpa, bahkan menelan siapa pun yang tidak siap, itulah dinamika kehidupan.
Untuk meraih kebahagiaan sejati, kita memerlukan keyakinan yang teguh terhadap qadha dan qadar Allah. Hanya orang-orang beriman yang mampu mempercayainya dengan sepenuh hati. Tanpa mengeluh, mereka tetap melangkah mengikuti arus kehidupan, hingga akhirnya mencapai “pantai” kebahagiaan.
Untuk memperkuat keyakinan ini, mari kita simak sebuah kisah inspiratif yang mengajarkan tentang ketenangan batin sejati: keyakinan terhadap ketentuan Allah sebagai kunci utama dalam menjalani hidup. Meski tidak mudah, belajar menerima kenyataan hidup adalah proses yang mendewasakan. Segala problematika yang dihadapi menjadi jalan untuk melatih diri, agar tidak mudah mengeluh dan tetap bersyukur dalam segala keadaan.
Dalam bukunya La Tahzan, Dr. 'Aidh al-Qarni mengutip kisah yang ditulis oleh seorang penulis terkenal asal Amerika, R.V.C. Bodley. Pada tahun 1918, Bodley tinggal bersama komunitas Muslim nomaden di Afrika. Mereka menjalani hidup berpindah-pindah, namun tetap menjaga shalat, berpuasa, dan berdzikir kepada Allah Swt.
Suatu hari, saat mereka tengah berada di padang pasir, badai besar melanda. Angin kencang mengguncang, membawa debu dan batu gurun hingga terbang melewati Laut Tengah dan jatuh di Sungai Rhône, Prancis. Angin yang panas membakar kepala, membuat mata perih, dan mulut penuh pasir. Bodley mengaku hampir gila karena tidak kuat menghadapi keganasan alam. Namun, kaum Muslim Arab itu tetap tenang. Mereka hanya mengangkat tangan seraya berkata, qadha’un maktub— “ini sudah menjadi takdir.”
Setelah badai berlalu, mereka segera kembali bekerja dengan semangat. Seluruh anak kambing disembelih untuk menyelamatkan induknya, demi kelangsungan penggembalaan. Induk-induk kambing lalu digiring ke selatan untuk diberi minum. Semua dilakukan dengan tenang, tanpa keluhan sedikit pun.
Bahkan, sang kepala suku berkata, “Kita memang kehilangan sebagian harta, tetapi syukurlah 40 persen kambing kita masih hidup. Dengan jumlah ini, kita masih bisa memulai kembali.”
Masih mengutip kisah Bodley, pada suatu perjalanan melintasi gurun dengan mobil, mereka mengalami pecah ban. Sayangnya, sopir tidak membawa ban cadangan. Di tengah padang pasir yang panas, Bodley merasa kesal dan panik. Namun, orang-orang Arab itu tetap tenang. Mereka berkata, marah tidak akan menyelesaikan masalah, justru membuat hati semakin panas dan pikiran makin keruh. Mereka meyakini bahwa ban pecah itu juga bagian dari kehendak Allah, dan tidak ada yang mampu menghalangi takdir.
Perjalanan terus berlanjut dengan ban kempes. Belum tuntas satu masalah, muncul masalah baru: mobil mogok karena kehabisan bensin. Penderitaan bertambah lengkap. Namun, tidak seorang pun di antara mereka marah. Mereka tetap tenang dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, bahkan sambil berdendang riang. Kebahagiaan yang mereka ciptakan sendiri menjadi obat yang meredakan kesulitan.
Menurut 'Aidh al-Qarni, setelah tujuh tahun hidup bersama kaum Muslim Arab, Bodley menyimpulkan bahwa banyak orang Barat hidup dalam tekanan mental karena jiwanya sakit. Mereka menjadi korban dari gaya hidup kota yang serba cepat dan konsumsi minuman keras yang merusak. Sejak itu, Bodley tidak lagi merasa cemas. Ia menemukan kedamaian sejati dalam sikap pasrah kepada qadha dan qadar Allah. Bahkan setelah tujuh belas tahun meninggalkan gurun, ia tetap memegang teguh prinsip hidup yang ia pelajari dari kaum Muslim nomaden. Sikap itu, katanya, jauh lebih mujarab daripada ribuan obat penenang.
Orang-orang Arab itu mengambil cahaya dari lentera Rasulullah saw, yang datang menyelamatkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya Ilahi. Risalah Rabbaniyah telah turun untuk membimbing orang-orang beriman menuju hakikat kehidupan.
Mari kita berteduh dalam ketenangan takdir Allah. Karena hanya dengan berserah diri kepada-Nya, hati akan merasakan kedamaian yang sejati.

0 facebook:
Post a Comment