Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Bendahara ICMI Aceh)

Ada euforia yang cenderung cerah di langit Indonesia pada era 80-90an, bahwa kebangkitan kembali umat Islam abad ke 15 Hijriyah cenderung dapat dipelopori dari Indonesia. Semangat ini banyak dibicarakan di forum forum kajian dan diskusi publik. Pemerintah Indonesia kala itu hijau dan cenderung memberi pengaruh.

Suatu pagi yang cerah, sekira awal tahun 1990, setelah shalat subuh, saya dan Prof MAA (M. Amin Aziz, alm), seorang cendekiawan muslim Indonesia, jalan jalan pagi. Kala itu saya berkantor di kompleks kediaman beliau, di kawasan Cijantung Jakarta Timur. Ya selaku asisten intelektual untuk beliau.

Di satu pertigaan jalan, tak jauh dari rumah, kami berpapasan dengan Bang Imad (Dr. Imaduddin Abdurrahim, alm) yang juga sedang jalan pagi. Bang Imad juga seorang cendekiawan muslim terkemuka di Indonesia kala itu, dosen ITB, Bandung, dan penggerak mesjid Salman, juga tinggal di Cijantung, tak jauh dari kompleks Kopassus. 

Kami bertiga tidak meneruskan jalan jalan, tetapi duduk di trotoar sambil memesan bubur kacang ijo ketan itam. Diskusi. Dasar bang Imad banyak bahan banyak ide soal umat dan Islam. Beliau bilang kala itu, “ini kita sudah sepuluh tahun setelah diproklamirkan abad kebangkitan kembali. Tapi kita belum punya rancangan. Kali ini kita ambil peran dari Indonesia”. Prof MAA langsung menyambar, “setuju, kita organisir”. Bubur habis, bincang bincang selesai. Kami bubar, trus balik kanan masing masing. 

Suara kaum intelektual muslim Indonesia pada era itu serius, dan potensial memberikan dampak bagi kebangkitan kembali umat Islam dari Indonesia. Diskusi diskusi dan kajian tema Islam kontekstual ramai dilakukan di mesjid mesjid khususnya di kampus kampus. Ormas Islam dan pemuda bergairah. Pemerintah, di bawah Pak Harto dengan pertimbangan tertentu dan kemudian Pak Habibie, memberi dukungan. Hijau, hidup, ramai dan memberikan spirit kebangkitan.

Benar saja, beberapa karya kaum cendekiawan muslim di Indonesia periode itu dapat dicatat sejarah. 

Pertama, berdirinya bank muamalat pada tahun 1992 sebagai bank islam pertama di Indonesia di tengah dominasi sistem keuangan ribawi, yang bangkit dari satu lokakarya nasional bunga bank dan sistem perbankan yang diselenggarakan MUI di Cisarua Bogor Agustus 1990, di mana saya aktif sebagai panitia lokakarya itu saat itu.

Kedua, terbentuk ICMI sebagai rumah besar perjuangan umat melalu cendekiawan pada Desember 1990. ICMI kemudian dibawah kepemimpinan Prof BJ Habibie terus berperan membangun pondasi kebangkitan. 

Ketiga, pengaruh Indonesia dalam forum forum resmi internasional. Presiden Suharto dan kemudian Presiden BJ Habibie memainkan peran sangat signifikan baik di forum Non Block maupun OIC. Suara kaum intelektual Indonesia juga berpengaruh di forum forum internasional. 

Tapi tak berlangsung lama, redup. Sejak sekira tahun 2000 kita sudah kehilangan nyali. Indonesia tak lagi memberi harapan bagi kebangkitan Islam dan umat Islam.

Kiprah intelektual Indonesia kemudian kembali ke kampus. Berfokus pada perjuangan keilmuan murni, budaya, dan bermain di tataran politik strategis. Pemerintahan dan politik praktis didominasi non-cendekiawan. Suara Indonesia di forum forum internasional sumbang tak lagi memberi pengaruh. Negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia hanya tinggal narasi, tak lagi menginspirasi. Terlebih saat kampus kampus perguruan tinggi berubah menjadi industri dan terpenjara dalam narasi administerasi.

Islam Di Amerika

Tiga persen dari 340 juta lebih total populasi Amerika Serikat adalah muslim (2024). Merupakan pemeluk agama terbanyak ketiga setelah Kristen dan Yahudi. Jumlahnya sedikit dan tidak berpengaruh dalam pembentukan kebijakan publik.

Tetapi muslim ber-evolusi. Dengan modal tanpa ras dominan, kaum muslim di Amerika membangun kekuatan kolaboratif. Tidak tercatat ada masalah dalam pertentangan keyakinan atau aliran pemahaman agama. Padahal sunni diperkirakan lebih dominan dari syi’ah, sekitar 75 persen banding 25.

Kekuatan kolaboratif mudah terbangun oleh karena kesadaran sosiologis bahwa mereka berasal latar belakang negara asal dan budaya berbeda yang jumlah rata rata tidak saling mendominasi. Disamping kesadaran pentingnya membangun komunitas atas dasar kepentingan bersama sebagai kaum minoritas. Selain itu ruh Islam sejatinya juga menjustifikasi perbedaan sebagai satu dalam keimanan dan saling mengasihi. Banyak ayat Alquran dan hadis nabi yang menegaskan nilai soal ini.

Selain itu migrasi muslim pekerja ke Amerika yang terjadi dan kelahiran dari tahun ke tahun tercatat selalu bertambah. Sehingga diperkirakan pada tahun 2050 jumlah muslim Amerika akan mencapai 8 juta orang, dan itu jumlah yang jauh melampaui populasi Yahudi di Amerika.

Signifikan memang dan bikin ketar ketir bagi sebagian pemain politik. Maka dapat dipahami mengapa presiden Trump dan partai republik, untuk mempertahankan dominasi Amerika terhadap timur tengah dan kawasan dunia ketiga, bersikukuh mempersempit pergerakan kaum imigran, khususnya muslim, karena diperkirakan akan mengancam higemoni Amerika dalam masa kurang dari duapuluh tahun kedepan.

Sementara pada posisi lain para pemain cerdas di partai demokrat dengan format pendekatan damai tanpa perang dalam memainkan stabilitas timur tengah dan dunia ketiga, sebagai mitra bisnis Amerika, menangkap pertumbuhan populasi muslim dan kaum pekerja imigran sebagai peluang. Dan ini sudah dinikmati oleh demokrat pada pemilihan presiden Amerika ke 46 lalu. Joe Biden mampu menggeser keluar Trump dari gedung putih kala itu diyakini karena konsolidasi suara kaum muslim di berbagai negara bagian.

Inilah yang saat ini tampaknya diulangi demokrat dengan membuka peluang bagi Zohran Mamdani untuk maju sebagai calon walikota New York pada 2025, dan potensial membuka peluang bagi Mamdani juga untuk maju pilpres 2028.

Spirit kebangkitan Islam di kalangan muslim Amerika Serikat sedang menemui momentum yang baik. Ini tentu akan menginspirasi muslim, termasuk imigran pekerja, di berbagai belahan benua Amerika dan Eropa. Momentum ini diperkirakan akan terus berkembang di barat sejalan dengan gaya dan kebijakan “menekan” ala republik di Amerika atau “to be together”ala demokrat. 

Fajar Dari Barat

Selain itu fajar kebangkitan islam di barat sudah tumbuh melalui kesadaran akan daya tahan muslim terhadap tekanan  barat yang bertubi tubi dialamatkan ke dunia Islam, termasuk Palestina. Selain itu juga referensi mengenai Islam baik karya orientalis maupun ulama muslim yang berkembang dan dapat diakses secara terbuka di perpustakaan dan dikaji mendalam di universitas di barat menjadi inspirasi dan energi bagi pencari kebenaran kalangan terdidik secara mandiri. Banyak catatan di barat di mana orang menerima Islam dengan cara ini.

Dear Pak Trump dan pak Netanyahu, silahkan terus menekan dunia Islam, anda berdua akan melihat reaksi kaum intelektual di barat dan pergerakan imigran yang hijrah keluar dari tekanan di negara mereka. Kedua hal ini di luar kendali anda akan menguntungkan dan mendorong kebangkitan Islam di barat. Wallahu a’lam.

SHARE :

0 facebook:

 
Top