Oleh: Supriadi Mohd. Atam, CWC., CPSQ., CPrQ., C.RiQ

Ketua Badan Baitul Mal Kabupaten Simeulue

Badan Wakaf Indonesia (BWI) memasuki usia ke-18 pada 13 Juli lalu, mengingatkan kita kembali akan potensi besar wakaf sebagai instrumen strategis dalam pengentasan kemiskinan. Di tengah berbagai upaya yang dilakukan oleh negara dan sektor swasta, wakaf sering kali belum mendapatkan tempat utama dalam diskursus kebijakan sosial-ekonomi, padahal wakaf memiliki kekuatan luar biasa, bersifat jangka panjang, dan mampu menghadirkan nilai ekonomi dan spiritual.  

Berbeda dengan zakat dan sedekah yang cenderung bersifat konsumtif dan temporer, wakaf memiliki dimensi produktif dan keberlanjutan. Harta yang diwakafkan tidak habis pakai, tetapi dikelola agar manfaatnya terus mengalir dari generasi ke generasi. Dalam menghadapi persoalan kemiskinan struktural, wakaf bukan sekadar solusi tambal sulam, melainkan jalan keluar yang menyentuh akar permasalahan. 

Melalui wakaf produktif, kita dapat membangun rumah sakit, sekolah, pusat pelatihan kerja, dan unit usaha mikro yang secara langsung memberdayakan masyarakat menuju kemandirian ekonomi.

Semangat ini di Aceh terefleksi dalam Gerakan Aceh Berwakaf (GAB) yang diinisiasi oleh Pemerintah Aceh.  Program ini bertujuan menghidupkan budaya wakaf, khususnya wakaf uang, sebagai kekuatan baru dalam pembangunan sosial dan ekonomi. 

GAB mendorong masyarakat Aceh untuk menjadikan wakaf sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam konteks ibadah, tetapi juga sebagai kontribusi nyata bagi sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi umat. 

Gerakan ini sejalan dengan semangat Qanun Aceh tentang pengelolaan harta keagamaan berbasis syariat.

Selama satu dekade terakhir, BWI telah mencatat berbagai capaian penting dalam membangun ekosistem wakaf nasional, mulai dari penguatan regulasi, peningkatan literasi wakaf, pembinaan nazir profesional, hingga pengembangan model-model wakaf produktif yang visioner. 

Meski begitu, tantangan ke depan masih besar. Banyak aset wakaf yang belum tergarap secara optimal, literasi masyarakat masih rendah, dan belum semua daerah memiliki kelembagaan wakaf yang kuat dan profesional. Dalam konteks ini, sinergi antara BWI Pusat, GAB Aceh, Baitul Mal, lembaga pendidikan, serta masyarakat luas menjadi kunci keberhasilan pengelolaan wakaf secara holistik dan berkelanjutan.

Momentum Milad ke-18 BWI dan penguatan Gerakan Aceh Berwakaf seharusnya menjadi refleksi bersama bahwa wakaf bukan hanya ajaran spiritual, melainkan juga instrumen ekonomi umat yang kuat dan visioner. Di era digital, pengelolaan wakaf memiliki peluang besar melalui pemanfaatan platform crowdfunding, dompet digital, e-sertifikat wakaf, hingga integrasi dengan sistem keuangan syariah nasional. 

Dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, wakaf dapat menjadi alternatif pembiayaan sosial yang inklusif dan bersifat abadi.

Wakaf merupakan warisan peradaban Islam yang telah terbukti secara historis membangun universitas, rumah sakit, saluran air, dan pusat perdagangan di berbagai belahan dunia Islam. 

Tugas kita berikutnya mengemas wakaf sebagai solusi kontemporer untuk menjawab tantangan zaman, yaitu kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Jika dikelola dengan visi keumatan dan tata kelola yang profesional, wakaf akan menjadi amal jariyah personal, sekaligus investasi sosial yang berdaya ubah tinggi bagi masa depan umat.*

SHARE :

0 facebook:

 
Top