Oleh: Hj. Supiati, S. Ag M. Sos
Sekretaris PD IPARi Kota Banda Aceh
Pagi itu, berita dari RRI memecah keheningan dengan luka yang sulit dicerna: seorang ibu di Indonesia, negeri yang dikenal religius dan beradab, dilaporkan telah menyuruh suaminya—ayah kandung dari anak mereka sendiri—untuk melakukan pelecehan terhadap putri mereka sejak 2022. Tak hanya sekali. Tapi berkali-kali. Tahun demi tahun.Berita ini bukan hanya tentang kekerasan seksual, bukan sekadar pelecehan. Ini adalah pengkhianatan terhadap fitrah, terhadap amanah, terhadap arti menjadi manusia. Ketika seorang ibu yang harusnya menjadi pelindung, justru menjadi pelaku. Ketika rumah, yang harusnya menjadi tempat teraman di dunia, justru menjadi ladang pembantaian batin. Kita sedang menyaksikan sebuah kenyataan pahit: zaman Jahiliah belum benar-benar pergi. Ia hanya berganti rupa.
Jahiliyah yang Kita Kenal dan yang Kita Alami
Zaman Jahiliah dalam sejarah Arab pra-Islam dikenal sebagai masa gelap peradaban. Salah satu bentuk kekejamannya yang paling mencolok adalah tradisi mengubur hidup-hidup anak perempuan. Sebab mereka dianggap aib, beban, tak layak hidup. Al-Qur'an bahkan mengabadikan dosa ini dalam firman Allah:
“Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa dia dibunuh.”
(QS At-Takwir: 8-9)
Itulah puncak dehumanisasi. Membunuh kehidupan hanya karena ia perempuan.
Namun, sadarkah kita? Di zaman yang kita sebut modern ini, anak perempuan masih dibunuh—hanya saja, mereka tetap dibiarkan hidup. Tidak dikubur di tanah, tapi ditimbun dalam trauma. Tidak dicekik dengan tangan, tapi dihancurkan dengan kelalaian dan kekejaman yang dibungkus cinta palsu.
Dari Kubur Pasir ke Kubur Psikis
Kejahatan zaman Jahiliah dulu begitu vulgar, mudah dikenali. Sekarang, ia begitu halus dan licik.
• Anak perempuan tidak lagi dibunuh fisiknya, tapi dibunuh martabatnya oleh ayah yang meraba tubuhnya sendiri.
• Anak perempuan tidak lagi dikubur di padang pasir, tapi dikubur di balik dinding rumah yang penuh kebusukan moral.
• Anak perempuan tidak lagi dianggap aib karena jenis kelamin, tapi dijadikan objek fantasi sakit dari orang yang seharusnya melindunginya.
Lalu, siapa yang lebih biadab? Mereka yang membunuh karena tidak tahu Tuhan? Atau kita—yang mengaku beriman, tapi diam terhadap dosa yang dilakukan di balik tembok rumah?
Rumah yang Tak Lagi Aman
Kasus yang disiarkan oleh RRI hanyalah satu dari ribuan. Komnas Perempuan mencatat, mayoritas kekerasan seksual terhadap anak terjadi di dalam rumah sendiri, dan pelakunya adalah orang terdekat: ayah, paman, saudara, bahkan ibu.
Dan yang membuatnya semakin keji adalah: sebagian ibu justru menutup mata, bahkan menjadi fasilitator.
Sebuah survei UNICEF mengungkapkan bahwa lebih dari 40% anak perempuan di Asia Tenggara mengalami kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik, verbal, maupun seksual. Dunia yang katanya modern dan melek hukum ini, ternyata masih memelihara sisi gelap Jahiliah dalam bentuk yang lebih licik dan sulit dijangkau.
Mengapa Ini Terjadi?
1. Lunturnya nilai agama sebagai kompas moral. Agama bukan lagi pedoman hidup, tapi sekadar simbol seremonial. Banyak orang tua yang tahu cara membaca doa, tapi tidak tahu bagaimana mengasuh anak dengan kasih sayang dan penghormatan terhadap martabat anak.
2. Kegagalan sistem sosial dan pendidikan. Sekolah sibuk mengejar ranking dan nilai, tapi tak memberi ruang bagi anak-anak untuk memahami batas tubuh dan hak mereka. Sementara lembaga perlindungan anak sering kali datang setelah segalanya terlambat.
3. Normalisasi kekerasan dalam keluarga. Banyak yang menganggap anak perempuan harus “patuh” apapun keadaannya. Sehingga ketika mereka dilecehkan, mereka dipaksa diam, agar “tidak mempermalukan keluarga”.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Kita tidak bisa menutup mata lagi. Menyelamatkan anak perempuan hari ini, adalah menyelamatkan generasi masa depan.
• Pertama, agama harus dikembalikan ke fungsinya yang sejati: pembebas dari kebiadaban, bukan pembungkusnya. Penyuluhan keagamaan di keluarga harus kembali hidup, bukan hanya formalitas.
• Kedua, sistem pendidikan harus mulai menyentuh ranah pengasuhan dan perlindungan anak secara nyata. Edukasi tentang batas tubuh, persetujuan, dan perlindungan diri harus menjadi pelajaran wajib.
• Ketiga, masyarakat harus berani bicara. Jangan lagi menyembunyikan aib keluarga dengan menutupi kejahatan. Karena diam adalah bentuk kejahatan berikutnya.
Penutup: Jangan Biarkan Mereka Mati Dalam Diri Mereka Sendiri
Anak perempuan hari ini bisa saja tersenyum di sekolah, bermain di taman, atau membaca doa di depan orang tua mereka. Tapi di dalam, ada banyak yang sudah mati: rasa aman, kepercayaan, harga diri. Mereka tidak dikubur hidup-hidup, tapi dilukai sedikit demi sedikit sampai kehilangan arti hidup.
Jahiliyah bukan masa lalu. Ia adalah wajah baru dari kemunafikan kita yang mengaku modern, tapi gagal memanusiakan perempuan kecil yang seharusnya kita jaga.
Maka, jika dulu Islam datang untuk membebaskan anak perempuan dari liang kubur, hari ini kita harus meneruskan perjuangan itu—dengan menyelamatkan mereka dari kekerasan dalam rumah sendiri.
Karena jika kita tidak berbuat apa-apa, maka kita sama saja membiarkan anak perempuan dibunuh dua kali: oleh pelaku, dan oleh pembiaran kita.

0 facebook:
Post a Comment