Oleh: Hadi Irfandi
Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.
Dinamika Sekilas Kabinet Merah Putih
Ganti menteri berarti kebijakan pun ikut berganti. Slogan yang cukup akrab di lintas generasi dalam masyarakat kita Indonesia. Tercatat, dua kali terjadi pergantian menteri pada Kabinet Merah Putih dibawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya, pada 19 Februari 2025, Prabowo mencopot Satryo Soemantri Brodjonegoro dari kursi Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, digantikan oleh Brian Yuliarto.
Kali ini, kocok ulang kabinet Merah Putih terbaru September 2025 terjadi pergantian di 5 posisi Kementerian.
Adapun posisi yang diganti adalah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kini diganti Purbaya Yudhi Sadewa, sebelumnya menjabat Ketua Dewan Komisioner LPS. Kemudian ada Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran (PMI) Abdul Kadir Karding, dan Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Aritedjo.
Selain mengganti lima menteri, Presiden Prabowo juga mengangkat menteri haji dan wamen haji dari sebelumnya kepala dan wakil BP Haji sebagaimana diumumkan oleh Mensesneg Prasetyo Hadi dalam konferensi pers di Kantor Presiden (Kanpres) Istana Kepresidenan Jakarta, pada Senin (8/9/2025) sore WIB. (Republika.co.id)
Langkah ini tentu menjadi buah bibir. Pasalnya publik masih diselimuti duka karena pengajuan tuntutan "17+8" kepada DPR diwarnai unjuk rasa, anarkisme, hingga menelan beberapa korban jiwa. Sebuah luka yang masih basah.
Rakyat kembali dibuat gamang. Akankah yang datang justru angin segar atau badai mendung jilid berikutnya?
Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto harus menjadi langkah korektif menyeluruh, bukan sekadar pergantian nama.
Ia menekankan pentingnya reformasi sistem politik, hukum, dan ekonomi demi kepentingan rakyat. (aceh.tribunnews.com, 9/9/2025)
Meski menurut pihak istana, reshuffle ini bukan terkait “orang perorangan” melainkan untuk menempatkan figur terbaik bagi bangsa Indonesia. Namun kita dibuat ragu apabila kursi kosong tersebut diisi bukan oleh oposisinya penguasa yang ada. Hal itu diperkuat dengan terdapat sosok yang berasal dari lingkaran inti penguasa. Ferry Juliantono yang menjabat sebagai menteri Koperasi dan UKM, berasal dari partai Gerindra.
Jika sudah begini, maka akuntabilitas pemerintahan bisa dipastikan melemah kemudian menunjukkan belum stabilnya balance of power seorang kepala negara.
Ditambah lagi, Pemberlakuan UU ITE, live streaming platform TikTok yang dinonaktifkan selama proses rakyat menyampaikan aspirasi menentang tunjangan DPR yang naik, hingga perlakuan aparat yang semakin represif dipandang menjadi momok serta melemahnya akuntabilitas secara vertikal (antara pemerintah dengan masyarakat). Selain itu, kekuatan masyarakat untuk mengoreksi kebijakan juga terancam rapuh sebab Partai Politik yang mulanya ada di formasi civil society, kini juga menjadi alat rezim bersamaan dengan dua lembaga angkatan bersenjata Republik ini.
Bisa ditebak, demokrasi akhirnya bertransformasi menjadi oligarki. Peta politik pada akhirnya berujung pada kian mengganasnya kolusi di lingkaran ring satu penguasa. Gonta-ganti menteri sekadar berada di level kosmetik semata yang memukau masyarakat sehingga mereka tidak menyadari bahwa negara sedang tidak baik-baik saja.
Khilafah = Obat Penawar
Malapetaka dalam demokrasi ini tidak akan terjadi pada sistem Khilafah Islam. Akuntabilitas Khilafah terjamin melalui institusi pemerintahan, dan kewajiban individu yang dipikul seluruh warga negara.
Pertama, khalifah tidak kebal hukum.
Prinsip mendasar dalam penegakan sistem pemerintahan Islam adalah pelaksanaan hukum syariat secara totalitas. Aturan hukum dalam sistem Islam kaffah sangat dijunjung tinggi. Tidak seorang pun dalam Khilafah, termasuk khalifah sendiri, memiliki kekebalan (imunitas) terhadap hukum.
Dari Aisyah ra. diriwayatkan bahwa orang-orang Quraisy sangat risau terhadap seorang perempuan dari Bani Makhzum yang pernah melakukan pencurian. Lalu Rasulullah saw. berdiri dan berkata, “Orang-orang sebelum kamu telah binasa karena jika kedapatan orang-orang miskin di antaramu mencuri, maka dipotong tangannya. Namun, jika kedapatan orang-orang terpandang di antaramu mencuri, maka dibiarkan. Demi Allah! Apabila Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari)
Dalam Khilafah, sumber hukum syariat ada empat, yaitu Al-Qur’an, hadis, ijmak sahabat, dan qiyas. Keempat sumber hukum inilah yang menjadi sumber pengambilan kebijakan untuk menyelesaikan problem masyarakat.
Kedua, mengoreksi kebijakan penguasa adalah hak seluruh warga negara.
Mengoreksi penguasa (termasuk Khalifah) merupakan hak seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Kewajiban untuk menegakkan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar adalah tugas semua warga negara.
Sabda Nabi saw., “Demi Dia yang nyawaku berada di tangan-Nya, kalian wajib menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau (kalau hal itu tidak dilakukan, maka) Allah akan menimpakan siksa-Nya atasmu, dan apabila engkau memohon pada-Nya, maka Dia tidak akan menjawab doamu.” (Musnad Ahmad diriwayatkan dari Hudzaifah)
Khatimah
Sejarah telah mencatat, pergantian menteri dalam sistem demokrasi di berbagai era dalam Republik ini tidak lebih dari ritual politik yang berulang: wajah baru, tapi masalah lama tetap tak terselesaikan. Terlebih lagi dari masa ke masa, rakyat selalu dibiarkan di pinggir arena sembari menatap geram para elit bergantian menduduki kursi kekuasaan.
Beda halnya jika dalam sistem Islam kaffah. Khalifah tak pernah kebal hukum, rakyat punya hak mengoreksi penguasa, dan kebijakan selalu berakar pada syariat Allah. Di situlah rakyat tidak lagi menjadi penonton, melainkan bagian utama dalam arah perjalanan negeri.

0 facebook:
Post a Comment