Oleh: Dr. H. Akhyar, S.Ag M.Ag
Dalam buku terbarunya, Mulhim al-‘Alam (2021), Aidh al-Qarni menjuluki Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Inspirator Dunia. Kinerja kenabian dan kemanusiaan beliau selalu menginspirasi umat manusia untuk menjadi pribadi yang berakhlak mulia, bermanfaat, dan bermartabat.Tidak ada pemimpin dunia lain yang tutur kata, tindakan, sifat, dan kepribadiannya dicatat dan dibukukan sedemikian lengkap dan detail, melibatkan begitu banyak perawi dan penulis hadis. Gaya komunikasi beliau sangat santun, bersahabat, bermakna, persuasif, efektif, dan solutif. Beliau adalah komunikator ulung dan motivator paling sukses dalam memengaruhi umatnya untuk menjadi umat terbaik.
Meskipun kerap dihujat dan difitnah, terutama oleh mereka yang belum mengenal keagungan akhlaknya, inspirasi ajaran Nabi menembus ruang dan waktu, lintas zaman. Hal ini terbukti dengan jumlah pengikut (follower) beliau yang mencapai lebih dari 1,8 miliar Muslim di seluruh dunia.
Dalam Hadyus al-Nabawiyyah fi al-Taghyir al-Ijtima’i (2002), Hannan Lahham menegaskan bahwa Muhammad adalah hamba pilihan Tuhan yang memiliki rekam jejak paling jelas, sempurna, dan memesona karena sanad geneologis dan kenabiannya yang pasti.
Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Nabi Ismail, memilih Quraisy di antara keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim di antara kaum Quraisy, dan memilihku di antara Bani Hasyim.” (HR. Muslim).
Hadis ini membawa dua pesan penting. Pertama, garis keturunan (nasab) sangat penting dalam ranah sosial, politik, dan kepemimpinan. Secara geneologis, Nabi memiliki nasab kenabian dan kepemimpinan yang sangat disegani. Beliau mewarisi tradisi kepemimpinan profetik yang terpercaya, terutama dari kakeknya, Abdul Muthalib.
Kedua, rekam jejak moral dan sosial Nabi tidak diragukan. Oleh karena itu, gelar inspirator dunia bagi Nabi bukanlah sebuah kebetulan. Sejak kecil, beliau dipersiapkan menjadi pemimpin yang inspiratif dengan modal intelektual, moral, dan sosial yang paripurna, bukan sekadar pemimpin bermodal pencitraan.
Pengalaman menjadi yatim piatu di usia belia menempa beliau menjadi pribadi yang mandiri, selalu berpikir solutif dan inovatif, serta mampu menghadapi tantangan dan menyelesaikan berbagai persoalan. Setelah ayahnya, Abdullah, wafat, Muhammad dididik dan dikader oleh kakeknya, Abdul Muthalib, seorang pemimpin Quraisy yang disegani.
Setelah kakeknya wafat, kompetensi kepemimpinannya terus diasah oleh pamannya, Abu Thalib. Keterampilan sosial dan gaya kepemimpinan inspiratifnya semakin teruji, membuatnya mampu memengaruhi dan menggerakkan perubahan sosial menuju kejayaan peradaban. Sebagai role model, beliau tidak pernah terlibat skandal moral yang memalukan atau merugikan umat.
Rindu Muhammad SAW
Menjelang wafatnya, raut wajah sahabat Rasulullah, Bilal bin Rabah, tampak begitu bahagia, sementara istrinya yang mendampingi justru menangis sedih. Bilal berbahagia karena ia tahu akan segera bertemu dan berkumpul kembali bersama sang kekasih, Muhammad SAW. Konon, karena saking rindunya kepada Nabi, Bilal tidak mampu lagi mengumandangkan azan setelah wafatnya Rasulullah.
Sahabat lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq, pun demikian. Beliau pernah berkata, “Sungguh, malam yang paling bahagia adalah malam kematianku, sebab aku akan segera bertemu denganmu wahai Rasulullah.” Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq disebabkan oleh kesedihan yang mendalam atas wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Begitulah gambaran ekspresi orang-orang yang rindu kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah manusia paling agung di muka bumi ini: pencerah, pemersatu, dan penyelamat umat yang mengikutinya. Rindu datang dari cinta, dan tidak ada cinta yang melebihi cinta kepada Allah SWT dan Nabi-Nya. Tidak ada pula rindu yang lebih berat kecuali kepada Rasulullah SAW. Cinta mereka kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW melebihi cinta kepada diri mereka sendiri.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan, “Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, niscaya ia akan merasakan manisnya iman: orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selainnya, orang yang mencintai saudaranya karena Allah.” (HR. Bukhari).
Cinta tidak hanya melahirkan rindu, tetapi juga ketaatan. Orang yang mencintai Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW akan tunduk serta patuh kepada seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah SWT berfirman, “Katakanlah (Muhammad), jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
Penulis merupakan Kasi Bimas Islam Kemenag Kota Banda Aceh dan Anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI) Aceh

0 facebook:
Post a Comment