Oleh : Hj. Supiati, S. Ag., M. Sos
Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh
Demonstrasi adalah wajah dari sebuah demokrasi. Ia lahir dari kegelisahan rakyat yang tak terdengar di ruang-ruang formal, lalu mencari jalan di jalan raya. Bagi mahasiswa, buruh, ojol, atau masyarakat sipil, turun ke jalan adalah ikhtiar terakhir untuk menuntut hak, menyuarakan keadilan, atau sekadar menunjukkan bahwa mereka masih ada, masih peduli pada arah negeri ini.Namun, seperti riwayat lama yang terus terulang, niat mulia itu jarang sekali tiba di tujuannya dengan utuh. Berapa banyak demonstrasi yang berawal damai, penuh orasi cerdas, tapi berakhir dengan dentuman gas air mata, pecahan kaca gedung, bahkan kobaran api? Seakan-akan ada tangan-tangan tak kasat mata yang menggeser panggung: dari ruang artikulasi rakyat menjadi arena anarkis.
Tiga Golongan di Jalanan
Dalam hampir setiap demonstrasi, kita bisa melihat tiga golongan utama.
Pertama, rakyat dan mahasiswa yang datang murni menyuarakan keresahan. Mereka hadir dengan idealisme, dengan luka, dengan harapan akan perubahan.
Kedua, aparat keamanan yang bertugas menjaga agar ruang demokrasi tetap berjalan tanpa menyalakan bara kerusuhan.
Namun, di luar dua kutub itu, selalu ada yang ketiga. Inilah golongan paling berbahaya: provokator, preman bayaran, atau pihak berkepentingan yang datang bukan untuk mendengar atau menyuarakan, melainkan untuk mengacaukan. Mereka adalah “sutradara” yang dengan lihai menyusupkan skenario rusuh.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Dari era reformasi 1998, kerusuhan Mei yang berdarah, hingga berbagai demo mahasiswa setelahnya—pola yang sama selalu hadir. Massa damai ditunggangi, aparat terpancing, publik termakan framing. Kita seakan-akan tidak pernah belajar dari pengalaman sendiri.
Dalam pandangan agama, apa yang terjadi bukan sekadar persoalan sosial, tapi juga spiritual. Al-Qur’an menegaskan, setan berbisik di dada manusia, menyelinap halus hingga seakan menjadi bagian dari darah. Ketika dua golongan bertikai, tak jarang ada “setan” yang hadir di antaranya, meniupkan api kebencian, membuat yang jernih menjadi keruh. Dan dalam konteks hari ini, “setan” itu bisa berbentuk provokator, bisa pula berupa narasi palsu yang berseliweran di media sosial.
Media: Menyiram Air atau Menyulut Bensin?
Ada satu aktor lain yang sering dilupakan: media. Baik media arus utama maupun media sosial, keduanya sering memainkan peran ambigu dalam setiap demonstrasi.
Banyak media lebih suka menyorot rusuhnya daripada esensi keresahan. Headline berita dipenuhi gambar kaca pecah, ban terbakar, dan massa yang saling dorong. Sementara substansi tuntutan—kenapa rakyat turun, apa yang mereka rasakan, kebijakan apa yang mereka anggap zalim—justru tak mendapat porsi yang layak. Akibatnya, publik melihat pendemo sebagai perusuh, aparat sebagai penindas, dan akar masalah terabaikan.
Di media sosial, keadaannya lebih gawat. Buzzer politik, akun anonim, dan mesin propaganda memperkeruh suasana. Ada akun yang pura-pura membela rakyat, padahal tujuannya menebar fitnah. Ada pula narasi potongan video yang dilepas tanpa konteks, lalu viral, memancing kebencian berjilid-jilid. Sulit membedakan mana fakta, mana rekayasa.
Tak heran, setiap demonstrasi bukan hanya menjadi pertempuran di jalanan, tetapi juga menjadi perang opini di dunia maya. Sebuah perang yang justru lebih sulit ditaklukkan, karena musuhnya samar dan penyebarannya lebih cepat dari api.
Mengapa Kita Tidak Pernah Belajar?
Pertanyaannya: mengapa pola ini selalu berulang? Jawabannya sederhana, tapi menyakitkan—karena kita tidak pernah belajar.
Dari kerusuhan Mei 1998 hingga demonstrasi menolak Omnibus Law tahun 2020, dari aksi mahasiswa 2019 hingga demo kenaikan BBM, semuanya memperlihatkan pola sama: aspirasi rakyat yang sah berubah menjadi kekacauan. Bahkan sering kali, yang menjadi korban justru rakyat sendiri—pedagang yang tokonya dijarah, mahasiswa yang tertembak, atau warga yang terjebak dalam lalu lintas kerusuhan.
Seakan bangsa ini hanya pandai marah, tapi tidak pernah pandai mengambil pelajaran. Kita lupa bahwa setiap kali kerusuhan meletus, ada pihak yang bertepuk tangan di belakang layar, menikmati perpecahan yang terjadi.
Jalan Tengah: Cerdas, Bijak, dan Adil
Lalu apa jalan keluarnya?
Pertama, rakyat harus lebih cerdas. Jangan mudah terpancing emosi, apalagi oleh kabar-kabar dari sumber anonim. Saring sebelum sharing bukan lagi slogan, tapi kebutuhan bertahan di era banjir informasi.
Kedua, aparat harus lebih bijak. Tindakan represif hanya menambah bara. Justru pendekatan persuasif dan komunikasi yang terbuka akan lebih mampu meredam eskalasi.
Ketiga, media harus lebih adil. Jangan sekadar menjual sensasi rusuh, tapi juga menggali akar masalah rakyat. Media yang jujur adalah penyejuk, bukan penyulut.
Keempat, penyuluh, tokoh agama, dan tokoh masyarakat harus hadir sebagai jembatan. Mereka perlu menjadi cahaya di tengah kegaduhan—mengajarkan kesabaran, menanamkan kewaspadaan terhadap provokator, serta mengingatkan bahwa pertarungan sesama anak bangsa hanya menguntungkan pihak ketiga.
Sebagai penutup, menyuarakan keadilan adalah hak. Menjaga keamanan adalah kewajiban. Tapi mewaspadai pihak ketigabaik provokator di jalanan maupun “setan” digital di dunia maya adalah keharusan.
Jangan sampai kita kembali mengulang kesalahan yang sama: sibuk bertarung sesama anak bangsa, sementara ada pihak yang menyalakan api di belakang layar, tertawa menyaksikan kita terbakar oleh bara yang mereka tiupkan.

0 facebook:
Post a Comment