Oleh: Dr. Nurkhalis Mukhtar, Lc, MA

Dosen HES Pascasarjana IIQ Jakarta


Prof. Dr. (H.C.) Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada 10 Maret 1904, dari keturunan ulama pemangku jabatan Qadhi. Ayahnya bernama Qadhi Chik Teungku Muhammad Husein bin Muhammad Su’ud, seorang ulama terpandang di wilayah Lhokseumawe. Dari jalur ibunya, Teungku Amrah binti Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Tengku Abdul Aziz, beliau juga merupakan keturunan ulama dan bangsawan Aceh. Nama Ash-Shiddieqy disematkan di belakang namanya pada tahun 1925, setelah ia mengetahui silsilahnya sebagai keturunan ke-37 dari khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Sejak kecil, beliau telah ditanamkan semangat dalam belajar dan mencintai ilmu. Perjalanan intelektual Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dimulai dari belajar langsung kepada ayahnya dalam ilmu-ilmu dasar hingga khatam Al-Qur'an pada usia tujuh tahun. Pada usia delapan tahun, mulailah beliau melakukan pengembaraan ilmu (rihlah ilmiah) dari dayah ke dayah di Aceh selama kurang lebih dua puluh tahun.

Di antara dayah yang disinggahinya adalah Dayah Piyeung Aceh Besar, belajar kepada Teungku Abbas dan berfokus pada ilmu nahwu dan sharaf. Setelah dari Piyeung, beliau berturut-turut ke Dayah Teungku Chik di Bluk Bayu, Dayah Teungku Chik di Blang Kabu Geudong, dan kemudian Dayah Blang Manyak Samakurok, tempat beliau menghabiskan waktu sekitar setahun di setiap tempat. 

Masa terlama Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy di Dayah Tanjungan Samalanga yang dipimpin oleh Abu Idris Tanjungan, ayah dari Teungku Haji Abdul Hamid Samalanga (Ayah Hamid). Di Dayah Tanjungan, beliau menetap hingga tahun 1925, dan di sini pula beliau belajar menulis latin kepada Teungku Abdul Hamid. 

Setelah menimba ilmu selama tiga belas tahun dari dayah ke dayah, pada tahun 1925 beliau sudah diijazahkan oleh gurunya untuk mendirikan dayahnya sendiri. Beliau juga pernah belajar secara khusus selama beberapa bulan kepada ulama Aceh lainnya, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee di Siem.

Walaupun sudah menjadi seorang alim, pada tahun 1926 beliau berangkat ke Jawa, tepatnya ke Surabaya, untuk melanjutkan studi di Madrasah al-Irsyad dan belajar kepada salah seorang ulama pembaharuan yang berasal dari Sudan, yaitu Syekh Ahmad Soerkati. Selama dua tahun memperdalam ilmu di sana, pemikiran beliau mengalami perubahan, menjadi lebih memilih aliran pembaharuan daripada corak pendidikan dayah tradisional.

Karena pemikiran pembaharuannya, beliau kemudian lebih dikenal sebagai tokoh dari ulama pembaharuan, bukan ulama dayah. Beliau aktif dalam kegiatan dakwah dan diskusi, bahkan mendirikan madrasah. 

Setelah beberapa tahun membina masyarakat di madrasah yang dibangunnya, beliau mulai berkenalan dengan para ulama berhaluan pembaharuan lainnya seperti Teungku Abdul Wahab Kenaloi, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Teungku Muhammad Daud Bereueh, Teungku Abdul Hamid Tanjungan, dan ulama lainnya yang umumnya tergabung dalam organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).

Pada tahun 1951, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy pindah ke Yogyakarta atas permintaan Menteri Agama saat itu, K.H. Wahid Hasyim, dan memulai karier akademiknya mengajar di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), yang kemudian menjadi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Iklim akademik ini dirasakannya lebih sesuai dengan haluan pemikirannya. 

Pada tahun 1960, beliau sudah ditunjuk sebagai Guru Besar dan menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hingga tahun 1972. Beliau juga sempat menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry di Aceh.

Sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif, beliau banyak menulis dalam berbagai cabang keilmuan Islam, mulai dari fikih (hukum Islam), hadis, tafsir, tauhid, dan ilmu kalam. Total karya tulis yang dihasilkannya berjumlah 73 judul buku yang terdiri dari 142 jilid, dan 50 artikel. Sebagian besar karyanya (36 judul) adalah buku-buku fikih. 

Karyanya yang fenomenal adalah Tafsir Al-Qur'an Al-Majid An-Nur (tafsir 30 juz berbahasa Indonesia). Beliau dikenal sebagai penggagas pemikiran Fikih Indonesia. Atas kiprah keilmuannya, beliau diberikan gelar doktor Honoris Causa (Dr. H.C.) dari dua universitas berbeda, yaitu Universitas Islam Bandung (Unisba) pada Maret 1975 dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1975.

Meskipun tulisan dan ijtihad-ijtihadnya, terutama dalam bidang fikih, kadang-kadang dianggap terlalu berani dan di luar pandangan jumhur (mayoritas) ulama karena merujuk pada referensi dan mazhab yang kurang umum diikuti, keluasan bacaan dan produktivitasnya telah menempatkan Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy sederetan dengan ilmuwan kenamaan Indonesia lainnya seperti Prof. Hamka, Prof. Mahmud Yunus, Prof. Abu Bakar Aceh, Dr. Mohammad Natsir, dan lainnya. Beliau diakui sebagai salah satu dari sepuluh besar ilmuwan Indonesia masa sesudah kemerdekaan yang paling produktif menulis dalam bahasa Indonesia.

Setelah sekian lama bergelut dalam dunia pendidikan Islam, Prof. Dr. (H.C.) Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy wafat di Jakarta pada tanggal 9 Desember 1975, menjelang keberangkatannya menunaikan ibadah haji, saat berada dalam masa karantina. Beliau dimakamkan di kompleks pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) di Ciputat. Buya Hamka dan Mr. Mohammad Roem turut memberikan sambutan pada pelepasan jenazahnya.*

SHARE :

0 facebook:

 
Top