Oleh: Safaruddin
Mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Syariah, IAIN Langsa
Aceh dikenal sebagai daerah istimewa di Indonesia yang mendasarkan sistem hukumnya pada Syariat Islam, termasuk dalam mengatur kehidupan ekonomi masyarakatnya. Namun, di tengah semangat menegakkan nilai-nilai Islami, praktik riba masih menjadi tantangan serius yang membelenggu perekonomian lokal dan menimbulkan dampak negatif bagi kesejahteraan sosial.Keberadaan riba, baik dalam transaksi perbankan konvensional maupun aktivitas ekonomi sehari-hari seperti rentenir dan lainnya, tidak hanya bertentangan dengan prinsip keadilan yang diajarkan Islam, tetapi juga memperkecil peluang masyarakat untuk meraih kehidupan yang berkah dan makmur. Riba adalah musuh utama kesejahteraan dan keadilan sosial menurut perspektif ekonomi syariah, serta kerap menjadi momok bagi masyarakat yang ingin hidup berkah.
Dalam praktik riba, yang tidak bisa terelakkan adalah bunga bank, yaitu tambahan yang dikenakan pada transaksi pinjaman uang. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba menegaskan bahwa bunga bank itu haram. Dalam islam terdapat Qawaid Fiqhiyyah “Dar'ul Mafasid Muqaddam 'Ala Jalb al-Mashalih” yang menekankan bahwa menghindari kerugian (mafsadah) harus menjadi prioritas sebelum mencari manfaat (maslahah).
Memang mengambil keuntungan dengan riba ini sangat menggiurkan, karena keuntungan yang berlipat ganda, namun juga seperti pisau bermata dua di mana terdapat juga risiko kerugian besar, sehingga jika dihadapkan pada prinsip ini, walaupun ada keuntungan yang banyak tetap meninggalkannya merupakan keharusan daripada menggunakannya, karena jika sudah terjerumus ke dalamnya akan sulit untuk keluar dan bersih darinya.
Sejalan dengan itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan dalam Fatwa No. 1 Tahun 2004 bahwa bunga tidak sesuai dengan syariah. Hasilnya terbitnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mewajibkan seluruh kegiatan usaha bank syariah berlandaskan prinsip syariah yang melarang praktik riba.
Di Aceh sendiri puncaknya ketika diberlakukannya Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah pada tahun 2019 yang menuntut semua jenis lembaga keuangan dalam kurun waktu 5 tahun untuk menerapkan Prinsip Syariah. Alhasil berdirinya bank Syariah Indonesia (BSI) di Aceh sebagai satu-satunya bank nasional yang beroperasi di Aceh dan Bank Aceh Syariah sebagai bank Lokal yang menjadikannya pilihan utama bagi masyarakat Aceh.
Namun baru-baru ini muncul statement bahwa “Bunga Bank Syariah jauh lebih besar dari bank Konvensional”, Statement ini sangat krusial yang dilontarkan dalam kapasitas tidak mendalami sistem yang diadopsi oleh bank syariah, sehingga bisa saja menggiring opini publik untuk beralih dari bank syariah. Mengingat masyarakat (netizen) saat ini sangat mudah mempercayai media sosial tanpa menelusuri faktanya. Hal ini sangat keliru, mengingat sistem yang sangat berbeda, bank syariah tidak menerapkan bunga, melainkan bagi hasil dari keuntungan yang didapatnya.
Disamping itu, transformasi menuju ekonomi berbasis syariah menjadi kebutuhan mendesak bagi Aceh sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan anti-riba. Sistem ekonomi syariah menawarkan solusi konkret melalui mekanisme transaksi yang berlandaskan prinsip keadilan, transparansi, dan kehati-hatian, sehingga seluruh pelaku ekonomi dari pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat kecil dapat memperoleh manfaat tanpa terjebak dalam jeratan utang berbunga yang tiada habisnya.
Oleh karena itu, upaya membebaskan Aceh dari belenggu riba menjadi sebuah urgensi yang harus diperjuangkan secara kolektif, tidak hanya dipundakkan kepada para ulama dan teungku dayah saja, melainkan menuntut kolaborasi aktif semua pihak, antara pemerintah daerah, ulama, akademisi, dan elemen masyarakat. Mengapa elemen masyarakat diperlukan ikut andil dalam upaya ini? Hal ini dikarenakan pelaku paling aktif dalam perekonomian adalah masyarakat pada umumnya, sehingga masyarakat dituntut untuk memahami prinsip-prinsip ekonomi syariah.
Dengan demikian, Pemerintah perlu memperkuat regulasi serta mengoptimalkan insentif bagi lembaga keuangan syariah agar akses layanan bebas riba semakin luas dan mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Penunjukan Dewan Pengawas Syariah yang kompeten di bidangnya, pembentukan Dewan Pengawas Syariah Kab/Kota sebagai forum komunikasi atar Dewan Pengawas dan Dewan Syariah Aceh, hanya baru terealisasikan di dua kabupaten di Aceh. Teungku, ulama dan akademisi juga merupakan motor penggerak dalam edukasi, memberikan pemahaman mendalam tentang bahaya riba serta manfaat ekonomi syariah melalui Khutbah, seminar, dan pendidikan formal.
Literasi keuangan syariah harus terus digalakkan agar masyarakat Aceh mampu memahami dan memilih produk keuangan yang benar-benar sesuai prinsip syariat, Lembaga Keuangan juga harus berperan aktif dalam kegiatan ini sebagaimana amanat Qanun LKS terhadap edukasi masyarakat.
Perlu dihadirkan program-program pemberdayaan pelaku usaha mikro dan keluarga pra-sejahtera, sehingga mereka mampu tumbuh dengan pembiayaan yang adil dan berkah tanpa terjerat riba. Ajakan kolektif untuk beralih ke transaksi syariah menjadi gerakan sosial untuk membangun pondasi kesejahteraan dan keadilan yang berkelanjutan di Aceh.
Riba harus dihapus dari sistem ekonomi Aceh karena merusak keadilan sosial, bukan sekadar idealisme, melainkan keharusan untuk membangun pondasi masyarakat yang adil, berdaya, dan sejahtera. Langkah transformasi ke arah ekonomi syariah membutuhkan keterlibatan seluruh unsur pemerintah, ulama, akademisi, dan masyarakat agar perubahan yang diharapkan dapat berlangsung berkesinambungan.
Dengan meninggalkan praktik riba dan memperkuat ekonomi berbasis keadilan, Aceh berpotensi menjadi contoh terbaik di Indonesia dalam penerapan ekonomi syariah, sekaligus mengukuhkan citra daerah yang visioner dan berlandaskan nilai-nilai Islami. Harapan besar tersimpan agar generasi Aceh ke depan dapat menikmati kehidupan yang benar-benar berkah, adil, dan makmur.
Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi antara penulis dan Dewan Syariah Aceh (DSA) dalam rangka memperkuat literasi publik dan pengembangan pemikiran ekonomi syariah menuju Aceh yang bermartabat dan berkeadilan

0 facebook:
Post a Comment