Oleh: M. Sulthan Agniya Rahman
Mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Syariah, IAIN Langsa
Menautkan Identitas dengan Kemakmuran
Aceh, sebuah provinsi di garda terdepan Indonesia, tidak hanya istimewa secara geografis namun juga secara fundamental dalam identitas yuridis dan sosialnya. Dikenal luas sebagai "Serambi Mekkah", Aceh memiliki payung hukum formil untuk menerapkan Syariat Islam dalam segenap sendi kehidupan, sebuah keistimewaan yang menjadi amanat sekaligus tanggung jawab besar.
Salah satu pilar utama dalam Syariat Islam adalah muamalah, atau tata cara berekonomi, yang secara tegas menempatkan keadilan (adl), kemaslahatan publik (maslahah), dan pelarangan atas unsur-unsur destruktif seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (spekulasi) sebagai fondasinya.
Seiring dengan implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), lanskap keuangan Aceh telah bertransformasi secara signifikan. Konversi lembaga perbankan konvensional menjadi syariah telah menempatkan Bank Syariah Indonesia (BSI) dan Bank Aceh Syariah sebagai tulang punggung utama layanan perbankan di daerah ini. Namun, fokus yang ada saat ini masih cenderung berat pada sektor perbankan—yakni simpan-pinjam dan pembiayaan. Padahal, untuk membangun sebuah perekonomian yang kokoh, dinamis, dan berkelanjutan, satu mesin penggerak utama lainnya mutlak diperlukan: investasi.
Di sinilah letak urgensi sekaligus peluang emas bagi Aceh. Pengembangan ekosistem investasi berbasis syariah bukan lagi sekadar pilihan alternatif, melainkan sebuah keniscayaan strategis. Kenyataannya, meski payung hukum Qanun LKS telah ada, perkembangan investasi syariah di wilayah ini masih berjalan lambat dan terbatas.
Minat masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal syariah dilaporkan masih kurang, dan investasi yang masuk ke Aceh masih didominasi sektor konvensional. Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara amanat regulasi dengan realitas ekonomi. Mendorong investasi syariah secara masif dan terstruktur adalah kunci untuk membuka gerbang menuju masa depan ekonomi Aceh yang cerah, berkeadilan, dan, yang terpenting, penuh berkah.
Visi Ideal: Potensi, Prinsip, dan Instrumen Ekonomi Syariah Aceh
Untuk membangun masa depan ekonomi Aceh, kita harus terlebih dahulu memahami fondasi filosofisnya. Investasi syariah secara fundamental berbeda dari investasi konvensional. Ia bukan sekadar mengganti label "bunga" menjadi "bagi hasil", melainkan sebuah pergeseran paradigma. Ekonomi Islam menolak bunga (riba) karena ia memandang uang bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai alat tukar. Keuntungan (laba) tidak boleh lahir dari uang semata, melainkan harus lahir dari usaha di sektor riil—dari perdagangan, produksi, atau penyediaan jasa.
Inilah mengapa investasi syariah menggunakan akad-akad berbasis kemitraan (Musyarakah dan Mudharabah) atau jual-beli (Murabahah, Salam, Istishna') yang secara inheren mengikat sektor keuangan langsung ke sektor produktif. Prinsip keadilan ini sangat relevan untuk menggarap potensi besar yang dimiliki Aceh, sekaligus untuk mengoreksi model-model investasi di masa lalu. Kita telah lama menyaksikan bagaimana model investasi konvensional yang fokus pada eksploitasi sumber daya skala besar seringkali gagal memberikan dampak kesejahteraan yang merata bagi masyarakat sekitar.
Masa depan Aceh tidak terletak pada model tersebut, melainkan pada pengembangan sektor-sektor yang berbasis kerakyatan. Potensi ini melimpah. Sektor industri halal, memanfaatkan branding "Serambi Mekkah", dapat dikembangkan melalui pariwisata halal, kuliner (seperti kopi Gayo yang mendunia), hingga fashion dan kosmetik. Sektor agribisnis, perkebunan, dan perikanan—jantung ekonomi rakyat—dapat dimodali melalui skema kemitraan yang adil, membebaskan petani dan nelayan dari jeratan modal berbunga. Demikian pula UMKM sebagai tulang punggung ekonomi, dapat diperkuat melalui skema penyertaan modal, bukan utang yang memberatkan.
Untuk menyalurkan modal ke sektor-sektor produktif tadi, instrumennya telah tersedia. Pasar modal syariah (saham syariah, sukuk, reksadana syariah) dapat menjadi pilihan, di mana Pemerintah Aceh bisa menjadi pelopor dengan menerbitkan Sukuk Daerah untuk membiayai infrastruktur publik. Fintech Syariah (seperti P2P Lending dan Equity Crowdfunding) dapat menjembatani akses modal bagi UMKM secara digital dan cepat. Terakhir, instrumen unik investasi sosial (ZISWAF) melalui optimalisasi Baitul Mal dan skema wakaf produktif dapat menjadi kekuatan besar untuk pemberdayaan ekonomi umat secara berkelanjutan.
Realitas di Lapangan: Tantangan dan Strategi Implementasi
Visi ideal di atas tentu berhadapan dengan realitas di lapangan yang penuh tantangan. Meskipun potensi dan instrumennya ada, membangun ekosistem investasi syariah yang matang dari awal bukanlah pekerjaan mudah.
Tantangan pertama dan terbesar adalah rendahnya literasi keuangan dan investasi syariah. Masyarakat Aceh, meski sangat religius, belum tentu familier dengan produk keuangan di luar tabungan dan pembiayaan perbankan. Masih banyak yang mungkin menyamakan "bagi hasil" dengan "bunga", atau bahkan lebih buruk, menganggap investasi syariah lebih rumit. Diperlukan upaya sosialisasi dan edukasi massal untuk mengubah pola pikir masyarakat dari saving society (masyarakat penabung) menjadi investing society (masyarakat investor) yang berlandaskan syariah.
Tantangan kedua adalah penyiapan ekosistem dan regulasi teknis. Qanun LKS adalah payung hukum yang kokoh. Namun, sebuah Qanun di tingkat dasar membutuhkan aturan turunan teknis yang rinci dan pengawasan yang ketat agar implementasinya di lapangan tidak abu-abu. Tanpa aturan pelaksanaan yang jelas, semangat Qanun bisa jadi tidak tertangkap utuh oleh para pelaku industri jasa keuangan.
Tantangan ketiga adalah kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM). Ekosistem investasi syariah membutuhkan talenta unik: mereka yang tidak hanya paham ilmu keuangan modern (manajemen portofolio, analisis risiko), tetapi juga menguasai Fikih Muamalah secara mendalam. Mencetak analis, manajer investasi, dan terutama Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang kompeten adalah pekerjaan rumah besar bagi perguruan tinggi di Aceh.
Tantangan keempat adalah dari sisi penawaran (supply-side). Kita bisa saja gencar mengajak masyarakat berinvestasi, namun jika "produk"-nya (yakni perusahaan lokal yang siap didanai) tidak ada, ajakan itu akan sia-sia. Pertanyaannya, apakah UMKM dan perusahaan lokal kita sudah siap (memiliki tata kelola yang baik, laporan keuangan yang transparan dan diaudit, serta bankable) untuk menerima modal investasi syariah? Menghadapi tantangan kompleks ini, diperlukan sebuah orkestrasi kolaboratif. Pemerintah Aceh harus menjadi motor penggerak utama, tidak hanya dengan menyiapkan aturan turunan teknis yang rinci dari Qanun LKS, tetapi juga dengan memfasilitasi inkubasi bisnis agar UMKM lokal "naik kelas" dan siap investasi. Ulama, teungku dayah, dan akademisi memegang peran sentral dalam strategi edukasi dan sosialisasi massal melalui mimbar dan kurikulum pendidikan.
Selanjutnya, lembaga keuangan (bank, perusahaan sekuritas, BMT) yang beroperasi di Aceh memiliki kewajiban moral dan hukum untuk patuh sepenuhnya pada semangat Qanun LKS, tidak hanya secara formalitas akad, tetapi juga dalam memasarkan dan memprioritaskan produk-produk investasi yang sesuai syariah.
Sebuah Keniscayaan untuk Keadilan dan Kemakmuran
Investasi syariah bukanlah sekadar idealisme utopis. Ia adalah sebuah sistem yang koheren, adil, dan terbukti tangguh, yang dirancang untuk mengikat erat sektor moneter dengan sektor riil. Bagi Aceh, yang telah berkomitmen penuh pada Syariat Islam, mengadopsi investasi syariah secara totalitas bukanlah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan.
Menghapus sisa-sisa belenggu riba dan menggantinya dengan instrumen berbasis kemitraan adalah satu-satunya jalan untuk membangun pondasi masyarakat yang adil, berdaya, dan sejahtera. Potensi sumber daya alam dan industri halal Aceh adalah "mesin" yang luar biasa, namun ia membutuhkan "bahan bakar" yang tepat bahan bakar berupa modal investasi yang halal dan produktif.
Tantangan literasi, penyiapan SDM, dan pematangan ekosistem usaha memang nyata. Namun, dengan kolaborasi erat antara pemerintah untuk menyempurnakan regulasi, ulama untuk edukasi, dan lembaga keuangan untuk patuh pada sistem, tantangan tersebut dapat diatasi. Masa depan ekonomi Aceh yang cerah tidak terletak pada ketergantungan pada utang berbunga atau eksploitasi sumber daya yang tidak adil. Masa depan itu terletak pada keberanian kita untuk membangun ekosistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai kita sendiri: nilai keadilan, kemitraan, transparansi, dan keberkahan
Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi antara penulis dan Dewan Syariah Aceh (DSA) dalam rangka memperkuat literasi publik dan pengembangan pemikiran ekonomi syariah menuju Aceh yang bermartabat dan berkeadilan

0 facebook:
Post a Comment