Oleh: Syahrati, S.HI., M. Si.

Penyuluh Agama Islam Bireuen

Kita hidup pada masa ketika rokok tidak hanya menjadi kebiasaan, tetapi juga mendapat ruang pembenaran sosial yang dianggap sebuah kewajaran, bahkan menjadi “teman setia” dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Namun, persoalan berubah arah ketika rokok mulai diposisikan lebih dari sekadar kebiasaan ketika ada yang mencoba menempelkan nilai-nilai keagamaan di balik kepulan asapnya. Di sinilah letak kekhawatiran itu tumbuh, bukan karena rokoknya saja, tetapi karena cara masyarakat bisa disesatkan oleh narasi yang terdengar religius, namun salah arah.

Narasi "Zikir Rokok" Hanya Pembenaran Diri

Beberapa waktu lalu, sempat muncul rekaman ceramah yang menyebut bahwa setiap hisapan rokok dapat dianggap sebagai zikir atau bentuk ketenangan spiritual. Bagi mereka yang mencari pembenaran atas kebiasaan buruk, narasi ini terasa melegakan.

Namun, bagi para pengkaji agama dan kesehatan, hal ini justru sangat memprihatinkan. Sebab, ketika sesuatu yang secara ilmiah jelas merusak tubuh diberi pembenaran religius, batas antara kebenaran dan kekeliruan menjadi kabur. Narasi ini tak lebih dari pembenaran diri (self-justification) yang dibungkus istilah suci. Masyarakat bisa saja menganggap rokok sebagai bagian dari ibadah, padahal tidak demikian adanya.

Perspektif Kesehatan: Kerusakan yang Tak Terbantahkan

Dari sudut kesehatan, rokok tidak pernah memiliki wajah yang baik. Fakta ini tidak pernah berubah: rokok merusak tubuh, merampas kesehatan, dan menurunkan kualitas hidup. Di dalamnya terdapat lebih dari 7.000 zat kimia berbahaya, dan sedikitnya 70 di antaranya bersifat karsinogenik (pemicu kanker).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jutaan kematian setiap tahun akibat rokok, baik pada perokok aktif maupun perokok pasif. Di Indonesia, ratusan ribu orang meninggal setiap tahun karena penyakit berkaitan dengan rokok (kanker paru, penyakit jantung, stroke, dll.).

Perspektif Agama: Melanggar Dua Tujuan Syariah (Maqashid)

Dalam perspektif agama, mayoritas ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang membahayakan tubuh lebih baik dijauhi. Fikih memang mengenal perbedaan pendapat tentang hukum merokok, tetapi satu hal yang sama: tidak ada pendapat yang menyamakan rokok dengan ibadah.

Agama hadir untuk menjaga kehidupan. Dalam prinsip Maqashid Syariah (tujuan hukum Islam), rokok jelas-jelas mencederai dua pilar utama: Hifdzu an-Nafs (Menjaga Jiwa/Kesehatan) dan Hifdzu al-Maal (Menjaga Harta/Ekonomi).

Bagaimana mungkin sesuatu yang terbukti merusak jiwa, mengganggu orang lain, dan membebani keluarga, dapat disandingkan dengan amal kebaikan yang bertujuan memelihara?

Kerugian Ekonomi: Uang Berkah yang Menguap

Rokok juga membawa kerugian ekonomi yang sering tak disadari. Jika seseorang menghabiskan Rp20.000 sehari, maka dalam setahun ia menghabiskan lebih dari Rp7 juta hilang begitu saja.

Banyak keluarga merasakan beban ekonomi ini tanpa sadar. Ada orang tua yang harus berhemat di dapur, namun rokok tetap masuk daftar belanja. Ada anak yang terpaksa menunda membeli buku, tetapi tidak pernah menunda membeli rokok. Ketika penghasilan terbatas, setiap rupiah sebenarnya berharga. 

Uang sebanyak itu seharusnya bisa dialihkan menjadi tabungan pendidikan anak, keperluan dapur yang lebih bergizi, modal usaha kecil, biaya kesehatan keluarga. Mengganti uang rokok menjadi kebutuhan yang lebih bermanfaat bukan hanya keputusan ekonomi, tetapi juga tindakan moral dan wujud tanggung jawab sebagai kepala keluarga.

Kejujuran Pesan Adalah Dakwah Terbaik

Inilah sebabnya mengapa membungkus rokok dengan istilah-istilah religius menjadi sangat berbahaya. Agama hadir untuk menjaga kehidupan dan memuliakan akal sehat. Ketika sesuatu yang merugikan justru diberi label spiritual, yang tersakiti bukan hanya tubuh, tetapi juga akal dan pemahaman masyarakat.

Pesan yang penting adalah kejujuran. Rokok tidak menyehatkan, tidak menyucikan, dan tidak bisa menjadi ibadah. Rokok tetap benda kecil yang merusak tubuh dan menelan uang yang seharusnya menjadi berkah. Lebih indah bila seseorang menjadi teladan dengan berhenti merokok tanpa satu kata pun. Karena menjaga diri dari bahaya adalah bentuk syukur, dan kesehatan adalah nikmat yang tidak selalu bisa ditebus ketika sudah hilang.

SHARE :

0 facebook:

 
Top