Oleh :  Maulina Sri Rezeki

Mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Syariah, IAIN Langsa

Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Dalam upaya membangun kemakmuran masyarakat, Aceh dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat tanpa terjerumus dalam praktik riba. Oleh karena itu, konsep investasi halal dan tanpa riba menjadi pondasi utama menuju ekonomi Aceh yang berkah dan berkelanjutan. 

Landasan Syariah dalam Pembangunan Ekonomi

Islam menegaskan bahwa keberkahan rezeki hanya akan hadir jika aktivitas ekonomi dijalankan sesuai dengan syariat. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah...”

(QS. Al-Baqarah: 276)

Ayat ini menjadi peringatan bahwa sistem ekonomi yang berlandaskan riba tidak akan membawa kebaikan, melainkan kerusakan sosial dan ketimpangan ekonomi. Sebaliknya, sistem yang menegakkan prinsip keadilan, berbagi risiko, dan kejujuran akan membawa keberkahan dan kemakmuran bagi semua pihak.

Potensi Besar Aceh dalam Investasi Halal

Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, mulai dari sektor pertanian, perikanan, energi, hingga pariwisata berbasis syariah. Semua sektor ini dapat berkembang pesat jika dikelola dengan pendekatan investasi halal, yakni investasi yang :

1. Tidak melibatkan riba, gharar (ketidakjelasan), dan maysir (spekulasi)

2. Berdasarkan prinsip kemitraan dan keadilan

3. Memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Contohnya pengembangan industri halal, seperti pengolahan produk makanan dan minuman, wisata religi, dan keuangan syariah, menjadi peluang besar untuk memperkuat ekonomi daerah tanpa melanggar prinsip Islam. 

Peran Pemerintah dan Masyarakat

Pemerintah Aceh memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat sistem ekonomi syariah, antara lain dengan:

Mendorong penggunaan lembaga keuangan syariah dalam seluruh transaksi pemerintahan,

Menyediakan regulasi dan insentif bagi investor halal,

Membangun ekosistem ekonomi berbasis pesantren dan UMKM syariah.

Sementara itu, masyarakat juga memiliki peran penting melalui: 

Kesadaran untuk menolak pinjaman berbunga,

Memilih produk dan layanan keuangan yang sesuai syariah,

Mendukung pelaku usaha lokal yang berkomitmen pada prinsip halal dan tanpa riba.

Lembaga Keuangan Syariah sebagai Pilar Utama

Perbankan dan lembaga keuangan syariah adalah motor penggerak utama dalam mewujudkan ekonomi tanpa riba. Melalui produk seperti mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kemitraan), dan murabahah (jual beli), lembaga keuangan ini memberikan solusi nyata bagi pelaku usaha yang ingin berkembang tanpa melanggar hukum Islam.

Peningkatan literasi keuangan syariah di Aceh perlu terus digalakkan agar masyarakat memahami bahwa investasi halal tidak hanya menguntungkan secara materi, tetapi juga membawa ketenangan batin dan keberkahan hidup.

Menuju Aceh yang Maju dan Berkah

Membangun ekonomi tanpa riba bukan hanya soal keuangan, tetapi juga perjuangan moral dan spiritual. Ketika masyarakat Aceh bersatu dalam semangat menegakkan keadilan ekonomi, memberdayakan usaha halal, dan menolak praktik yang bertentangan dengan syariat, maka Insya Allah, Aceh akan menjadi contoh daerah yang makmur, mandiri, dan diberkahi.

Ekonomi yang berkah adalah ekonomi yang bersih dari riba dan penindasan. Dengan menjadikan investasi halal sebagai jalan utama pembangunan, Aceh tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga kehormatan dan nilai-nilai Islam yang menjadi identitas daerah ini. 

Investasi Halal sebagai Pondasi Ekonomi Berkeadilan Investasi menjadi salah satu motor penggerak pembangunan daerah. Namun, investasi yang benar-benar berkah hanya akan tercapainjika prinsipnya sejalan dengan nilai-nilai syariah. Dalam Islam, bentuk investasi yang dianjurkan adalah yang berbasis bagi hasil—bukan bunga atau keuntungan tetap. Model seperti mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dan pengelola usaha) atau musyarakah (kerja sama antara dua pihak yang sama-sama menanamkan modal) dapat menjadi solusi konkret. Sistem ini tidak mengenal bunga, melainkan berbagi hasil sesuai kinerja nyata usaha. 

Penerapan model ini sangat relevan di Aceh. Banyak potensi ekonomi daerah yang bisa dikembangkan dengan skema investasi halal: - Sektor pertanian dan perkebunan, seperti kopi Gayo, kelapa sawit, dan pala. - Perikanan dan kelautan, yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat pesisir. - Pariwisata halal, yang kini mulai diminati wisatawan domestik dan mancanegara. Jika sektor-sektor ini didukung oleh sistem pembiayaan syariah yang kuat, maka keuntungan tidak hanya dinikmati oleh investor, tetapi juga memberi dampak nyata bagi masyarakat.

Peran Pemerintah dan Lembaga Keuangan Syariah Untuk mewujudkan hal tersebut, peran pemerintah daerah sangat penting. Pemerintah Aceh perlu memperkuat ekosistem ekonomi syariah melalui tiga hal utama: kebijakan, edukasi, dan kemitraan.

1. Kebijakan yang berpihak pada ekonomi syariah. Pemerintah bisa memberikan insentif atau kemudahan bagi investor yang menerapkan prinsip syariah dalam bisnisnya. Selain itu, pengawasan terhadap lembaga keuangan agar terhindar dari praktik riba juga harus diperketat.

2. Edukasi masyarakat dan pelaku usaha. Banyak masyarakat yang masih menganggap system keuangan syariah terlalu rumit atau tidak menguntungkan. Padahal, jika dipahami dengan benar, sistem bagi hasil justru lebih adil dan stabil. Oleh karena itu, literasi keuangan syariah perlu digencarkan melalui pelatihan, seminar, dan kurikulum pendidikan ekonomi di sekolah dan kampus.

3. Kemitraan antara lembaga keuangan dan pelaku usaha lokal. Lembaga seperti Baitul Mal, Bank Aceh Syariah, koperasi syariah, dan lembaga zakat dapat menjadi jembatan antara pemilik modal dan masyarakat kecil. Melalui pembiayaan mikro berbasis syirkah, masyarakat dapat mengembangkan usaha tanpa harus bergantung pada pinjaman berbunga tinggi.

Tantangan dan jalan panjang menuju ekonomi tanpa riba dan perubahan sistem ekonomi tentu tidak mudah. Tantangan terbesar justru datang dari mindset masyarakat dan pelaku bisnis yang sudah lama terbiasa dengan sistem konvensional. Banyak yang masih beranggapan bahwa bunga bank adalah hal “biasa” atau “tidak terlalu masalah”. Padahal, dalam Islam, riba tidak hanya merusak hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga merusak tatanan sosial dan moral ekonomi. Selain itu, dibutuhkan komitmen kuat dari seluruh elemen—pemerintah, ulama, lembaga keuangan, hingga masyarakat—untuk menegakkan prinsip syariah secara konsisten. Tanpa itu, ekonomi tanpa riba hanya akan menjadi slogan, bukan kenyataan.

Menuju Aceh yang Mandiri dan Berkah

Bayangkan jika seluruh transaksi keuangan di Aceh terbebas dari riba. Jika setiap proyek pembangunan dibiayai oleh dana halal. Jika masyarakat kecil bisa berusaha tanpa terjerat utang berbunga tinggi. Maka, Aceh bukan hanya akan dikenal sebagai “Serambi Mekkah” secara simbolis, tetapi juga sebagai pelopor ekonomi syariah di Asia Tenggara. Ekonomi Aceh yang berlandaskan kejujuran, keadilan, dan keberkahan akan menjadi contoh nyata bahwa kemajuan tidak harus bertentangan dengan nilai agama. Sebaliknya, justru karena berpegang teguh pada nilai Islam, Aceh bisa menjadi daerah yang kuat secara ekonomi, damai secara sosial, dan berkah secara spiritual.

Membangun ekonomi Aceh yang berkah berarti membangun sistem yang bukan hanya mengejar keuntungan, tetapi juga keberlanjutan dan keadilan. Investasi tanpa riba bukan utopia, tetapi jalan nyata menuju kesejahteraan yang diridhai Allah. Karena pada akhirnya, ekonomi yang benar-benar kuat bukan hanya yang menghasilkan banyak uang, tetapi yang membawa manfaat luas dan menumbuhkan keberkahan di setiap langkahnya.

Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi antara penulis dan Dewan Syariah Aceh (DSA) dalam rangka memperkuat literasi publik dan pengembangan pemikiran ekonomi syariah menuju Aceh yang bermartabat dan berkeadilan.

SHARE :

0 facebook:

 
Top