Oleh: Syahrati, S.HI., M.Si 

Penyuluh Agama Islam Kabupaten Bireuen

Tidak semua perjuangan Penyuluh Agama berakhir di mimbar. Ada kalanya, penyuluh harus berada di garis pertahanan terakhir untuk menjaga marwah lembaga keagamaan. Inilah kisah nyata pendampingan hukum yang harus kami jalani di Kabupaten Bireuen, ketika integritas Kantor Urusan Agama (KUA) Samalanga diuji dan digugat dengan tuntutan kerugian materiil dan immateriil yang mencapai angka fantastis: lebih dari satu miliar rupiah.

Perjalanan pahit ini bermula dari sebuah prosedur rutin: pemeriksaan calon pengantin (Catin). Berdasarkan pemeriksaan awal di Puskesmas Samalanga (yang kelak menjadi Tergugat I), ditemukan adanya dugaan temuan medis yang merujuk pada ketentuan syariat. 

KUA Samalanga (Tergugat II) wajib bertindak sesuai regulasi. Sesuai Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Menteri Agama, KUA harus menerbitkan Surat Penolakan Kehendak Nikah Resmi. Tindakan ini adalah prosedur perlindungan, bukan penolakan sepihak, untuk menjaga keabsahan pernikahan dan nasab anak.

Namun, kasus ini memiliki lapisan kompleksitas yang unik. Setelah penolakan awal, Catin kembali membawa hasil pemeriksaan medis kedua yang menyatakan hasil berbeda.

Menanggapi perkembangan data ini dan sebagai wujud sikap solutif dan profesional KUA, kami kemudian mengeluarkan Surat Rekomendasi Pindah Nikah sesuai dengan permainan wali. Langkah ini menunjukkan bahwa KUA tidak berniat menghambat; ketika persoalan administrasi telah mencapai jalan keluar, pernikahan pun akhirnya dapat terlaksana. Secara substansi, masalah pernikahan telah selesai.

Meskipun pernikahan telah terlaksana, pihak Catin tetap membawa kasus ini ke Pengadilan Negeri Bireuen melalui gugatan perdata, menuduh KUA dan Puskesmas telah merugikan mereka. Persoalan administratif ini berubah menjadi krisis reputasi.  Pihak Penggugat secara masif memviralkan kasus ini ke media massa dan media sosial. 

Pemberitaan yang menyudutkan muncul bertubi-tubi, menciptakan gelombang public bullying terhadap seluruh aparatur KUA dan Puskesmas. Kami menjadi sasaran opini negatif dan tuduhan sewenang-wenang di ruang publik.

Di tengah badai media ini, KUA Samalanga memilih satu strategi yang sangat berisiko: diam. Kami memutuskan, tidak membantah atau merespons sedikit pun tuduhan yang beredar di media. Kami memilih prinsip: "Biarkan sidang yang membuktikan kebenaran". 

Strategi ini membutuhkan kekuatan mental dan di sinilah peran Penyuluh Agama menjadi krusial. Kami, para penyuluh, bergerak sebagai manajer dukungan mental tim dan penjaga stabilitas emosi. Tugas kami tidak lagi tentang dokumen hukum, melainkan tentang menjaga stabilitas mental aparatur KUA yang tertekan. 

Kami terus mengingatkan, tindakan kami benar dan sesuai aturan. Kami meredakan gejolak emosi tim agar tidak terpancing merespons di media sosial, yang justru bisa melemahkan posisi kami di pengadilan.

Sambil menjaga stabilitas internal, kami bekerja sama erat dengan pendamping hukum dari Kanwil Kementerian Agama Aceh untuk menyusun berkas pertahanan. Kami bertindak sebagai koordinator fakta, memastikan bahwa data yang diajukan ke pengadilan, mulai dari dasar temuan Puskesmas pertama, proses konsultasi, hingga dikeluarkannya surat rekomendasi pindah nikah. Semuanya konsisten dan membuktikan tindakan KUA didasarkan pada prosedur yang ketat, solutif, dan melindungi hukum.

Perjalanan persidangan berlangsung berbulan-bulan, sebuah ujian kesabaran dan ketelitian. Setiap tahapan, dari jawaban, replik, duplik, hingga pembuktian, adalah babak yang harus kami hadapi dengan kepala dingin. Kami harus membuktikan, tindakan KUA adalah refleksi ketaatan pada hukum syariat yang dikuatkan oleh hukum negara. Bukan tindakan sewenang-wenangan.

Setelah melalui rangkaian sidang yang panjang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bireuen pada Rabu, 5 November 2025, akhirnya menjatuhkan putusan. PN Bireuen merilis keputusan final yang tegas bahwa gugatan ditolak seluruhnya.

Majelis Hakim menyatakan tindakan KUA Kecamatan Samalanga (Tergugat II) dan Puskesmas (Tergugat I) tidak melakukan perbuatan melawan hukum. 

Putusan PN Bireuen ini menjadi verifikasi kebenaran dan kemenangan atas integritas. Ini membuktikan, KUA bertindak secara profesional dan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemenangan ini menegaskan, integritas kelembagaan pada akhirnya akan menang melawan opini publik. Bagi kami, penyuluh agama, pengalaman ini menegaskan bahwa peran kami meluas: kami pelindung nilai, penstabil emosi tim di masa krisis, dan mitra ahli hukum yang memastikan kebenaran prosedur pada akhirnya dibuktikan di ruang pengadilan. 

Dari pengalaman kasus ini menunjukkan, strategi diam kami di tengah gejolak, membuktikan bahwa integritas KUA tidak perlu teriak,  cukup dibuktikan di bawah sumpah dan palu keadilan.*

SHARE :

0 facebook:

 
Top